Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

9 Desember 2018   06:51 Diperbarui: 9 Desember 2018   06:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dyah Puspita tidak berpikir panjang lagi.  Dia melompat keluar dari air dan mulai membuka kepungan itu.  Tidak peduli bahwa semua orang memandangnya dengan mata melotot penuh nafsu.  Bagaimana tidak?  Tubuhnya benar benar seperti telanjang.  Baju dalamnya tidak bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang menggairahkan karena tercetak oleh basahnya air.

Sebuah keuntungan bagi Dyah Puspita karena orang orang itu kemudian menjadi sangat lengah.  5 orang sudah terpelanting ke kanan kiri saat dengan mudahnya Dyah Puspita mendaratkan pukulan dan tendangan.  Pemimpin gerombolan itu lalu sadar dan berteriak memperingatkan anak buahnya untuk waspada dan hati hati.  Perempuan jelita yang mereka hadapi bukanlah perempuan biasa.  

Tapi terlambat,  kepungan itu kocar kacir berantakan dihajar oleh Dyah Puspita dan Sima Lodra.  Situasi berbalik sekarang.  Kini gerombolan yang babak belur itu semakin terpukul mundur.  Dyah Puspita yang marah hati tak memberi mereka kesempatan untuk kabur.  20 orang itu benar benar diberinya pelajaran yang mahal. 

Saat gerombolan itu sudah tak berkutik lagi dengan sebagian besar terluka parah sedangkan sisanya malah sudah kehilangan nyawanya.  Terdengar teriakan penuh kemarahan dari kejauhan.  Kemudian nampak kelebatan bayangan bayangan merah yang menuruni gunung dengan cepat.  Secepat teriakan itu dimulai secepat itu pula bayangan bayangan itu sudah berdiri di hadapan Dyah Puspita.   

Lima orang berdiri berjajar di depan Dyah Puspita dan Sima Lodra.  Kelimanya mengenakan topeng berbentuk mengerikan.  Empat orang di kanan kiri nampak jelas sebagai laki laki tinggi besar.  Sedangkan di tengah sepertinya adalah pimpinan mereka.  Sesosok tubuh langsing tinggi dengan rambut panjang terurai ke belakang.  Dyah Puspita bisa menduga secara pasti bahwa ini para pemimpin Perkumpulan Malaikat Darah.  Yang ditengah tentulah Malaikat Darah Berbaju Merah sendiri.

"Perempuan lancang!! Berani beraninya kamu mengacau di tempat ini! Siapa kamu dan apa tujuanmu?!"  Hardik Malaikat Darah Berbaju Merah dengan bengis.

"Aku tidak lancang dan aku tidak mengacau tempat ini! Anak buahmu lah yang kotor dan perlu dibersihkan dari bumi ini!" Dyah Puspita menyahut dengan tidak kalah tegas.

"Hei perempuan binal! Melihatmu berbaju macam itu, siapa laki laki yang tidak berpikiran kotor!  Dasar jalang!!" Malaikat Darah Berbaju Merah makin terbakar hatinya melihat wanita itu tidak takut sedikitpun dengannya. 

Tubuhnya melayang maju dan menyerang Dyah Puspita dengan ganasnya.  Tidak hanya bajunya yang berwarna merah, namun pukulan-pukulannya pun ternyata juga mengandung angin pukulan yang berwarna merah.  Pukulan Malaikat Berdarah!  Ilmu tingkat tinggi yang diperolehnya dari hasil pengembaraan selama bertahun tahun di negeri negeri seberang.  Gerakan gerakannya pun aneh dan tak terduga. 

Pada awalnya Dyah Puspita sempat kerepotan karena tidak mengenal gerakan gerakan aneh ini.  Namun dia adalah anak tunggal sekaligus murid kesayangan Ki Tunggal Jiwo.  Salah satu dari jajaran tokoh tokoh nomor satu dunia persilatan di Pulau Jawa.  Dia segera mengimbangi jurus jurus aneh itu dengan mengembangkan jurus andalannya dan sekaligus balas menyerang dengan pukulan sakti Braja Musti.  Terjadilah pertandingan yang seru, berimbang dan menegangkan! 

Sudah lebih dari puluhan jurus dua wanita ini saling bertukar pukulan dan tendangan.  Namun belum nampak sedikitpun ada pihak yang terdesak. Keempat pembantu kepercayaan Malaikat Darah Berbaju Merah saling bertukar pandang kemudian bersama sama maju ke depan membantu pimpinannya mengeroyok Dyah Puspita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun