3. Penggunaan instrumen hukum-kontraktual --- kontrak karya, BIT/ISDS, perjanjian privatisasi, atau kontrak rekonstruksi yang mengunci hak jangka panjang.
4. Tekanan finansial & standar --- conditionalities, akses pasar, rating, atau standar ESG yang memperkecil ruang kebijakan.
5. Narasi & legitimasi --- kampanye media/NGO, frame HAM/lingkungan/anti-korupsi untuk membangun legitimasi intervensi.
6. Outcomes struktural --- restrukturisasi pasar (privatisasi), kontrol korporat atas sumber daya, pembatasan opsi kebijakan, kebutuhan investasi pemulihan yang mengikat.
Mekanisme ini berulang dengan variasi: kadang lebih finansial-legal (IMF), kontraktual (Freeport), militer-finansial (Ukraina), atau normatif-market (sawit).
-
D. Perbedaan penting antar kasus (variabel pengubah)
Walau polanya serupa, ada perbedaan kunci yang menentukan hasil:
1. Sifat momentum: Krisi akut (1997) memaksa cepat; pergeseran politik (1967) memberikan ruang negosiasi; konflik militer (Ukraina) menciptakan kondisi "winner takes contracts"; kampanye normatif (sawit) bekerja lebih lambat tetapi luas.
2. Level kekerasan/koersifitas: Ukraina melibatkan unsur kekerasan militer---mempercepat dan memperluas intervensi. Freeport lebih legal-kontrakual. IMF memanfaatkan tekanan pasar (bukan senjata). ESG memanfaatkan pasar dan reputasi.
3. Kapasitas domestik menahan: Negara dengan institusi lemah (1998 Indonesia saat itu) lebih rentan ke paket yang mengubah struktur; negara dengan kapasitas koordinasi/pertahanan lebih tinggi dapat menegosiasikan (atau menolak) beberapa syarat.