Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

9 Desember 2018   06:51 Diperbarui: 9 Desember 2018   06:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan lebih erat dari Arya Dahana memeluknya. Sebutir airmata jatuh di pipinya.  Sebuah getaran aneh menjalar dari jantungnya.  Membuat sekujur tubuhnya merinding.  Cepat cepat dilepaskan pelukannya.  Wajahnya memerah. Menambah kecantikannya yang sungguh jelita diterpa sinar matahari sore. 

Arya Dahana tidak henti hentinya memandangi wajah Dyah Puspita.  Sambil bercerita panjang lebar bahwa dia dibawa mengembara oleh Ki Gerah Gendeng selama bertahun tahun.  Mulai dari Ujung Blambangan hingga Ujung Kulon.  Terus berpindah pindah tempat.  Ki Gerah Gendeng tanpa kenal lelah mendatangi setiap kenalannya yang berilmu tinggi di seluruh pelosok pulau Jawa.  Berharap ada yang mampu menyembuhkan sakitnya yang aneh.  

Karena sakit yang dideritanya tidak bisa disembuhkan oleh obat atau ramuan yang Ki Gerah Gendeng adalah dewanya.  Sakit itu hanya bisa diobati jika ada ilmu yang bisa menggabungkan dua hawa murni yang berlawanan menjadi satu.  Tak satupun yang sanggup memenuhi permintaan Ki Gerah Gendeng.  Hanya ada satu petunjuk kecil yang didapat oleh Ki Gerah Gendeng ketika mengunjungi Pendekar Pena Menawan di padepokannya;

"Sakitnya ini misterius Ki.  Sepertinya satu satunya jalan adalah anak ini harus menelan mustika naga.  Itupun hanya salah satu dari dua macam mustika itu.  Air atau api.  Jika kelak yang ditemukannya adalah mustika bumi atau udara, maka itupun tidak akan bisa." Demikian nasehat pendek dari Ki Biantara waktu itu.

Akhirnya memasuki tahun ke sepuluh, raga Ki Gerah Gendeng tak mampu lagi menahan desakan usia.  Orang tua itu jatuh sakit berkepanjangan.  Mereka menetap di Ranu Kumbolo setahun terakhir ini.  Arya Dahana merawat Ki Gerah Gendeng dengan penuh hormat.  Sadar apa yang telah dilakukan selama bertahun tahun untuk kesembuhannya. 

Hanya saja ternyata wilayah Ranu Kumbolo ada yang menguasai, yaitu Perkumpulan Darah Malaikat.  Sebuah perkumpulan rahasia yang dipimpin oleh seorang tokoh yang menggemparkan dunia persilatan karena kekejiannya.  Seorang tokoh yang sangat membenci perempuan meski dirinya adalah perempuan.  Bahkan sebenarnya dia adalah seorang perempuan bangsawan saudara tiri Raja Hayam Wuruk.  Tokoh yang telah membuang nama aslinya dan memanggil dirinya dengan julukan Malaikat Darah Berbaju Merah. 

Perkumpulan Darah Malaikat sudah lama didirikan oleh Malaikat Darah Berbaju Merah.  Semakin lama kekuatannya semakin besar.  Pusat gerakannya ada di Gunung Semeru. Sehingga ketika Ki Gerah Gendeng dan rombongannya menetap di Ranu Kumbolo, mereka diharuskan membayar pajak. Mereka tahu bahwa Ki Gerah Gendeng adalah tokoh pengobatan nomor satu di dunia.  Oleh karena itu mereka memanfaatkannya dengan tidak mengganggunya.  Jika sewaktu waktu ada anggota perkumpulan ini yang sakit, maka Ki Gerah Gendeng lah tabibnya.  Gratis.

Selain itu, mereka juga memberikan perintah ke Arya Dahana untuk selalu mencarikan mereka ikan dan binatang buruan setiap hari sebagai bahan makanan anggota perkumpulan itu.  Tidak ada yang tahu tepatnya letak markas perkumpulan ini karena hanya Malaikat Darah Berbaju Merah dan beberapa pembantu terpercayanya saja yang tahu.  

Ribuan anggota perkumpulan yang lain disebar di ratusan titik wilayah Gunung Semeru.  Setiap harinya, Arya Dahana selalu menyetorkan hasil buruan dan pancingannya kepada pos terdekat perkumpulan itu.  Pemuda itu selalu ditemani oleh Sima Lodra.  Karena itu tidak ada yang berani mengganggu atau mengusiknya.  Pemimpin di pos itu sangat jeri setiap kali melihat harimau itu mengawal Arya Dahana mengirimkan upeti. 

Mahapatih Gajahmada sebenarnya beberapa kali mengirimkan pasukan termasuk juga Sayap Sima untuk menumpas perkumpulan itu.  Namun tingkat keberhasilannya sangat rendah.  Karena hanya berhasil membersihkan puluhan pos saja yang tak lama kemudian juga berdiri lagi.  Hal ini terjadi karena jantung perkumpulan belum bisa ditemukan.  Berkali kali Majapahit mengirimkan telik sandi, namun puluhan telik sandi itu tak pernah kembali.  Entah mati terbunuh atau justru malah membelot.  

Oleh sebab itu Mahapatih Gajahmada mengubah strategi.  Pasukan yang cukup besar dengan orang orang yang terlatih dan didampingi oleh minimal 3 orang dari Sayap Sima ditempatkan di desa desa sekitar Gunung Semeru.  Tujuannya tentu saja untuk memperlemah pasokan logistik ke markas perkumpulan itu.  Harapannya, jika kebutuhan hidup tidak bisa terpenuhi lagi maka anggota perkumpulan itu akan kocar kacir dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun