Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

9 Desember 2018   06:51 Diperbarui: 9 Desember 2018   06:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahapatih Gajahmada tidak tahu bahwa Malaikat Darah Berbaju Merah adalah wanita yang sangat cerdik.  Dia telah membangun sebuah gudang logistik yang besar di sebuah terowongan di puncak Semeru.  Semua perbekalan selama setahun disembunyikan di sana.  Untuk memenuhi kebutuhan hidup anggotanya yang tersebar di hutan hutan Semeru, para anggota tersebut diperintahkan untuk berkebun, merampok, mencuri, atau memelihara budak yang bisa disuruh berburu dan memancing ikan.  Seperti halnya yang dilakukan oleh Arya Dahana.

Setelah bercerita panjang lebar, Arya Dahana kemudian mengajak Dyah Puspita masuk ke dalam ruang kecil tempat Ki Gerah Gendeng.  Dengan telaten, Arya Dahana membersihkan tubuhnya, mengganti pakaian, menyuapkan makanan dan sedikit obat.  Setelah semua selesai dilakukan, Arya Dahana menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Dyah Puspita.  Membakar ikan hasil tangkapan tadi siang kemudian duduk di luar gua sambil menghangatkan tubuh di depan api.  Sima Lodra mendapatkan bagiannya juga.  1 keranjang ikan besar besar menjadi santap malamnya.

"Arya, bagaimana kau mengendalikan apa yang ada dalam tubuhmu itu kalau sampai sekarang kau belum mendapatkan caranya?" Dyah Puspita membuka percakapan.

Arya Dahana menambahkan kayu ke dalam api,"tidak bisa dikendalikan Kak Puspa.  Satu satunya cara agar hawa dalam tubuhku ini tidak menyakitiku atau membunuhku adalah dengan tidak membiarkan amarah menguasaiku.  Hawa amarah akan memicu hawa panas dan racun di tubuhku bereaksi. Oleh sebab itu, Ki Gerah Gendeng mengajariku bersamadi dan berbagai macam cara mengendalikan amarah."

Dyah Puspita menatap tubuh kurus itu dengan iba.  Tubuh yang menyimpan kekuatan luar biasa dahsyat namun yang bersiap juga membunuhnya setiap saat.  Selama bertahun tahun Arya Dahana menderita seperti itu.  Hidup dan matinya dipertaruhkan setiap hari dengan beda setipis kulit ari. Dia bertekad akan menemani Arya Dahana mendapatkan Mustika Naga agar bisa sembuh seutuhnya. 

Pipinya bersemu merah membayangkan dirinya menghabiskan hari hari bersama pemuda itu.  

Aaaahhh, kenapa aku jadi begini?  Sudah puluhan pemuda gagah tampan dan kaya mencoba menggerakkan hatinya tapi tak sedikitpun yang bisa. Sekarang pemuda dengan usia jauh di bawahnya, dekil, lusuh dan kurus ini membuat pipinya menjadi merah, hatinya menjadi jengah, jantungnya berdebar debar tak karuan.  

Dyah Puspita tak tahan lagi berpikir lebih jauh.  Dibaringkannya tubuhnya di dekat api, meletakkan pikirannya dalam dalam, kemudian jatuh tertidur dengan gelisah.  Melihat Dyah Puspita meringkuk tertidur, Arya Dahana mengambil selimut dari dalam gua dan menyelimutinya dengan hati hati. Digeletakkannya tubuhnya tak jauh dari Dyah Puspita dan mulai merajut mimpi.

Saat pagi menyapa dengan riang.  Burung --burung berdendang tak henti henti.  Kabut yang menyelimuti Ranu Kumbolo perlahan lahan terangkat dari permukaannya yang setenang kaca.  Dyah Puspita terbangun dengan tubuh sesegar melati.  Rupanya dia tertidur sangat pulas. Malam tadi sebenarnya sangatlah dingin namun dia merasa hangat sekali.  Diangkatnya selimut dari tubuhnya dan mencari cari Arya Dahana dengan sudut matanya.

Dilihatnya pemuda itu masih telungkup lelap tertidur di sebelahnya.  Lengan kanannya memeluk pinggang Dyah Puspita sedangkan lengan kirinya memeluk satu kaki Sima Lodra.  Dyah Puspita tidak mau membangunkan Arya Dahana dengan menyingkirkan tangannya.  Lagipula pelukan itu membuatnya sangat nyaman. Pemuda polos itu pasti memeluknya semalaman untuk menghangatkan tubuhnya karena api sudah lama mati. 

Dyah Puspita menatap langit yang masih temaram jingga.  Udara dingin masih menggigit dengan kejamnya.  Rasa panas merambat dari lehernya menuju muka.  Duuuh Gusti, kenapa dia harus jatuh cinta dengan orang yang salah.  Tertusuk oleh kenyataan itu, menghela nafas panjang, Dyah Puspita bangkit berdiri tiba tiba.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun