Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Kolonialisme ke Kontrak Global: Bagaimana Trump Menantang Globalis Order

26 September 2025   10:52 Diperbarui: 26 September 2025   10:52 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden AS Donald Trump berpidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80, di New York City, AS, 23 September 2025. (REUTERS/Alexander Drago)

Kapita Selecta Order

Sejarah politik dan ekonomi dunia abad ke-20 hingga awal abad ke-21 memperlihatkan pola berulang: dominasi global tidak pernah benar-benar hilang, melainkan hanya berubah bentuk. Pada awal abad ke-20, kekuasaan global dijalankan lewat kolonialisme klasik, ketika negara-negara Eropa menguasai wilayah-wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin melalui ekspedisi militer, aneksasi teritorial, dan eksploitasi sumber daya. Namun, pasca Perang Dunia I dan II, kolonialisme formal mulai runtuh seiring lahirnya negara-negara baru yang merdeka.

Runtuhnya kolonialisme tidak berarti hilangnya kontrol. Kekuasaan global justru bergeser ke dalam bentuk baru yang lebih halus dan terstruktur: rezim kontrak. Perubahan ini ditandai oleh Konferensi Bretton Woods tahun 1944, yang melahirkan dua lembaga keuangan internasional paling berpengaruh di dunia modern: International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Melalui mekanisme pinjaman, conditionalities, dan standar fiskal, lembaga-lembaga ini menjadi instrumen baru dominasi ekonomi, menggantikan kolonialisme bersenjata.

Perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 1971 dengan Nixon Shock, ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon memutus keterikatan dolar pada emas. Dunia memasuki era fiat money---sistem uang yang tidak lagi dijamin komoditas, tetapi bergantung pada kepercayaan terhadap dolar AS. Sejak itu, dolar menjadi pusat gravitasi keuangan global, sementara Bank for International Settlements (BIS) di Basel, Swiss, menjadi jantung koordinasi moneter antarbank sentral dunia.

Bagi Indonesia, pergeseran ini tercermin dalam Konferensi Jenewa 1967. Di forum tersebut, Indonesia menandatangani perjanjian yang membuka jalan bagi investor asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Dari sinilah lahir kontrak-kontrak jangka panjang, termasuk dengan Freeport-McMoRan di Papua---sebuah contoh konkret bagaimana kontrak menggantikan kolonialisme sebagai instrumen kontrol sumber daya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan global modern dijalankan bukan semata-mata oleh negara, melainkan oleh entitas hibrida: bank internasional, korporasi transnasional, lembaga supranasional, hingga yayasan filantropi global. Kesemuanya bekerja dalam kerangka yang sering disebut sebagai globalis order---suatu tatanan dunia yang tidak mengandalkan kedaulatan nasional, melainkan memanfaatkan negara sebagai instrumen legal untuk melanggengkan kontrak dan standar global.

Dalam konteks inilah muncul sosok Donald J. Trump. Sejak terpilih pada tahun 2016, Trump memosisikan dirinya sebagai penantang utama globalis order. Dengan slogan "America First", ia secara terbuka mengkritik WTO, IMF, dan bahkan NATO; menarik Amerika Serikat dari perjanjian perdagangan multilateral; serta menekan korporasi global untuk kembali ke dalam negeri. Pada Sidang Umum PBB tahun 2018, Trump menyatakan dengan tegas: "We reject the ideology of globalism, and we embrace the doctrine of patriotism."

Trump, dengan segala kontroversinya, menjadi katalis dalam perdebatan besar: apakah globalis order masih dominan, ataukah dunia tengah bergerak menuju tatanan multipolar baru---di mana blok-blok regional seperti BRICS+, ASEAN, atau inisiatif local currency transaction (LCT) mulai menantang hegemoni dolar.

Mekanisme Globalis Order

Salah satu ciri khas globalis order adalah kemampuannya mempertahankan dominasi tanpa selalu menampilkan wajah koersif. Kekuasaan global hari ini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan juga oleh jaringan kontrak, standar, instrumen keuangan, hingga perang narasi dan hukum. Mekanisme-mekanisme ini bekerja simultan, saling menopang, dan menciptakan ekosistem dominasi yang lebih subtil tetapi jauh lebih mengikat.

Pertama, instrumen kontrak internasional menjadi basis utama. Penanaman Modal Asing (PMA), mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), serta perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) mengunci negara berkembang pada komitmen hukum yang mengurangi ruang kedaulatan. ISDS, misalnya, memungkinkan korporasi global menggugat negara di arbitrase internasional jika kebijakan nasional dianggap merugikan investasi. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menjadi pemegang otoritas tertinggi, melainkan harus menyesuaikan diri dengan "konstitusi kontraktual" global.

Kedua, standarisasi global seperti OECD Guidelines, ISO, IFRS, hingga kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) berfungsi sebagai perangkat legitimasi. Standar ini tampil seolah netral dan teknokratis, padahal sering kali diproduksi oleh pusat kapital global untuk memastikan rantai nilai dunia tetap berjalan sesuai preferensi negara maju. Akibatnya, negara berkembang dipaksa mengadopsi standar yang tidak selalu sesuai dengan kondisi domestik mereka, bahkan ketika biaya kepatuhan lebih besar daripada manfaat ekonominya.

Ketiga, leverage keuangan internasional menjadi pengikat berikutnya. Lembaga seperti IMF, Bank Dunia, maupun pasar obligasi global mengendalikan negara melalui conditionalities atau syarat pinjaman. Utang negara dalam bentuk sovereign bonds pun sering kali mengandung klausul yang mengekang ruang kebijakan fiskal. Dengan kata lain, kedaulatan fiskal negara bisa tereduksi menjadi sekadar ruang negosiasi dengan kreditur global.

Keempat, instrumen non-kinetik turut memperkuat jaring ini. Sanksi ekonomi, litigasi internasional, hingga mekanisme Financial Action Task Force (FATF) bukan hanya alat teknis, melainkan senjata geopolitik. Negara yang dianggap menyimpang dari konsensus global dapat dikeluarkan dari sistem pembayaran internasional, dibatasi akses perbankannya, atau dikenakan sanksi yang melumpuhkan ekonomi domestik. Alat non-kinetik ini bekerja layaknya embargo diam-diam yang memaksa negara menyesuaikan diri.

Kelima, Narrative & Legal Warfare (NLW) menjadi aspek yang paling halus tetapi sangat menentukan. Globalis order tidak hanya memaksakan aturan, tetapi juga membentuk horizon berpikir. Melalui media, kampus, lembaga think tank, hingga wacana HAM dan demokrasi, narasi global dikonstruksi sedemikian rupa sehingga negara berkembang menerima subordinasi sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan ideal. Narasi ini sering dilapisi legal warfare, yaitu penggunaan hukum internasional untuk membenarkan dominasi politik atau ekonomi. Dengan begitu, dominasi tidak hanya berlangsung di tataran material, tetapi juga dalam ranah simbolik dan epistemik.

Dari kelima mekanisme ini terlihat jelas bahwa globalis order membangun kekuasaan melalui kombinasi antara kontrak, standar, keuangan, instrumen non-militer, dan narasi hukum. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kerap terjebak dalam jaring-jaring ini bukan karena kalah perang, melainkan karena tunduk pada kontrak, standar, dan narasi yang mereka setujui sendiri.

Dampak bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia

Mekanisme globalis order tidak beroperasi dalam ruang hampa; ia menimbulkan dampak yang sangat nyata terhadap struktur ekonomi-politik negara berkembang. Indonesia, sebagai salah satu negara besar di Global South, menjadi contoh menarik bagaimana instrumen kontrak, standar, keuangan, dan narasi global bekerja secara simultan.

Pertama, dari sisi kedaulatan kebijakan, ruang gerak pemerintah kerap tereduksi. Perjanjian internasional seperti FTA dan ISDS membuat Indonesia terikat pada kontrak yang sulit dinegosiasikan ulang. Contohnya, ketika pemerintah ingin menutup ekspor bahan mentah demi hilirisasi industri, kebijakan itu segera berhadapan dengan gugatan arbitrase internasional. Dengan kata lain, kepentingan nasional harus diuji dulu pada "pengadilan global" yang sering kali berpihak pada korporasi multinasional.

Kedua, dalam hal biaya kepatuhan standar internasional, Indonesia kerap menghadapi dilema. Misalnya, standar ESG yang didorong pasar keuangan global pada satu sisi membuka peluang investasi berkelanjutan, tetapi di sisi lain menciptakan beban biaya tinggi bagi pelaku usaha lokal. Industri sawit adalah contoh paling gamblang. Narasi "sawit tidak ramah lingkungan" tidak hanya berdampak pada citra, tetapi juga berimplikasi langsung pada pasar ekspor dan akses pembiayaan. Di sini, standar global berfungsi lebih sebagai instrumen gatekeeping ketimbang fasilitator perdagangan adil.

Ketiga, leverage keuangan global membuat Indonesia berada dalam posisi tawar yang ambigu. Di satu sisi, akses ke pasar obligasi internasional memberi ruang pembiayaan pembangunan. Namun di sisi lain, ketergantungan pada investor global berarti pemerintah harus menjaga "sentimen pasar" bahkan dengan mengorbankan agenda pembangunan jangka panjang. Krisis 1997--1998 menjadi pelajaran pahit: conditionalities IMF tidak hanya merestrukturisasi ekonomi, tetapi juga mengubah orientasi kebijakan negara secara permanen.

Keempat, dari aspek kerentanan non-kinetik, Indonesia tidak kebal terhadap ancaman sanksi atau pengucilan finansial. Walaupun jarang digunakan secara frontal terhadap Jakarta, mekanisme FATF dan isu kepatuhan anti-terorisme pernah menempatkan Indonesia dalam posisi sulit. Risiko dikeluarkan dari sistem perbankan global membuat pemerintah mau tidak mau menyesuaikan regulasi domestik sesuai arahan internasional, meski kadang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan lokal.

Kelima, pada level narasi dan legitimasi hukum, Indonesia juga menghadapi tekanan. Wacana tentang demokrasi, HAM, dan tata kelola "baik" sering kali digunakan sebagai parameter keabsahan politik nasional. Ketika Indonesia mencoba mengedepankan model pembangunan yang lebih berdaulat, narasi global bisa dengan cepat membingkai langkah tersebut sebagai "otoritarianisme," "protektionisme," atau "kemunduran demokrasi." Narasi inilah yang pada akhirnya membatasi ruang diplomasi, karena Indonesia harus terus-menerus membuktikan diri agar tetap dianggap "anggota baik" dari komunitas global.

Secara keseluruhan, dampak mekanisme globalis order bagi Indonesia dapat dirangkum menjadi tiga aspek utama. Pertama, reduksi kedaulatan kebijakan, di mana keputusan domestik selalu berada di bawah bayang-bayang kontrak dan standar global. Kedua, reproduksi ketergantungan, karena akses pada modal dan pasar global membuat Indonesia sulit lepas dari orbit finansial internasional. Ketiga, konstruksi identitas politik, di mana narasi global membentuk cara pandang dunia terhadap Indonesia, bahkan sebelum Indonesia menentukan jalannya sendiri.

Dengan demikian, Indonesia bukan hanya berhadapan dengan tantangan ekonomi atau hukum, melainkan juga dengan problem eksistensial: bagaimana menjadi subjek yang berdaulat di tengah sistem global yang didesain untuk menjadikannya objek.

Aktor-Aktor Utama Globalis Order 

Setiap order global tidak pernah berjalan sendiri; ia membutuhkan aktor-aktor yang menopang, baik sebagai arsitek maupun operator. Globalis order ditopang oleh jejaring luas individu, keluarga, lembaga keuangan, korporasi, hingga institusi multilateral yang saling terkait. Relasi mereka tidak selalu hierarkis, melainkan berbentuk ekosistem yang bekerja dalam harmoni maupun konflik, namun dengan satu tujuan besar: mempertahankan tata kelola global berbasis kontrak, standar, dan narasi.

Pertama, individu dan keluarga. Nama-nama seperti Rothschild, Rockefeller, hingga Soros sudah lama menjadi simbol kapital global. Mereka tidak hanya berperan dalam membangun jaringan finansial internasional, tetapi juga dalam mendanai lembaga filantropi, kampanye politik, hingga riset akademik yang membentuk arah kebijakan dunia. Generasi baru seperti Larry Fink (CEO BlackRock) dan Klaus Schwab (pendiri WEF) menegaskan bahwa globalis order bukan hanya warisan abad ke-20, melainkan juga mesin yang terus diperbarui melalui figur publik dengan legitimasi modern: investasi hijau, forum multilateral, atau narasi inovasi.

Kedua, bank dan manajer aset. Di jantung sistem keuangan global berdiri lembaga-lembaga seperti JP Morgan, Goldman Sachs, BlackRock, Vanguard, dan State Street. Tiga yang terakhir sering disebut sebagai Big Three asset managers, mengendalikan porsi signifikan dari ekuitas global. Mereka tidak sekadar mengelola dana pensiun atau portofolio individu, melainkan juga menentukan arah perusahaan transnasional melalui hak suara pemegang saham. Dengan kekuatan trillions of dollars under management, bank dan manajer aset ini menjadi semacam "otoritas bayangan" yang mampu memengaruhi kebijakan energi, teknologi, hingga geopolitik, meski tanpa mandat elektoral.

Ketiga, korporasi transnasional. Big Tech, Big Pharma, sektor energi, dan agribisnis global berfungsi sebagai frontline actors dari globalis order. Perusahaan teknologi menguasai infrastruktur digital dan data miliaran manusia, perusahaan farmasi mengendalikan akses kesehatan dan obat esensial, sementara korporasi energi dan agribisnis menentukan harga pangan dan bahan baku global. Mereka bergerak melintasi batas negara, namun perlindungan kontrak dan standar internasional memastikan bahwa kepentingan mereka lebih aman daripada banyak negara berkembang yang menjadi lokasi operasi.

Keempat, lembaga internasional. IMF, Bank Dunia, WTO, BIS, OECD, FATF, hingga lembaga rating agencies berfungsi sebagai arsitek normatif sekaligus regulator global. IMF dan Bank Dunia mengontrol akses pembiayaan, WTO menetapkan aturan dagang, sementara BIS menjadi forum tertutup bank sentral dunia. FATF mengatur standar keuangan global melalui isu pencucian uang dan terorisme, sedangkan lembaga pemeringkat menentukan biaya utang negara. Dalam praktiknya, lembaga-lembaga ini bukan netral, melainkan instrumen yang sering kali memperkuat posisi pusat-pusat kekuatan global.

Kelima, filantropi dan think tank. Gates Foundation, Wellcome Trust, CFR, Trilateral Commission, Brookings, hingga WEF berperan dalam memproduksi pengetahuan, wacana, dan legitimasi kebijakan. Lembaga filantropi membiayai riset dan inisiatif global dengan narasi "kepedulian," tetapi sekaligus mengarahkan agenda kebijakan kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Think tank seperti CFR atau Brookings menjadi "pabrik ide" yang memberi justifikasi intelektual bagi intervensi global, sementara WEF bertindak sebagai panggung narasi di mana elite politik dan ekonomi dunia membentuk konsensus baru.

Keenam, media dan narasi. The New York Times, Bloomberg, BBC, Reuters, dan kini juga jaringan media sosial global, berfungsi sebagai narrative shapers. Mereka tidak hanya melaporkan fakta, melainkan juga membingkai realitas sesuai dengan preferensi tertentu. Narasi tentang krisis iklim, demokrasi, HAM, hingga disinformasi kerap digunakan sebagai entry point untuk mendefinisikan apa yang "rasional" dan apa yang "ilegal." Media, dalam hal ini, adalah perpanjangan tangan dari global narrative warfare, yang bekerja halus namun efektif membentuk persepsi publik dan legitimasi kebijakan global.

Secara keseluruhan, aktor-aktor utama ini membentuk semacam archipelago of power---jejaring pulau-pulau kekuasaan yang saling berhubungan. Tidak ada satu otoritas tunggal yang mengendalikan, melainkan ekosistem dengan distribusi peran yang berbeda: individu memberi wajah dan simbol, bank memberi modal, korporasi menjadi operator, lembaga internasional memberi legitimasi, filantropi menyediakan narasi moral, dan media membentuk opini publik. Dari interaksi inilah globalis order terus bereproduksi, berganti baju, namun jarang kehilangan kendali.

Timeline Global Order

Sejarah globalis order tidak lahir tiba-tiba, melainkan berkembang melalui serangkaian krisis dan momen institusional yang menandai pergeseran dari kolonialisme klasik ke tata kelola berbasis kontrak, standar, dan lembaga internasional.

  • 1914--1945: Perang Dunia I & II, runtuh kolonialisme klasik.

