Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Lahirnya Air dan Api

9 Desember 2018   06:51 Diperbarui: 9 Desember 2018   06:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harimau putih itu berhenti dengan tiba tiba di pinggir danau, di bawah sebuah tebing terjal yang dipenuhi hutan bambu.  Kemudian berbalik menghadap ke Dyah Puspita yang juga telah tiba di tempat itu.  Dyah Puspita mengedarkan pandangnya ke sekeliling.  Ini sebuah pantai yang landai dan cukup luas.  

Di latarbelakangi oleh sebuah gua raksasa yang sedikit tersembunyi dari pandangan jika tidak mendekat.  Harimau itu membaringkan tubuhnya di pasir yang empuk  sambil memperhatikan ke tengah danau dingin itu.  Terlihat sekali bahwa binatang menakjubkan itu sangat menikmati momen kejar kejaran yang cukup menguras tenaga tadi. 

Dyah Puspita mengikuti arah pandangan si harimau.  Di tengah tengah danau, nampak sebuah perahu kecil yang sedang terayun ayun dibuai riak Ranu Kumbolo.  Dyah Puspita menajamkan pandangannya.  Ada sesosok tubuh sedang memancing di perahu itu.  Sosok tubuh laki laki muda jika dilihat dari perawakannya.  Dyah Puspita mengerahkan ajian Sidik Paningal.  Ajian yang bisa melipatkan kemampuan melihat dari jarak yang sangat jauh.  

Sosok laki laki muda itu mempunyai tinggi yang sedang, bertubuh kurus dan berwajah menarik.  Hatinya tercekat sesaat.  Samar samar tercipta sebuah bayangan bocah kecil kurus yang sedang pingsan di pelukannya.  Matanya berkaca kaca.  Arya Dahana masih hidup! Ingin rasanya dia sekarang menghambur ke danau dingin itu, mendatangi perahu dan  memeluk si pemuda tanggung.  Tapi ditahannya perasaannya.  

Dia akan menunggu di sini sampai Arya Dahana pulang ke daratan.  Pasti dia akan kembali kesini.  Harimau itu jelas jelas memberikan petunjuk kepadanya.  Tapi kemana gerangan orang tua aneh ahli obat itu?    

Dyah Puspita mendekati mulut gua.  Dia ragu untuk memasukinya.  Siapa tahu ada sesuatu di dalamnya yang tidak terduga.  Dia tidak takut pada apapun.  Tapi pengalamannya sebagai telik sandi handal mengharuskan dia selalu berhati hati setiap saat.  Sesuatu yang yang kelihatannya damai dan tenang, terkadang malah menimbulkan kejutan yang luar biasa hebat dan sukar untuk dikendalikan. 

Setelah memastikan bahwa tidak ada kejutan apapun di dalam berdasarkan ketajaman pendengarannya, Dyah Puspita memasuki mulut gua.  Gua itu ternyata sangat terang.  Sangat luas dan mempunyai ruang sangat lebar.  Langit langitnya tinggi sehingga tidak pengap.  Bernafas pun bisa dengan mudah dilakukan.  Dia memperhatikan dengan seksama seluruh isi gua.  Tidak ada apa apa kecuali tumpukan kotoran burung di sudut ruangan.

Matanya berhenti di sudut yang agak gelap.  Ada sebuah ruangan yang lebih kecil lagi di sana.  Karena terletak di pojok, ruangan itu kebagian cahaya lebih sedikit dari yang lain sehingga hanya terlihat remang remang. 

Dyah Puspita memasuki ruangan itu.  Bau obat obatan sangat menyengat di dalam sini.  Dilihatnya sesosok tubuh kurus kering tergeletak di sebuah dipan kecil.  Dyah Puspita mendekat.  Tidak salah lagi, sosok ini adalah Ki Gerah Gendeng.  Tubuhnya betul betul tinggal tulang belulang dibalut kulit tipis.  Masih hidup, tapi sepertinya sudah tidak sanggup apa apa lagi.  Dia tertidur dengan nafas pendek pendek dan tidak teratur.  Sang ahli pengobatan sedang sekarat.  Dyah Puspita meraba leher orang tua itu.  Denyut nadinya sangat lemah sekali. 

"Heiiiiii! Apa yang kau lakukan di sini. Pergi dan jangan ganggu kami lagi..."  Suara itu mengejutkan Dyah Puspita. Dia kurang waspada tadi hingga tak mendengar ada orang di belakangnya.  Dia membalikkan tubuhnya siaga.  Di hadapannya berdiri  Arya Dahana bertelanjang dada dengan air masih menetes netes di tubuhnya.  Dyah Puspita memandang tak berkedip.  Matanya mulai mengembun,"Arya, kk..a..u.. tidak ingat aku?" Suara Dyah Puspita tercekat di tenggorokan.  Arya Dahana maju beberapa langkah kemudian menarik tangan Dyah Puspita keluar ruangan kecil itu. 

Di ruangan gua yang luas, Arya Dahana memandang lekat lekat wanita cantik jelita di depannya.  Kemudian tersenyum lebar dan menghambur ke pelukan Dyah Puspita,"Kakak Puspaaaaa....akhirnya kau datang juga."  Tubuh Dyah Puspita menegang sesaat.  Dia belum pernah dipeluk oleh lawan jenisnya sebelum ini.  Tapi tangannya secara otomatis membalas pelukan pemuda tanggung itu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun