Keenam, media dan narasi. The New York Times, Bloomberg, BBC, Reuters, dan kini juga jaringan media sosial global, berfungsi sebagai narrative shapers. Mereka tidak hanya melaporkan fakta, melainkan juga membingkai realitas sesuai dengan preferensi tertentu. Narasi tentang krisis iklim, demokrasi, HAM, hingga disinformasi kerap digunakan sebagai entry point untuk mendefinisikan apa yang "rasional" dan apa yang "ilegal." Media, dalam hal ini, adalah perpanjangan tangan dari global narrative warfare, yang bekerja halus namun efektif membentuk persepsi publik dan legitimasi kebijakan global.
Secara keseluruhan, aktor-aktor utama ini membentuk semacam archipelago of power---jejaring pulau-pulau kekuasaan yang saling berhubungan. Tidak ada satu otoritas tunggal yang mengendalikan, melainkan ekosistem dengan distribusi peran yang berbeda: individu memberi wajah dan simbol, bank memberi modal, korporasi menjadi operator, lembaga internasional memberi legitimasi, filantropi menyediakan narasi moral, dan media membentuk opini publik. Dari interaksi inilah globalis order terus bereproduksi, berganti baju, namun jarang kehilangan kendali.
Timeline Global Order
Sejarah globalis order tidak lahir tiba-tiba, melainkan berkembang melalui serangkaian krisis dan momen institusional yang menandai pergeseran dari kolonialisme klasik ke tata kelola berbasis kontrak, standar, dan lembaga internasional.
- 1914--1945: Perang Dunia I & II, runtuh kolonialisme klasik.
Dua perang dunia menandai akhir dari era kolonialisme langsung. Kekaisaran Eropa yang dulu menguasai wilayah-wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin runtuh, bukan hanya karena biaya perang yang besar, tetapi juga karena bangkitnya nasionalisme di koloni. Namun, keruntuhan kolonialisme klasik tidak berarti lahirnya kedaulatan penuh. Justru sejak momen ini, format baru hegemoni global mulai terbentuk: kontrol melalui keuangan, perdagangan, dan institusi multilateral.
- 1944: Bretton Woods, lahir IMF & Bank Dunia.
Konferensi Bretton Woods menjadi fondasi globalis order modern. IMF didirikan untuk mengatur stabilitas moneter internasional, sementara Bank Dunia fokus pada pembangunan kembali pascaperang. Sistem ini menempatkan dolar AS sebagai jangkar, mengikat negara-negara lain ke dalam rezim keuangan internasional. Dengan begitu, dominasi tidak lagi berbentuk penjajahan militer, melainkan pengaturan nilai tukar, kredit, dan proyek pembangunan.
- 1967: Konferensi Jenewa & kontrak Freeport.
Indonesia menjadi contoh konkret bagaimana kolonialisme bergeser menjadi kontraktual. Konferensi Jenewa menegaskan posisi Irian Barat (Papua) di bawah Indonesia, namun hampir bersamaan lahirlah kontrak jangka panjang dengan Freeport. Di sinilah terlihat transisi: kedaulatan politik diakui, tetapi kedaulatan ekonomi segera "dikunci" melalui kontrak investasi asing. Model ini menjadi pola baku: negara berdaulat, namun sumber daya strategis dikuasai lewat instrumen hukum internasional.
- 1971: Nixon Shock dolar fiat.
Keputusan Presiden Richard Nixon melepaskan konvertibilitas dolar terhadap emas menandai pergeseran monumental. Sejak saat itu, dolar menjadi fiat money yang nilainya ditopang bukan oleh emas, melainkan oleh kekuatan politik, militer, dan ekonomi AS. Efeknya, AS dapat mencetak dolar tanpa batas, sementara seluruh dunia terikat pada arsitektur keuangan berbasis dolar. Ini memperdalam ketergantungan global terhadap kebijakan moneter Washington.
- 1991: Runtuhnya Soviet unipolar moment.
Bubarnya Uni Soviet membuka jalan bagi AS untuk tampil sebagai satu-satunya superpower. Dunia memasuki apa yang disebut Charles Krauthammer sebagai unipolar moment. NATO meluas, pasar bebas dipromosikan melalui WTO, dan intervensi "demokratisasi" menjadi norma baru. Dalam fase ini, globalis order mencapai puncak hegemoninya: tidak ada rival sistemik, hanya ada kepatuhan terhadap neoliberalisme dan demokrasi liberal.
- 1997--1998: Krisis Asia, intervensi IMF di Indonesia.
Krisis moneter Asia menjadi titik balik penting bagi negara-negara berkembang. Indonesia, misalnya, dipaksa menerima paket reformasi IMF: deregulasi, privatisasi BUMN, dan liberalisasi pasar keuangan. Alih-alih pemulihan cepat, reformasi tersebut justru memperdalam penetrasi korporasi asing ke dalam perekonomian domestik. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana IMF tidak sekadar "membantu," melainkan sekaligus mengatur ulang arsitektur ekonomi nasional sesuai resep global.
- 2008: Krisis finansial global.
Runtuhnya Lehman Brothers memicu resesi global yang mengguncang kredibilitas kapitalisme neoliberal. Ironisnya, penyelamatan dilakukan bukan melalui disiplin pasar, tetapi melalui bailout besar-besaran dari bank sentral, terutama The Fed. Dampaknya ganda: ketidaksetaraan makin lebar, sementara manajer aset raksasa seperti BlackRock justru tumbuh menjadi aktor dominan. Krisis ini membuka ruang bagi kritik terhadap globalisasi finansial, tetapi juga memperkuat cengkeraman segelintir institusi keuangan.
- 2016: Trump menang, "America First."
Kemenangan Donald Trump menjadi gejolak dalam sistem. Dengan slogan "Make America Great Again" dan retorika anti-globalisme, Trump mengguncang konsensus yang dibangun sejak 1944. Ia keluar dari TPP, memaksa renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, serta melancarkan perang dagang dengan Tiongkok. Trump juga mengkritik keras lembaga internasional seperti WTO, WHO, dan NATO. Momen ini memperlihatkan adanya retakan dalam globalis order, di mana negara inti sendiri mulai mempertanyakan manfaat sistem tersebut.
- 2020: Pandemi COVID-19, Great Reset.
Pandemi menjadi stress test bagi tata kelola global. Di satu sisi, terjadi solidaritas kesehatan; di sisi lain, pandemi dimanfaatkan sebagai momentum untuk mendorong agenda Great Reset ala World Economic Forum (WEF). Narasi "build back better" mendorong transisi digital, energi hijau, dan standardisasi ESG. Pandemi membuktikan bahwa krisis bisa menjadi peluang bagi globalis order untuk memperbarui legitimasi dan memperluas kontrol melalui isu kesehatan, data, dan standar baru.
- 2023: BRICS+ dorong Local Currency Transaction (LCT).
Kebangkitan BRICS+ (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, plus negara mitra) menandai awal fragmentasi. Mereka mendorong transaksi lintas negara dengan mata uang lokal, sebagai upaya mengurangi dominasi dolar. Meskipun belum sepenuhnya menggantikan sistem dolar, inisiatif ini memperlihatkan bahwa resistensi terhadap globalis order kini memiliki basis kelembagaan. ASEAN pun ikut mengadopsi LCT, sementara Indonesia mendorong integrasi QRIS lintas negara.
- 2024--2025: Trump jilid dua.
Jika Trump benar-benar kembali berkuasa, dunia akan memasuki fase konfrontasi jilid dua antara nasionalisme ekonomi AS dengan globalis order. Trump kemungkinan besar akan melanjutkan agenda proteksionis, memperkuat energi fosil, dan melemahkan lembaga multilateral. Hal ini berpotensi mempercepat fragmentasi, di mana blok-blok alternatif seperti BRICS+ mengambil ruang yang ditinggalkan, sementara globalis mendorong standar ESG dan narrative warfare lebih agresif untuk mempertahankan kontrol.
Trump Menantang Globalis Order
Donald J. Trump adalah fenomena politik yang tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka domestik Amerika Serikat. Sejak kampanye 2016 hingga masa pemerintahannya (2017--2021) dan kemudian pada periode keduanya (2024--sekarang), Trump tampil sebagai figur yang secara terbuka menantang konsensus global yang dibangun pasca-Perang Dunia II. Tantangan ini bersifat multidimensi: dari retorika politik di forum internasional hingga langkah konkret dalam bidang ekonomi, kelembagaan, energi, keuangan, dan diplomasi.
1. Retorika: Patriotisme vs Globalisme
Pidato Trump di Sidang Majelis Umum PBB tahun 2018 menjadi tonggak utama dalam artikulasi anti-globalisme. Ia menyatakan dengan tegas: "We reject the ideology of globalism, and we embrace the doctrine of patriotism." Pernyataan ini mengguncang forum yang biasanya menjadi panggung konsensus internasional. Bagi Trump, PBB, WTO, dan lembaga multilateral lain kerap melucuti kedaulatan negara dengan dalih kerja sama global. Ia memosisikan Amerika bukan sebagai "pemimpin global" yang harus menanggung beban, melainkan sebagai negara yang mengutamakan kepentingan rakyatnya sendiri.
Retorika ini resonan di dalam negeri, terutama bagi kelompok kelas menengah-bawah yang merasa dirugikan globalisasi (outsourcing, kehilangan lapangan kerja industri). Namun, lebih dari sekadar retorika politik domestik, pidato tersebut adalah deklarasi terbuka melawan globalis order.
2. Tindakan Ekonomi: Proteksionisme sebagai Senjata
Retorika Trump terwujud dalam kebijakan ekonomi yang konkret. Ia menarik AS keluar dari Trans-Pacific Partnership (TPP), sebuah mega trade deal yang dirancang untuk mengikat Asia-Pasifik ke dalam orbit aturan perdagangan liberal. Trump menilai TPP lebih menguntungkan Tiongkok dan merugikan pekerja Amerika.