Dua perang dunia menandai akhir dari era kolonialisme langsung. Kekaisaran Eropa yang dulu menguasai wilayah-wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin runtuh, bukan hanya karena biaya perang yang besar, tetapi juga karena bangkitnya nasionalisme di koloni. Namun, keruntuhan kolonialisme klasik tidak berarti lahirnya kedaulatan penuh. Justru sejak momen ini, format baru hegemoni global mulai terbentuk: kontrol melalui keuangan, perdagangan, dan institusi multilateral.

  • 1944: Bretton Woods, lahir IMF & Bank Dunia.

Konferensi Bretton Woods menjadi fondasi globalis order modern. IMF didirikan untuk mengatur stabilitas moneter internasional, sementara Bank Dunia fokus pada pembangunan kembali pascaperang. Sistem ini menempatkan dolar AS sebagai jangkar, mengikat negara-negara lain ke dalam rezim keuangan internasional. Dengan begitu, dominasi tidak lagi berbentuk penjajahan militer, melainkan pengaturan nilai tukar, kredit, dan proyek pembangunan.

  • 1967: Konferensi Jenewa & kontrak Freeport.

Indonesia menjadi contoh konkret bagaimana kolonialisme bergeser menjadi kontraktual. Konferensi Jenewa menegaskan posisi Irian Barat (Papua) di bawah Indonesia, namun hampir bersamaan lahirlah kontrak jangka panjang dengan Freeport. Di sinilah terlihat transisi: kedaulatan politik diakui, tetapi kedaulatan ekonomi segera "dikunci" melalui kontrak investasi asing. Model ini menjadi pola baku: negara berdaulat, namun sumber daya strategis dikuasai lewat instrumen hukum internasional.

  • 1971: Nixon Shock dolar fiat.

Keputusan Presiden Richard Nixon melepaskan konvertibilitas dolar terhadap emas menandai pergeseran monumental. Sejak saat itu, dolar menjadi fiat money yang nilainya ditopang bukan oleh emas, melainkan oleh kekuatan politik, militer, dan ekonomi AS. Efeknya, AS dapat mencetak dolar tanpa batas, sementara seluruh dunia terikat pada arsitektur keuangan berbasis dolar. Ini memperdalam ketergantungan global terhadap kebijakan moneter Washington.

  • 1991: Runtuhnya Soviet unipolar moment.

Bubarnya Uni Soviet membuka jalan bagi AS untuk tampil sebagai satu-satunya superpower. Dunia memasuki apa yang disebut Charles Krauthammer sebagai unipolar moment. NATO meluas, pasar bebas dipromosikan melalui WTO, dan intervensi "demokratisasi" menjadi norma baru. Dalam fase ini, globalis order mencapai puncak hegemoninya: tidak ada rival sistemik, hanya ada kepatuhan terhadap neoliberalisme dan demokrasi liberal.

  • 1997--1998: Krisis Asia, intervensi IMF di Indonesia.

Krisis moneter Asia menjadi titik balik penting bagi negara-negara berkembang. Indonesia, misalnya, dipaksa menerima paket reformasi IMF: deregulasi, privatisasi BUMN, dan liberalisasi pasar keuangan. Alih-alih pemulihan cepat, reformasi tersebut justru memperdalam penetrasi korporasi asing ke dalam perekonomian domestik. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana IMF tidak sekadar "membantu," melainkan sekaligus mengatur ulang arsitektur ekonomi nasional sesuai resep global.

  • 2008: Krisis finansial global.

Runtuhnya Lehman Brothers memicu resesi global yang mengguncang kredibilitas kapitalisme neoliberal. Ironisnya, penyelamatan dilakukan bukan melalui disiplin pasar, tetapi melalui bailout besar-besaran dari bank sentral, terutama The Fed. Dampaknya ganda: ketidaksetaraan makin lebar, sementara manajer aset raksasa seperti BlackRock justru tumbuh menjadi aktor dominan. Krisis ini membuka ruang bagi kritik terhadap globalisasi finansial, tetapi juga memperkuat cengkeraman segelintir institusi keuangan.

  • 2016: Trump menang, "America First."

Kemenangan Donald Trump menjadi gejolak dalam sistem. Dengan slogan "Make America Great Again" dan retorika anti-globalisme, Trump mengguncang konsensus yang dibangun sejak 1944. Ia keluar dari TPP, memaksa renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, serta melancarkan perang dagang dengan Tiongkok. Trump juga mengkritik keras lembaga internasional seperti WTO, WHO, dan NATO. Momen ini memperlihatkan adanya retakan dalam globalis order, di mana negara inti sendiri mulai mempertanyakan manfaat sistem tersebut.

  • 2020: Pandemi COVID-19, Great Reset.

Pandemi menjadi stress test bagi tata kelola global. Di satu sisi, terjadi solidaritas kesehatan; di sisi lain, pandemi dimanfaatkan sebagai momentum untuk mendorong agenda Great Reset ala World Economic Forum (WEF). Narasi "build back better" mendorong transisi digital, energi hijau, dan standardisasi ESG. Pandemi membuktikan bahwa krisis bisa menjadi peluang bagi globalis order untuk memperbarui legitimasi dan memperluas kontrol melalui isu kesehatan, data, dan standar baru.

  • 2023: BRICS+ dorong Local Currency Transaction (LCT).

Kebangkitan BRICS+ (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, plus negara mitra) menandai awal fragmentasi. Mereka mendorong transaksi lintas negara dengan mata uang lokal, sebagai upaya mengurangi dominasi dolar. Meskipun belum sepenuhnya menggantikan sistem dolar, inisiatif ini memperlihatkan bahwa resistensi terhadap globalis order kini memiliki basis kelembagaan. ASEAN pun ikut mengadopsi LCT, sementara Indonesia mendorong integrasi QRIS lintas negara.

  • 2024--2025: Trump jilid dua.

Jika Trump benar-benar kembali berkuasa, dunia akan memasuki fase konfrontasi jilid dua antara nasionalisme ekonomi AS dengan globalis order. Trump kemungkinan besar akan melanjutkan agenda proteksionis, memperkuat energi fosil, dan melemahkan lembaga multilateral. Hal ini berpotensi mempercepat fragmentasi, di mana blok-blok alternatif seperti BRICS+ mengambil ruang yang ditinggalkan, sementara globalis mendorong standar ESG dan narrative warfare lebih agresif untuk mempertahankan kontrol.


Trump Menantang Globalis Order

Donald J. Trump adalah fenomena politik yang tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka domestik Amerika Serikat. Sejak kampanye 2016 hingga masa pemerintahannya (2017--2021) dan kemudian pada periode keduanya (2024--sekarang), Trump tampil sebagai figur yang secara terbuka menantang konsensus global yang dibangun pasca-Perang Dunia II. Tantangan ini bersifat multidimensi: dari retorika politik di forum internasional hingga langkah konkret dalam bidang ekonomi, kelembagaan, energi, keuangan, dan diplomasi.

1. Retorika: Patriotisme vs Globalisme

Pidato Trump di Sidang Majelis Umum PBB tahun 2018 menjadi tonggak utama dalam artikulasi anti-globalisme. Ia menyatakan dengan tegas: "We reject the ideology of globalism, and we embrace the doctrine of patriotism." Pernyataan ini mengguncang forum yang biasanya menjadi panggung konsensus internasional. Bagi Trump, PBB, WTO, dan lembaga multilateral lain kerap melucuti kedaulatan negara dengan dalih kerja sama global. Ia memosisikan Amerika bukan sebagai "pemimpin global" yang harus menanggung beban, melainkan sebagai negara yang mengutamakan kepentingan rakyatnya sendiri.

Retorika ini resonan di dalam negeri, terutama bagi kelompok kelas menengah-bawah yang merasa dirugikan globalisasi (outsourcing, kehilangan lapangan kerja industri). Namun, lebih dari sekadar retorika politik domestik, pidato tersebut adalah deklarasi terbuka melawan globalis order.

2. Tindakan Ekonomi: Proteksionisme sebagai Senjata

Retorika Trump terwujud dalam kebijakan ekonomi yang konkret. Ia menarik AS keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP), sebuah mega trade deal yang dirancang untuk mengikat Asia-Pasifik ke dalam orbit aturan perdagangan liberal. Trump menilai TPP lebih menguntungkan Tiongkok dan merugikan pekerja Amerika.

Selanjutnya, Trump memaksa renegosiasi NAFTA menjadi United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Di dalamnya, terdapat klausul yang lebih protektif terhadap industri otomotif AS, hak kekayaan intelektual, dan ketentuan tenaga kerja. Dengan demikian, Trump mengubah kontrak perdagangan menjadi instrumen untuk memperkuat posisi nasional, bukan sekadar membuka pasar.

Langkah paling dramatis adalah trade war dengan Tiongkok (2018--2019). Trump mengenakan tarif impor hingga ratusan miliar dolar terhadap produk Tiongkok, dengan alasan defisit perdagangan dan pencurian hak kekayaan intelektual. Bagi globalis order, perang dagang ini adalah ancaman langsung, karena rantai pasok global yang dibangun sejak 1990-an didasarkan pada integrasi pasar AS--Tiongkok.

3. Tindakan Kelembagaan: Menarik Diri dari Multilateralisme

Trump tidak hanya menyerang secara ekonomi, tetapi juga melemahkan pilar kelembagaan global. Ia memangkas dana kontribusi AS untuk WHO, dengan tuduhan lembaga tersebut bias terhadap Tiongkok dalam penanganan pandemi COVID-19. Ia juga menarik AS dari UNESCO, menilai lembaga itu tidak lagi sejalan dengan kepentingan nasional.

Terhadap NATO, Trump melancarkan kritik keras. Ia menuntut anggota lain menanggung lebih banyak biaya pertahanan, dengan sindiran bahwa Amerika bukanlah "polisi gratis" dunia. Dengan langkah-langkah ini, Trump menggeser paradigma: AS tidak lagi bersedia menjadi sponsor utama lembaga internasional yang dianggap memperkuat globalis order.

4. Energi & Keuangan: Shale Revolution dan Sanksi Geopolitik

Di bidang energi, Trump mendorong apa yang disebut shale revolution. Produksi minyak dan gas shale menjadikan Amerika Serikat bukan hanya swasembada energi, tetapi juga eksportir utama. Strategi ini mengguncang pasar global yang sebelumnya didominasi OPEC. Energi dijadikan alat politik: AS lebih bebas menjatuhkan sanksi terhadap Iran, Venezuela, dan Rusia tanpa khawatir terhadap pasokan domestik.

Di sektor keuangan, Trump menekan aliran dana ke negara-negara yang dianggap musuh. Sanksi ekonomi diterapkan bukan hanya terhadap aktor negara, tetapi juga individu, perusahaan, bahkan sistem pembayaran lintas batas. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa AS masih memegang senjata pamungkas: kendali atas dolar dan sistem keuangan global berbasis SWIFT.

5. Diplomasi: Bypass Multilateral, Prioritaskan Bilateral

Dalam politik luar negeri, Trump mematahkan norma multilateral. Ia lebih memilih negosiasi bilateral dengan tokoh-tokoh kunci: Vladimir Putin (Rusia), Kim Jong-un (Korea Utara), Narendra Modi (India), dan Recep Tayyip Erdogan (Turki). Cara ini bertentangan dengan arsitektur diplomasi globalis yang biasanya mengutamakan forum kolektif.

Pertemuan langsung dengan Kim Jong-un, misalnya, bukan hanya soal denuklirisasi Korea Utara, tetapi juga sinyal bahwa Trump tidak segan mengabaikan mekanisme multilateral (PBB, Six-Party Talks). Begitu pula dengan Erdogan, Trump menggunakan pendekatan transaksional, menjadikan isu pertahanan sebagai barter politik.

Analisis Singkat

Dengan langkah-langkah ini, Trump bukan hanya menentang globalisasi dalam pengertian ekonomi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi globalis order. Retorika patriotisme, proteksionisme, pembangkangan terhadap lembaga internasional, kemandirian energi, dan diplomasi bilateral adalah satu paket strategi yang menjadikan Trump "outlier" dalam sistem global.

Namun, yang menarik, resistensi Trump justru memicu respons balik dari aktor-aktor globalis. Mereka mendorong narasi Great Reset, memperketat standar ESG, dan menggunakan narrative warfare untuk menggambarkan Trump sebagai ancaman bagi demokrasi liberal. Dengan kata lain, Trump membuka babak baru dalam konflik laten antara kedaulatan nasional versus tata kelola global.

Respon Globalis Atas Pembangkangan Trump 

Kebangkitan politik Trump dengan agenda "America First" tidak hanya dipahami sebagai anomali politik domestik Amerika, tetapi juga sebagai tantangan serius terhadap arsitektur Globalis Order yang telah dibangun pasca-Perang Dunia II. Karena itu, respon dari aktor-aktor globalis muncul dalam bentuk yang sistematis, terukur, dan bersifat multidimensi---menggabungkan narasi, regulasi, hingga perangkat institusional.

Pertama, narasi Great Reset yang dipopulerkan oleh World Economic Forum (WEF) sejak pandemi COVID-19 menjadi kanal utama untuk menata ulang legitimasi proyek globalis. Dengan mengusung wacana Build Back Better, sustainability, dan transformasi digital hijau, narasi ini berfungsi sebagai payung konseptual untuk merespons populisme nasionalis yang semakin menguat. WEF dan jaringan think tank menegaskan bahwa masalah global seperti pandemi, krisis iklim, dan ketimpangan sosial tidak dapat diselesaikan oleh negara-bangsa secara sendiri, melainkan memerlukan tata kelola global.

Kedua, standar ESG (Environmental, Social, Governance) dijadikan instrumen normatif sekaligus tekanan ekonomi yang lebih subtil. Dengan menjadikan ESG sebagai parameter utama investasi dan pembiayaan, globalis mendorong perusahaan, negara berkembang, bahkan pemerintah lokal untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar kompatibel dengan standar yang mereka tetapkan. Pada titik ini, ESG tidak sekadar panduan etika, tetapi instrumen pengendalian kapital dan legitimasi korporasi dalam lanskap global.

Ketiga, penguatan lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan WHO menjadi langkah penting untuk melawan fragmentasi sistem akibat retorika Trump. WTO kembali dihidupkan perannya sebagai pengawal perdagangan multilateral, IMF menegaskan peran sebagai penyelamat krisis keuangan dengan syarat-syarat tertentu, sementara WHO menjadi simbol solidaritas kesehatan global yang sempat dipertanyakan legitimasi dan otoritasnya ketika Trump memangkas dukungan Amerika.

Keempat, isolasi narasi Trump berlangsung melalui media arus utama, jaringan akademis, dan diplomasi publik. Retorika "America First" diposisikan sebagai bentuk proteksionisme yang mengancam stabilitas global, bahkan sering dikaitkan dengan kemunduran demokrasi liberal. Narasi tandingan ini berupaya menegaskan bahwa kepemimpinan Amerika seharusnya dikembalikan pada peran tradisionalnya sebagai pengawal multilateralisme, bukan sebagai negara predator yang hanya mengejar keuntungan sepihak.

Kelima, penekanan pada isu HAM, lingkungan, dan demokrasi menjadi strategi paling efektif untuk menekan negara-negara yang terinspirasi oleh pendekatan Trump. Instrumen ini digunakan bukan hanya pada rival geopolitik seperti Rusia dan Tiongkok, tetapi juga pada sekutu yang dianggap menyimpang dari norma globalis. Dengan menempatkan isu-isu tersebut sebagai conditionalities bagi bantuan, pinjaman, hingga perjanjian dagang, globalis memastikan bahwa arsitektur normatif tetap terjaga, meskipun terdapat tantangan politik dari dalam negeri negara-negara besar.

Secara keseluruhan, respon globalis terhadap fenomena Trump menunjukkan sifat adaptif dari Globalis Order: alih-alih mundur, mereka justru menggunakan momentum krisis untuk memperbarui legitimasi, memperluas instrumen pengendalian, dan mengonsolidasikan narasi. Tantangan populisme nasionalis dengan wajah Trump memang mengguncang, tetapi juga membuka ruang bagi globalis untuk menguatkan klaim bahwa tata kelola dunia tidak bisa dikembalikan pada logika negara-bangsa semata.

Fragmentasi dan Multipolaritas

Fenomena Trump hanyalah salah satu ekspresi dari dinamika yang lebih besar: bergesernya sistem internasional dari dominasi unipolar Amerika menuju konfigurasi multipolar yang semakin kompleks. Perubahan ini ditandai oleh meningkatnya fragmentasi dalam politik global, ekonomi, dan norma internasional.

Di satu sisi, fragmentasi muncul akibat keterbatasan efektivitas institusi global yang selama ini dijadikan pilar Globalis Order. WTO misalnya, menghadapi kebuntuan dalam menyelesaikan sengketa dagang; IMF dituduh bias kepentingan Barat; sementara WHO dipandang rapuh dalam menghadapi krisis pandemi. Akibatnya, negara-negara besar maupun berkembang mulai mencari jalur alternatif untuk menyalurkan kepentingan mereka, baik melalui forum regional, blok baru, atau mekanisme bilateral.

Di sisi lain, multipolaritas semakin nyata dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang mampu menandingi dominasi Barat. Tiongkok menegaskan posisinya lewat Belt and Road Initiative (BRI) dan ekspansi teknologi; Rusia mengkonsolidasikan diri melalui energi dan pengaruh militernya; sementara BRICS+ menjadi wadah kolektif bagi negara-negara berkembang untuk menegosiasikan tatanan keuangan global, termasuk dengan dorongan Local Currency Trade (LCT) yang mulai menantang dominasi dolar.

Fragmentasi ini juga meluas pada standar dan norma internasional. Jika sebelumnya OECD, ISO, atau IFRS dianggap sebagai standar tunggal yang berlaku universal, kini muncul alternatif dari Tiongkok, Rusia, bahkan negara-negara Selatan yang menolak standar Barat sebagai "instrumen kontrol". Hal ini menandai lahirnya sistem paralel---misalnya dalam teknologi 5G, sistem pembayaran lintas negara, hingga regulasi digital---yang mempercepat proses decoupling global.

Selain itu, multipolaritas bukan sekadar kompetisi antarnegara besar, melainkan juga pertarungan narasi dan legitimasi. Barat tetap menekankan universalitas demokrasi liberal, HAM, dan lingkungan; sedangkan kubu lain menawarkan narasi kedaulatan, pembangunan, dan stabilitas sebagai nilai tandingan. Fragmentasi narasi ini memperdalam polarisasi di forum global, dari PBB hingga KTT G20, yang kini lebih sering menjadi arena perdebatan simbolis ketimbang penyelesaian substansial.

Bagi negara-negara berkembang, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, situasi ini membuka ruang manuver yang lebih besar, namun juga menciptakan risiko tinggi. Mereka bisa menegosiasikan keuntungan dari rivalitas blok, tetapi sekaligus rentan menjadi ajang perebutan pengaruh. Fragmentasi dan multipolaritas dengan demikian bukan hanya tanda berakhirnya unipolaritas Amerika, melainkan juga cerminan lahirnya era baru---di mana tata kelola dunia lebih cair, penuh ketidakpastian, dan sulit diprediksi.

Dengan kata lain, dunia pasca-Trump dan pasca-pandemi bergerak menuju pluralitas pusat kekuatan yang tidak lagi bisa dikendalikan oleh satu aktor hegemonik. Globalis Order dipaksa beradaptasi, sementara negara-negara nasionalis-populis menemukan ruang baru untuk memperkuat legitimasi domestik mereka. Namun, tanpa mekanisme koordinasi yang efektif, fragmentasi ini berpotensi melahirkan krisis global berikutnya, baik di bidang keuangan, teknologi, maupun geopolitik.

Ilustrasi Kasus Konkret

Pertama, BRICS vs G7 menggambarkan polarisasi paling jelas dalam tatanan global. G7 mewakili arsitektur lama Globalis Order yang berbasis ekonomi Barat maju, sementara BRICS+ menjadi wadah alternatif negara-negara Selatan untuk menantang dominasi itu. Dengan inisiatif de-dolarisasi dan dorongan perdagangan berbasis mata uang lokal (Local Currency Trade/LCT), BRICS mencoba memutus ketergantungan pada dolar AS. Pada 2023, langkah ini makin nyata ketika BRICS memperluas keanggotaan dengan memasukkan negara-negara energi seperti Arab Saudi, UEA, dan Iran---menciptakan blok yang potensial mengontrol pasokan minyak global.

Kedua, NATO vs Shanghai Cooperation Organization (SCO) menjadi contoh fragmentasi dalam bidang keamanan. NATO, yang dipimpin Amerika, menekankan peran globalnya pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Sementara SCO, yang beranggotakan Tiongkok, Rusia, India, dan negara-negara Asia Tengah, justru menawarkan kerangka kerja alternatif berbasis keamanan regional tanpa dominasi Barat. Dua organisasi ini mencerminkan multipolaritas dalam dimensi militer-strategis, dengan potensi eskalasi jika masing-masing memperluas pengaruh ke wilayah yang sama, seperti Asia Tengah atau Timur Tengah.

Ketiga, SWIFT vs CIPS menunjukkan fragmentasi dalam sistem keuangan global. SWIFT, jaringan pembayaran lintas negara berbasis Belgia, telah lama menjadi infrastruktur dominan transaksi internasional. Namun, penggunaan SWIFT untuk menerapkan sanksi finansial terhadap Rusia sejak 2022 memperlihatkan sisi geopolitik dari instrumen ini. Sebagai respons, Tiongkok memperkuat sistem alternatifnya, Cross-Border Interbank Payment System (CIPS), yang semakin luas digunakan dalam transaksi yuan lintas negara. Dengan makin banyak negara BRICS dan ASEAN menguji LCT, kita melihat tanda lahirnya ekosistem pembayaran global yang terfragmentasi.

Keempat, teknologi digital: 5G dan ekosistem AI. Persaingan Huawei dengan perusahaan teknologi Barat memperlihatkan bahwa standar teknologi tidak lagi tunggal. Amerika berusaha membatasi ekspansi Huawei dengan alasan keamanan nasional, sementara Tiongkok mendorong 5G sebagai standar global baru. Hal serupa terjadi pada regulasi kecerdasan buatan (AI), di mana Uni Eropa meluncurkan AI Act dengan pendekatan etis dan HAM, sedangkan Tiongkok menekankan kontrol negara dan stabilitas sosial. Perbedaan standar ini mempercepat fragmentasi teknologi global.

Kelima, narasi global soal perubahan iklim. Barat menekankan transisi energi berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance), dengan standar ketat yang seringkali dipandang negara berkembang sebagai bentuk proteksionisme hijau. Sebaliknya, negara-negara penghasil energi fosil di BRICS atau OPEC menegosiasikan jalan transisi yang lebih gradual. Indonesia misalnya, dalam kasus sawit, menghadapi tekanan ESG dari Uni Eropa, namun juga mendapat dukungan pasar dari India dan Tiongkok yang tidak mengaitkan perdagangan dengan standar lingkungan yang sama.

Melalui ilustrasi-ilustrasi ini, tampak bahwa multipolaritas bukan sekadar teori, melainkan realitas praktis yang kini menyentuh hampir semua sektor: keuangan, keamanan, teknologi, hingga narasi global. Dunia tidak lagi berjalan dalam satu rel Globalis Order, tetapi bercabang ke dalam beberapa jalur paralel yang saling berkompetisi sekaligus terhubung.

Studi Kasus

1. Indonesia 1998: IMF dan Reformasi Ekonomi

Krisis finansial Asia 1997--1998 menjadi titik balik penting dalam relasi Indonesia dengan Globalis Order. Ketika rupiah terjun bebas dan perbankan kolaps, IMF hadir dengan paket bailout senilai lebih dari USD 40 miliar. Namun, bantuan ini tidak tanpa syarat. Indonesia dipaksa menjalankan structural adjustment programs: liberalisasi perdagangan, deregulasi, pencabutan subsidi, dan privatisasi BUMN strategis. Akibatnya, banyak sektor vital berpindah ke tangan asing, sementara biaya sosial melonjak dengan kenaikan harga bahan pokok dan melemahnya jaring pengaman sosial. Reformasi politik yang menyusul memang membuka demokratisasi, tetapi secara ekonomi, intervensi IMF memperlihatkan bagaimana instrumen utang dan conditionalities digunakan untuk merombak struktur ekonomi sebuah negara sesuai cetak biru globalis.

2. Freeport 1967: Kontrak Jangka Panjang

Kontrak karya pertama Freeport di Papua pada 1967 adalah contoh klasik bagaimana kontrak internasional menjadi pengganti kolonialisme langsung. Ditandatangani bahkan sebelum Undang-Undang Penanaman Modal Asing resmi berlaku, kontrak ini memberi konsesi besar pada perusahaan tambang asal Amerika. Selama puluhan tahun, Freeport menguasai cadangan emas dan tembaga terbesar dunia, sementara kontribusi ke daerah relatif minim. Kasus ini memperlihatkan bahwa "sovereignty by contract" menjadi modus baru dalam hubungan global: negara sah secara politik, tetapi kontrol atas sumber daya strategis dikunci lewat instrumen hukum internasional yang mengikat jangka panjang.

3. Ukraina 2014--2022: Konflik, Sanksi, dan Rekonstruksi

Krisis Ukraina memperlihatkan wajah geopolitik globalis dalam skala besar. Setelah revolusi Maidan 2014 dan aneksasi Krimea oleh Rusia, Ukraina masuk ke pusaran konflik geopolitik. Sanksi ekonomi dijadikan instrumen tekanan Barat terhadap Rusia, sekaligus alat untuk menarik Ukraina lebih erat ke orbit Uni Eropa dan NATO. Pada fase invasi 2022, Ukraina tidak hanya menjadi medan perang kinetik, tetapi juga pasar masa depan: berbagai kontrak rekonstruksi infrastruktur, energi, hingga pertanian sudah dipersiapkan oleh perusahaan multinasional Barat bahkan sebelum perang usai. Dengan demikian, Ukraina menjadi laboratorium bagi kombinasi senjata militer, finansial, dan kontraktual dalam Globalis Order.

4. Sawit Indonesia: ESG dan Narrative Warfare

Dalam dua dekade terakhir, industri sawit Indonesia menghadapi serangan sistematis berbasis standar ESG (Environmental, Social, Governance). Uni Eropa misalnya mengeluarkan regulasi deforestasi yang secara langsung menekan ekspor sawit. Kampanye media Barat menarasikan sawit sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, meski data menunjukkan kontribusinya terhadap emisi global relatif kecil dibanding sektor lain. ESG di sini berfungsi sebagai non-tariff barrier yang menutup akses pasar dengan alasan moral-legal. Bagi Indonesia, ini bukan hanya soal dagang, tetapi juga perang narasi: sawit diposisikan sebagai ancaman lingkungan, padahal bagi 17 juta orang, industri ini adalah sumber penghidupan. Kasus sawit memperlihatkan bagaimana narrative and legal warfare dipakai untuk mengendalikan pasar dan memaksa adopsi standar global tertentu.

Keempat studi kasus ini menggambarkan wajah konkret Globalis Order: dari financial leverage (IMF), kontrak jangka panjang (Freeport), kombinasi sanksi dan rekonstruksi (Ukraina), hingga standar narasi global (sawit). Pola-pola ini menunjukkan bahwa meski bentuknya berganti sesuai zaman, logika dasarnya sama: mengatur alokasi sumber daya, modal, dan legitimasi melalui mekanisme kontrak dan standar internasional.

Implikasi & Jalan ke Depan

Fragmentasi tatanan globalis (globalis order) menandai pergeseran besar dalam arsitektur politik-ekonomi internasional. Jika pada dekade 1990--2000-an dunia relatif berada di bawah satu horizon unipolar dengan dominasi Washington Consensus, maka kini muncul kompetisi blok-blok regional yang memaksakan keragaman model pembangunan, keuangan, dan tata kelola. BRICS misalnya, berupaya memperluas pengaruh lewat instrumen mata uang lokal (Local Currency Transaction/LCT) serta membangun bank pembangunan alternatif untuk mengurangi dominasi IMF--World Bank. ASEAN juga menguji kemandiriannya melalui penguatan instrumen pembayaran lintas negara seperti QRIS Cross-Border, yang secara implisit menjadi antitesis dari dominasi sistem keuangan berbasis dolar.

Namun, resistensi dari kubu globalis tidak melemah. Justru, standar baru semakin dipertegas melalui mekanisme Environmental, Social, and Governance (ESG), agencies pemeringkat kredit, serta narrative warfare yang menekankan isu HAM, demokrasi, dan lingkungan sebagai prasyarat legitimasi politik maupun akses keuangan internasional. Dalam konteks ini, muncul paradoks: semakin kuat upaya de-dolarisasi dan multipolarisasi, semakin agresif pula penegakan standar global yang dirancang untuk tetap mengikat negara berkembang dalam orbit tata kelola globalis.

Bagi Indonesia, dinamika ini membawa tantangan sekaligus peluang. Tantangan terbesar adalah menjaga kedaulatan fiskal di tengah tekanan utang, rating agencies, dan conditionalities internasional. Selain itu, narrative defense menjadi kebutuhan mendesak: kemampuan mengartikulasikan posisi Indonesia dengan narasi yang berakar pada kepentingan nasional, bukan sekadar mengulang diksi yang dirancang oleh lembaga global. Lebih jauh, Indonesia perlu bertransformasi dari "follower" standar global menjadi "standard setter". Gagasan pengembangan Indeks Nusantara---sebuah standar lokal yang mengukur keberlanjutan, keadilan sosial, serta kedaulatan ekonomi dengan perspektif Indonesia---dapat menjadi contoh upaya untuk menyeimbangkan penetrasi standar global dengan kearifan dan kebutuhan domestik.

Dengan demikian, jalan ke depan bukan semata menolak atau tunduk pada globalis order, melainkan merumuskan posisi strategis dalam lanskap multipolar. Indonesia dapat memainkan peran sebagai "bridge state" yang mampu menjembatani kepentingan antarblok, sembari memperkuat arsitektur internal yang melindungi kedaulatan fiskal, narasi, dan standar nasional. Di sinilah peluang Indonesia untuk tidak sekadar menjadi objek dari tatanan global yang terfragmentasi, melainkan menjadi aktor yang ikut membentuk arah baru dunia.

Policy Options untuk Indonesia

1. Kedaulatan Fiskal dan Keuangan

Indonesia perlu membangun buffer keuangan yang lebih kuat untuk mengurangi ketergantungan pada lembaga globalis (IMF, World Bank, rating agencies).

Memperluas instrumen pembiayaan domestik melalui sovereign wealth fund dan instrumen pasar modal syariah.

Memperkuat peran Bank Indonesia dan LPS dalam manajemen krisis, agar tidak mudah dipaksa tunduk pada conditionalities IMF.

Meningkatkan cadangan devisa berbasis komoditas strategis (emas, nikel, batu bara, CPO) untuk memperkuat bargaining power dalam transaksi global.

2. Narrative Defense & Diplomasi Publik

Indonesia harus menyadari bahwa perang narasi sama pentingnya dengan instrumen ekonomi.

Mengembangkan pusat narasi strategis (strategic narrative center) untuk mengartikulasikan kepentingan nasional dalam isu HAM, lingkungan, dan demokrasi dengan perspektif Nusantara.

Mengoptimalkan media nasional dan diplomasi publik (digital diplomacy) untuk melawan stigmatisasi internasional, misalnya dalam isu sawit, deforestasi, atau Papua.

Menguatkan posisi di forum multilateral dengan narasi konsistensi: keadilan global, pembangunan berkelanjutan, dan inklusivitas.

3. Standard Setting: Indeks Nusantara

Indonesia tidak boleh hanya menjadi penerima standar global (OECD, IFRS, ESG), melainkan pencipta standar alternatif.

Menginisiasi Indeks Nusantara sebagai standar nasional yang menilai kinerja pembangunan berdasarkan keseimbangan ekologis, kearifan lokal, dan kedaulatan ekonomi.

Mendorong ASEAN untuk mengadopsi standar regional yang lebih kontekstual, sehingga Indonesia menjadi "norm entrepreneur" di Asia Tenggara.

Menghubungkan standar lokal dengan supply chain global (contoh: sertifikasi sawit berbasis kearifan lokal yang diakui internasional).

4. Regional Blok Engagement

Fragmentasi global membuka ruang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi dalam blok-blok alternatif.

Meningkatkan peran dalam BRICS+, terutama dalam agenda LCT dan dedolarisasi.

Memimpin ASEAN Payment Connectivity (APC) melalui QRIS cross-border, sehingga Rupiah menjadi instrumen regional yang kredibel.

Menjalin aliansi strategis dengan negara-negara Global South (Afrika, Amerika Latin) dalam isu komoditas strategis (nikel, litium, CPO).

5. Resiliensi Domestik & Industri Strategis

Globalis order bekerja dengan menekan rantai pasok negara berkembang. Indonesia perlu memperkuat basis domestik.

Hilirisasi komoditas mineral dan energi harus dipadukan dengan industrial policy yang terintegrasi (EV battery, energi terbarukan, agritech).

Pembangunan sistem pangan nasional berbasis desa dan koperasi untuk mengurangi kerentanan terhadap standar ESG global.

Insentif bagi inovasi teknologi lokal, sehingga Indonesia tidak sekadar menjadi pasar teknologi asing.

Dengan opsi kebijakan di atas, Indonesia dapat menempuh strategi tiga lapis:

1. Defensive (kedaulatan fiskal dan narrative defense),

2. Offensive (standard setting & blok regional),

3. Resilience (industri strategis dan supply chain domestik).

Tiga lapis strategi ini saling menopang dan memungkinkan Indonesia mengubah posisi dari rule-taker menjadi rule-shaper di era multipolar yang sedang terbentuk.

Konklusi "How What" Indonesia 

Globalis order ibarat sebuah panggung sandiwara yang terus berganti kostum, tetapi naskahnya tetap sama: mempertahankan struktur kekuasaan. Di abad ke-19, wajahnya kolonialisme klasik dengan kapal layar, senjata, dan administrasi kolonial. Di abad ke-20, ia berubah menjadi kontrak jangka panjang, pinjaman IMF, hingga perjanjian investasi yang mengikat negara berkembang. Kini, di abad ke-21, wajahnya lebih halus: standar ESG, rating agencies, regulasi FATF, dan narasi pembangunan berkelanjutan. Semua ini mengalir dalam bahasa modern tentang demokrasi, keberlanjutan, dan keterbukaan pasar, namun di baliknya tetap ada tujuan yang sama---menentukan siapa yang menulis kontrak, siapa yang mengatur panggung, dan siapa yang hanya menjadi penonton.

Kemenangan Donald Trump pada 2016 mengguncang panggung itu. Ia datang dengan jargon "America First", menolak konsensus yang dibangun setelah Perang Dingin, bahkan berani menyerang institusi internasional yang selama ini dianggap tak tersentuh. Ketika ia menutup pintu bagi TPP, memaksa renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, atau memangkas dana untuk WHO, Trump seakan menampar wajah globalis: bahwa AS tak harus lagi tunduk pada tatanan yang dibuat dengan mengorbankan kedaulatan ekonomi domestik. Retorika kerasnya di podium PBB tahun 2018 bukan sekadar pidato, tetapi cermin keretakan dalam fondasi global order.

Namun, globalis bukan lawan yang mudah tumbang. Mereka merespons dengan strategi lebih halus namun menyeluruh. Narasi Great Reset dari World Economic Forum menjadi semacam "kontrak baru" yang menyatukan isu pandemi, iklim, dan teknologi dalam satu paket solusi global. Standar ESG dipromosikan bukan hanya sebagai pedoman etika bisnis, tetapi juga alat penilaian investasi global. Lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan WHO kembali dipoles sebagai otoritas moral untuk menekan negara yang keluar jalur. Bahkan perang narasi tentang HAM, lingkungan, dan demokrasi dipakai sebagai senjata untuk mengisolasi figur seperti Trump.

Di tengah tarik-menarik inilah, dunia bergerak ke arah multipolaritas. BRICS+ semakin berani melawan dominasi dolar lewat local currency trade (LCT). Asia Tenggara mengembangkan payment connectivity dan QRIS lintas negara sebagai langkah kecil keluar dari jeratan sistem keuangan global. Afrika dan Amerika Latin mulai berani bicara soal kedaulatan pangan dan energi. Fragmentasi ini membuka peluang: ada celah bagi negara berkembang untuk tidak hanya ikut dalam kontrak, tetapi mulai ikut menulis isi kontrak itu.

Bagi Indonesia, momen ini adalah ujian sejarah. Apakah kita akan mengulang pola 1967 saat menandatangani kontrak Freeport yang mengunci kedaulatan sumber daya selama puluhan tahun? Apakah kita akan mengulang 1998, ketika IMF memaksa reformasi struktural dengan konsekuensi sosial dan ekonomi yang masih terasa hingga kini? Atau kita belajar, bahwa di era multipolar, kedaulatan fiskal, kontrol moneter, narrative defense, dan kemampuan membuat standar sendiri adalah kunci agar tidak hanya menjadi objek?

Pertanyaan terakhir inilah yang akan menentukan posisi Indonesia dalam sejarah global yang sedang ditulis ulang. Menjadi objek berarti pasif, menerima kontrak yang sudah disiapkan, dan terus berada di bawah pengaruh narasi luar. Menjadi subjek berarti berani mengajukan definisi baru tentang pembangunan, berani membentuk indeks alternatif seperti Indeks Nusantara melawan dominasi ESG, dan berani berdiri dalam forum internasional dengan keyakinan bahwa kepentingan nasional bukan sekadar catatan kaki.

Globalis order tidak pernah benar-benar mati; ia hanya berganti wajah. Dari kolonialisme klasik, ke kontrak jangka panjang, hingga standarisasi modern yang dibungkus narasi pembangunan berkelanjutan. Semua bergerak dengan logika yang sama: menjaga struktur kekuasaan global melalui mekanisme finansial, hukum, dan narasi.

Kemenangan Donald Trump pada 2016---dan potensi kembalinya ia pada 2024--2025---menjadi katalis yang mengguncang tatanan ini. Trump bukan sekadar fenomena politik domestik Amerika Serikat, melainkan simbol resistensi terhadap konsensus globalis yang selama puluhan tahun dianggap tak tergoyahkan. Retorika "America First," perang dagang, pemangkasan dana ke lembaga multilateral, hingga dorongan unilateral deal, membuka celah sekaligus memperlihatkan keretakan dalam tatanan global.

Namun, globalis tidak tinggal diam. Narasi Great Reset, instrumen ESG, penguatan lembaga internasional, hingga perang narasi berbasis HAM dan lingkungan menjadi respons untuk mempertahankan dominasi. Di tengah tarik-menarik inilah, multipolaritas baru mulai terbentuk: BRICS+, dedolarisasi, ASEAN payment connectivity, hingga QRIS lintas negara.

Pertanyaan kunci bagi Indonesia adalah sederhana tetapi menentukan: apakah kita akan terus menjadi objek dari kontrak global yang ditulis oleh pihak luar, atau berani menjadi subjek yang ikut merumuskan aturan main baru?

Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada pilihan strategis: memperkuat kedaulatan fiskal dan moneter, membangun narrative defense, serta menciptakan standard setting alternatif yang berakar pada kepentingan nasional dan regional. Jika tidak, Indonesia hanya akan mengulang pola lama---berganti baju, tapi tetap dalam kontrak yang mengekang. Jika ya, maka Indonesia berpotensi menjadi salah satu arsitek dalam sejarah global yang sedang ditulis ulang.

Globalis order tidak mati, ia hanya berganti wajah. Tetapi wajah baru itu bisa kita hadapi dengan strategi baru pula. Dunia sedang bertransisi, dan Indonesia punya kesempatan langka untuk berpindah peran: dari penonton menjadi pemain, dari objek menjadi subjek, dari penerima kontrak menjadi penulis kontrak. Sejarah global kini ibarat manuskrip terbuka---pertanyaannya, apakah kita siap menorehkan kalimat kita sendiri, atau sekadar membiarkan orang lain menuliskannya untuk kita?

Globalis order mungkin terus berganti baju, dari kolonialisme hingga kontrak, dari pinjaman IMF hingga standar ESG. Trump hanyalah katalis yang menunjukkan bahwa panggung itu bisa diguncang. Kini, pilihan ada pada kita: apakah Indonesia akan kembali menjadi objek dari kontrak global yang disusun di luar negeri, atau berani menjadi subjek yang ikut menulis kontrak baru dunia multipolar. Sejarah tidak menunggu---ia hanya mencatat siapa yang berani mengambil peran.

Catatan Lampiran Simulasi 

Analisis Transisi Dan Komparatif

Sistematis antara keempat studi kasus (Indonesia 1998, Freeport 1967, Ukraina 2014--2022, sawit 2010--2020). Tujuannya: mengekstrak pola operasional globalis order, memetakan aktor & instrumen yang sama, melihat transisi mekanisme dari satu era ke era lain, serta menyusun implikasi praktis dan indikator awal (early-warning) untuk kebijakan.

Saya bagi analisis ini menjadi: (A) rangkuman singkat tiap kasus, (B) tabel komparatif utama (aktor --- instrumen --- tujuan --- dampak), (C) pola transisi --- mekanisme berulang, (D) perbedaan penting antar kasus (konteks & variabel pengubah), (E) pelajaran strategis untuk Indonesia + rekomendasi prioritas, dan (F) indikator pemantauan / early warning.

A. Rangkuman singkat (1--2 kalimat tiap kasus)

Indonesia 1997--1998 (IMF & reformasi): Krisis finansial memicu intervensi IMF yang disertai conditionalities besar (privatisasi, deregulasi), menghasilkan restrukturisasi ekonomi yang memperbesar peran modal asing dan mengubah arsitektur kebijakan domestik.

Freeport 1967 (kontrak jangka panjang): Kontrak karya jangka panjang mengunci akses komersial besar atas sumber daya strategis, mengurangi ruang kedaulatan ekonomi meski kedaulatan politik tetap diakui.

Ukraina 2014--2022 (konflik sanksi rekonstruksi): Konflik geopolitik diubah menjadi peluang kontraktual dan keuangan oleh aktor-aktor global; sanksi melemahkan lawan, sementara paket rekonstruksi membuka jalur masuk korporasi multinasional.

Sawit Indonesia (2010--2020; ESG & NLW): Standar ESG dan kampanye narasi (NLW) dipakai sebagai non-tariff barriers untuk membatasi akses pasar; hasilnya tekanan harga, biaya kepatuhan, dan kebutuhan diplomasi naratif.

-

B. Tabel komparatif ringkas

ElemenIndonesia 1998 (IMF)Freeport 1967Ukraina 2014--2022Sawit (2010--2020)

Konteks pemantikKrisis moneter regionalIntegrasi politik pasca-1965Revolusi politik & invasiKampanye lingkungan global

Aktor utamaIMF, Bank Dunia, investor globalFreeport, pemerintah Orde Baru, US networksNATO, UE, AS, perusahaan rekonstruksiEU regulators, NGOs (Greenpeace), buyers

InstrumenConditionalities, bailoutKontrak karya, izin jangka panjangSanksi, bantuan, kontrak rekonstruksiESG standards, market access rules

Tujuan aktor globalLiberalize market; akses investasiAkses jangka panjang ke sumber dayaIsolate adversary; shape postwar economyMelindungi pasar; norm entrepreneurship

Dampak pada negaraHilang ruang kebijakan fiskal; privatisasiPembatasan kedaulatan sumberdaya; ketimpangan lokalDependensi bantuan; peluang korporasiTekanan ekspor; kebutuhan sertifikasi

Jenis dominasiFinansial-legalKontraktualKombinasi militer-finansialNormatif-market

Kemampuan kontra negaraTerbatas; domestic turmoilNegosiasi kontrak; tuntutan renegosiasiDiplomasi multilateral; resistensi militerDiplomasi, sertifikasi domestik (ISPO)

-

C. Pola transisi --- Mekanisme berulang (benang merah)

Dari keempat kasus terlihat pola operasional berulang yang dapat ditulis sebagai rangka aksi:

1. Pemantik krisis atau momentum --- krisis finansial (1997), perubahan politik (1967, 2014), atau episod kampanye normatif (ESG). Krisis/momentum membuka celah untuk intervensi.

2. Masuknya aktor/kapita --- IMF/Bank Dunia/bank global; korporasi raksasa; konsorsium donor/filantropi; atau aliansi negara (blok Barat).

3. Penggunaan instrumen hukum-kontraktual --- kontrak karya, BIT/ISDS, perjanjian privatisasi, atau kontrak rekonstruksi yang mengunci hak jangka panjang.

4. Tekanan finansial & standar --- conditionalities, akses pasar, rating, atau standar ESG yang memperkecil ruang kebijakan.

5. Narasi & legitimasi --- kampanye media/NGO, frame HAM/lingkungan/anti-korupsi untuk membangun legitimasi intervensi.

6. Outcomes struktural --- restrukturisasi pasar (privatisasi), kontrol korporat atas sumber daya, pembatasan opsi kebijakan, kebutuhan investasi pemulihan yang mengikat.

Mekanisme ini berulang dengan variasi: kadang lebih finansial-legal (IMF), kontraktual (Freeport), militer-finansial (Ukraina), atau normatif-market (sawit).

-

D. Perbedaan penting antar kasus (variabel pengubah)

Walau polanya serupa, ada perbedaan kunci yang menentukan hasil:

1. Sifat momentum: Krisi akut (1997) memaksa cepat; pergeseran politik (1967) memberikan ruang negosiasi; konflik militer (Ukraina) menciptakan kondisi "winner takes contracts"; kampanye normatif (sawit) bekerja lebih lambat tetapi luas.

2. Level kekerasan/koersifitas: Ukraina melibatkan unsur kekerasan militer---mempercepat dan memperluas intervensi. Freeport lebih legal-kontrakual. IMF memanfaatkan tekanan pasar (bukan senjata). ESG memanfaatkan pasar dan reputasi.

3. Kapasitas domestik menahan: Negara dengan institusi lemah (1998 Indonesia saat itu) lebih rentan ke paket yang mengubah struktur; negara dengan kapasitas koordinasi/pertahanan lebih tinggi dapat menegosiasikan (atau menolak) beberapa syarat.

4. Peran aktor eksternal strategis: Direktur IMF, donor besar, atau perusahaan raksasa memiliki agenda yang berbeda---agenda filantropi vs komersial vs geopolitik---hasilnya juga berbeda.

5. Respon masyarakat & politik domestik: Protes, pergantian rezim, atau kekuatan politik lokal dapat mempercepat atau memblokir konsesi (lihat jatuhnya rezim Orde Baru; resistensi lokal terhadap Freeport).

-

E. Pelajaran strategis untuk Indonesia --- implikasi & rekomendasi prioritas

Dari pola-pola di atas, beberapa pelajaran praktis bagi kebijakan Indonesia:

1) Kenali Trigger Points --- dan siapkan playbook cepat

Trigger: krisis nilai tukar, tekanan pasar modal, kampanye NGO, konflik regional, atau momentum politik.

Action: Skenario tanggap (financial buffers, legal rapid-response team, public diplomacy kit).

2) Batasi penguncian jangka panjang melalui kontrak

Hindari atau renegosiasi klausul eksklusif/long-term yang menutup opsi (re-negotiation windows, local content, technology transfer).

Standar kontrak model: mandatory local value-add clauses, transparent profit sharing, environmental + social obligations with enforceable Community Benefit Agreements.

3) Perkuat kedaulatan fiskal & instrumen stabilisasi

SWF/ stabilization fund (dengan governance & transparency) untuk menahan godaan penjualan aset saat krisis.

Domestic bond market deepening untuk mengurangi ketergantungan USD sovereign borrowing.

4) Bangun legal-narrative capacity (counter-NLW)

Task Force NLW: combine legal rapid response (WTO/ICSID defense), data-driven counter-narrative (science & impact metrics), and diplomatic outreach.

Investasi pada research & communications: demonstrable data (deforestation per tonne, socioeconomic impact, jobs).

5) Standard entrepreneurship --- buat alternatif bukan sekadar protes

Kembangkan Indeks Nusantara / sertifikasi regional (traceability, carbon co-benefits, social inclusion), gunakan blockchain for provenance.

Negosiasikan mutual recognition di ASEAN/BRICS market corridors.

6) Else: Use the rivalry --- leverage multipolarity

Aktifkan minilateral deals (swap lines, project finance) dengan beberapa mitra pada saat bersamaan untuk meningkatkan bargaining position.

Jangan "bet" semua pada satu blok; diversify counterparties.

7) Proteksi masyarakat & legitimacy

Kebijakan harus memasukkan social protection (subsidi targeted, employment schemes) saat reformasi --- untuk mencegah destabilisasi politik yang memudahkan intervensi eksternal.

-

F. Indikator Pemantauan / Early Warning (operasional untuk pembuat kebijakan)

Buat dashboard yang memantau kombinasi indikator ekonomi-legal-naratif:

Ekonomi / Keuangan

Lonjakan sovereign CDS spread / yield 10y > threshold.

Cadangan devisa vs import bulan < 3 months.

Capital outflow surge (weekly).

Penurunan inflow FDI dalam sektor strategis > X% quarterly.

Hukum / Kontrak

Lonjakan permintaan arbitrase (ISDS filings) terkait sektor nasional.

Negosiasi kontrak besar ( > USD X miliar) yang melibatkan klausul exclusivity/repats.

Diskusi bilateral untuk rekonstruksi pasca-konflik di kawasan terdekat.

Narasi / Media

Volume media negatif internasional terhadap komoditas strategis (sentiment index).

Aktivitas NGO/filantropi kampanye di pasar utama (EU/US).

Trending topics disinformasi yang menyerang legitimasi kebijakan pemerintah.

Politik / Diplomasi

Tekanan dari donors/creditors untuk policy change (documented conditionalities).

Munculnya minilateral offers (swap lines, project funding) dari pihak luar --- opportunity or trap? Assess terms.

Sintesis

Keempat studi kasus menunjukkan bahwa globalis order memakai instrumen berlapis (kontrak, keuangan, normatif, militer, narasi) yang dapat disatukan menurut konteks. Perbedaan waktu dan situasi menentukan kombinasi instrumen. Untuk Indonesia: kunci adalah meminimalkan titik kerentanan (triggers), mengunci kontrak lebih adil, membangun kapasitas legal-narrative, dan memanfaatkan multipolarity sebagai leverage---semua dibingkai dalam strategi pembangunan yang melindungi kesejahteraan domestik sehingga negara tidak mudah dijerat oleh kontrak atau standardisasi yang merugikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun