“Bukannya tempo hari kamu lari terbirit-birit seperti tikus dikejar kucing?” ledeknya. “Padahal ayahmu belum muncul.” Dorin mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu.
Bennosuke menggelengkan kepalanya – sebagai bentuk pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan hal itu lagi.
“Itu kan karena aku tidak siap,” katanya dengan yakin.
“Memangnya kapan kamu mau siap? Seorang yang berlatih pedang harus selalu waspada, bersiaga setiap saat. Kelengahan sedetik pun bisa berakibat fatal. Di dalam bertarung, pikiran harus terfokus pada pertarungan itu. Jangan pernah pikiranmu terhenti dan melantur walaupun hanya sesaat ...”
“Caranya dengan bertarung di malam hari,” tukas Bennosuke – mengabaikan penjelasan Dorin yang panjang lebar tentang pertarungan dengan pedang itu.
Dorin sebenarnya agak mendongkol omongannya dipotong oleh bocah itu, namun demikian ia tetap menyimak apa yang dikatakan Bennosuke.
Mengalahkan Munisai dengan bertarung di malam hari? Barusan makan apa bocah ini? Atau jangan-jangan ia keracunan makanan basi?
“Oh, malam hari seperti waktu itu dong, ya,” Dorin menganggut-anggut – nada bicaranya mengejek. “Tapi, Bennosuke, malam hari, pagi hari, siang hari, sore hari, sama saja. Apa bedanya? Yang menentukan adalah kemampuanmu dan kesiapanmu.” Dorin menatap Bennosuke dengan sungguh-sungguh. Ia terlihat serius dengan apa yang dikatakannya.
Bennosuke kembali menggelengkan kepalanya, lalu dengan pongah membusungkan dadanya. “Ayah itu kan mendapatkan julukan ‘tanpa tandingan di bawah matahari’.”
Dorin teringat gelar yang diberikan oleh Kengo Shogun kepada Munisai.
“Terus?” tanya Dorin.