Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Kaum Kesrakat

20 Agustus 2021   19:17 Diperbarui: 20 Agustus 2021   19:26 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koleksi Pribadi diolah pakai picarts

Bagi masyarakat marginal, judi Cap Jie Kia bagaikan minuman berenergi. Dibutuhkan disaat otak spanneng untuk merenggangkan pikiran kusut. Daya gempurnya melandai menyusup celah-celah kehidupan kaum proletar di karesidenan Surakarta. Judi Cap Jie Kia menjadi ajang setan-setan kecil pamer eksistensi dihadapan alim ulama kota bengawan. Ini ledekan kasar atau sindiran bagi kegagalan mereka dalam berdakwah. 

Reputasi Cap Jie Kia telah teruji waktu. Lebih dari 30 tahun tak goyah walau badai menerjang, dihantam kanan kiri oleh ribuan operasi. Tetap tangguh dipuncak masa. Tak punya belas kasihan, segala lapisan masyarakat berhasil dibuat gogrok(rontok) imannya. 

Dari sekedar iseng pasang taruhan kecil hingga maniak dengan taruhan besar. Berbagai macam operasi PeKat(Penyakit Masyarakat)oleh aparatur kepolisian hanya sebatas kapok lombok. Tiarap sebentar, kalau kondisi dirasa aman Cap Jie Kia beringas kembali.

Berbicara judi Cap Jie Kia kurang afdol tanpa menghadirkan Tulkiyem. Perempuan asal Kabupaten Sragen merupakan dedekot Cap Jie Kia. Dia adalah bandar kecil dengan reputasi gilang gemilang. Lintasan waktu telah memberi narasi akan pusaran kabut yang membalut Tulkiyem. 

Sel besi Polsek(Polisi Sektor) Pasar Kliwon hingga Mapolres(Markas Polisi Resor)Surakarta berulangkali mengurung perempuan montok itu. Bahkan para bapak Polisi sampai jenuh kalau yang ditangkap itu-itu saja.

"Oalah yu...yu, mbok pindah usaha wae. Mbukak wedangan kek opo dodolan klambi neng pasar klewer. Ngene iki ora berkah duite"(Oalah Yu...Yu, kenapa tidak pindah usaha. Buka wedangan apa jualan pakaian di pasar Klewer. Begini tidak berkah uangnya) , ujar Bripka Sulaiman tidak lelah-lelahnya menasehati.

Watak itu susah disembuhkan, kalau watuk(Batuk)bisa. Watak Tulkiyem koppig (keras kepala) alias ngeyel. Seribu nasehat masuk telinga kanan langsung keluar tanpa hambatan lewat telinga kiri.

Tulkiyem telah melalang buana di rimba belantara Judi Cap Jie Kia lebih dari separoh usianya. Dia mengalami masa-masa Cap Jie Kia kala masih menggunakan kertas merang sebagai bukti pasang taruhan, sampai menggunakan aplikasi Whattsapp(WA). 

Perkembangan teknologi gadget ternyata membawa angin perubahan yang sungguh signifikan. Ini berpengaruh besar pada bandar Judi Cap Jie Kia termasuk dirinya.

"Setelah ada internet, Aku jarang tertangkap", ujar Tulkiyem terkekeh-kekeh.

Dikalangan penjudi di seputaran alun-alun lor(utara) karaton Surakarta Hadiningrat nama Tulkiyem berkibar tinggi. Bahkan reputasinya membentang hingga pucuk pasar Gading sampai meloncati kampung Gurawan.

Sosok Tulkiyem keberadaannya sulit ditebak. Kadang makjegagik(tiba-tiba) di lapak-lapak penjual batu akik, tangga menuju lantai dua pasar Klewer, atau dipojokan sisi utara pasar Gading. Bahkan pernah nyelempit dialun-alun kidul dekat kandang Kebo Kyai Slamet. Kurang tahu kenapa tempat-tempat itu yang dia pilih sebagai ajang rendezvous.

Dalam dunia Cap Jie Kia, kepercayaan adalah kunci utama. Siapa yang menelantarkan kepercayaan, baik bandar atau pemasang akan di blacklist.

Jika dulu kita pasang taruhan harus mendatangi si bandar dan langsung memberikan uangnya. Sekarang kita tinggal pasang tanpa perlu setor uang dulu. Nanti jika taruhan dibuka baru hitung-hitungan berlaku. Yang menang akan mendapat hasil, yang apes harus memberikan uang taruhan.

Kalau ada yang melarikan diri dari tanggungjawab? Tanpa diminta, semua yang terlibat disitu akan saling membantu dalam memberikan info si pelarian. Dan selamanya dia akan dicoret dari pusaran Cap jie Kia-karena info akan disebar antar bandar judi.

Dan lagi, untuk memasang taruhan berlaku satu orang sebagai pelantar dengan Bandar. Contohnya begini, si A sebagai pelantar akan di nunuti(ditumpangi) para pemasang. Hanya si A yang bisa mendapat akses. Hal ini juga akan meminimalkan pantauan radar dari pihak aparat kepolisian.

Struktur atau jenjang tambang(sebutan untuk bandar)ada beberapa tingkatan. Nah, Tulkiyem itu bandar level ketiga sekaligus pelantar. Artinya diatas dia masih ada bos kecil dan bigbos. Dengan adanya gawai, cap jie Kia semakin jumawa, tegak kuat dikalangan petaruh. Semua mendapat kepyuran rejeki.

Penghasilan Tulkiyem dari Cap Jie Kia perhari 200 ribu. Sebuah nilai tinggi dikota dengan belanja hidup murah. Dikota ini masih ada nasi sayur seharga limaribu rupiah dengan racikan pas. Bisa didapatkan di pasar tradisional tanpa kuatir diomelin si penjual.

Bagaimana awal mula perempuan ini  menjelajah rimba perjudian? Beginilah hikayatnya. Mulanya Tulkiyem merupakan seorang pesinden. Dunia sinden menjadi urat nadinya dikarenakan ibunya juga seorang pesinden. Jadi wajarkan bila buah jatuh tak jauh dari pohon? Pancaran matanya menangkap keseharian si ibu menumpukkan memori hingga menggunung padat. 

Seringkali ia dibawa mengikuti tour dari desa ke desa diwilayah Sragen, sesekali merapat sedikit ke wilayah Ngawi Jawa Timur. Puluhan pentas adalah buku pelajaran paling paten.  Dari situ Tulkiyem belajar nyinden.

Simbok menjadikan Tulkiyem sinden dengan jalan menghentikan  pendidikan akademik hanya sampai pada jenjang Sekolah Menengah Pertama(SMP).

"Wong wedok cukup sak mene wae. Rasah duwur-duwur, bakale yo muk neng pawon"(anak perempuan cukup sampai disini saja. Tidak perlu tinggi-tinggi, nanti ya cuma di dapur), ujar simbok.

Untuk kasus ini, Tulkiyem sependapat. Ia kepayahan menerima beberapa mata pelajaran. Matematika dan bahasa Inggris membuat otaknya kaku. Beruntung ia lulus dan menerima ijasahnya dengan gembira.

Lepas itu, hari-harinya dilalui dengan latihan dan latihan mendengarkan gending-gending jawa. Sebenarnya suaranya tidak istimewa bahkan cenderung fals. Entah kenapa ini menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa dalang kondang kesengsem mendengar suaranya. Tiada lain tiada banding. Suara fals bagi beberapa dalang malah sesuatu yang unik. Kibaran pentas menjadi akumulasi jam terbang serta popularitas tersendiri.

Sayang, gegara setan iblis, Tulkiyem lebih memilih jalan keras, Cap jie Kia.

Jaman dimana Tulkiyem merasakan masa emas di ranah persindenan beriringan dengan jaman dimana Cap Jie Kia mengepalkan kejayaan. Bak cerobong asap pabrik gula, Cap Jie Kia terus hidup oleh para petaruh. Para tambang daya jangkau serta sebarannya mampu menelusup disemua lintas profesi. Jadi jangan heran, dengan daya tarik kemenangan berkelipatan 10 kali sukses menghajar siapapun, apalagi kaum lemah iman. 

Kalian pasang taruhan seribu rupiah akan mendapat ganjaran sepuluh ribu. Nafsu manusia akan dipanggang oleh hasutan sehingga mereka akan menaikkan nilai taruhan, limaribu, sepuluhribu dan seterusnya. 

Kemenangan membuat mereka berjingkrak jingkrak, hati bungah merasakan kebahagian sesaat. Menggenggam uang banyak apalagi ditambahi bumbu cerita menarik hasrat segolongan manusia tertentu, pun Tulkiyem. Dari sekedar melihat rekan pesinden yang bercerita kalau pernah meraup kemenangan fantastik menjadi bumbu racun dilubuk hatinya.

Coba-coba pasang seratus rupiah dan berhasil menang hingga uang seribu rupiah ia kempit diketiak. Nilai seribu rupiah kala Tulkiyem belia  bernilai tinggi. Ya, Tulkiyem hidup dijaman orde baru. Kala itu, reformasi masih jauh dari sisi hidupnya. Era 80 an adalah masa dimana sandang pangan bagi masyarakat masih mudah dijangkau karena murah. 

Nilai mata uang rupiah masih sanggup melawan hegemoni dollar paman Sam. Dari keberhasilannya bertaruh membutakan nalar serta pikirannya. Tulkiyem tidak sadar bahwa kemenangan dengan raupan puluhan ribu adalah akumulasi kegagalan-kegagalan dalam taruhan sebelumnya.

"He...he...he...aku menang", sumringah tergambar diwajahnya.

Hari-hari terus dilalui Tulkiyem bersama senyum genitnya. Sinden disisi kanan diimbangi dengan Cap Jie Kia disisi kiri. Adanya Cap Jie Kia menjadi pintu pembuka bagi Tulkiyem menghanguskan kejenuhan bila tanggapan pentas sepi.

"Dhe, kalau mau jadi tambang bagaimana caranya?", kata Tulkiyem

"Kamu jadi Tambang? Lha jadi sinden saja sudah enak kok malah nambang", ujar pakdhe Jito,

"Hanya sekedar ingin tahu saja kok, Dhe"

"Kalau hanya sekedar tahu ya nggak apa-apa"

Bertuturlah Pakdhe Jito kepada Tulkiyem tentang seluk beluk dunia tambang(Bandar)Cap Jie Kia.

Judi Cap Jie Kia dibawa oleh para pedagang dari daratan Tiongkok ke bumi Mataram di Surakarta sebagai hiburan massal. Sebagai hiburan, judi dengan 12 nomer itu dilakukan disela-sela istirahat ketika usai bergelut peluh dipusat perdagangan dengan taruhan memijat atau cubitan. Taruhan meningkat dengan kudapan berupa nasi atau lauk pauk buat asupan ditengah hari. Kemudian berkembang, upah sebagai kuli dijadikan taruhan.

Dari cerita pakdhe Jito, Tulkiyem iseng mencoba jadi tambang. Ternyata hasilnya lumayan, hingga keterusan. Tanggapan menyinden beberapa kali ditolaknya. Hal ini membuat simboknya marah.

"Yem! Nek kowe nekat nambang takkon minggat seko omah iki. Ngisin-ngisinke wong tuwo!"(Nem, kalau kamu nekat nambang saya suruh minggat dari rumah ini. Membuat malu orangtua), umpat simbok. Kemarahan sudah menggelegak. "Kowe kuwi tak didik ben dadi peneruse simbok. Ora memper wong wedhok dadi tambang. Opo kurang hasile seko nyinden?!"(kamu itu dididik biar jadi penerusnya simbok. Tidak pantas orang perempuan jadi bandar. Opo kurang hasilnya dari sinden)

Tulkiyem mengkeret kalau suara bariton simbok meledak dicuping telinga. Untuk beberapa hari hingga sebulan dia masih tunduk, tapi bila setan berhasil menepuk pundak, api perjudian kembali membakar kewarasannya. Kumat lagi. Semangat api nan tak pernah kunjung padam tertanam disanubari.

Mencuri-curi kesempatan agar Cap Jie Kia dapat mengisi celengan babonnya menjadi alasan Tulkiyem menepikan kemarahan simbok. Nekat.

Apakah watak keras kepala berbanding lurus dengan kekonyolan langkahnya? Tulkiyem akhirnya benar diusir dari rumah. Sepotong kalimat kutukan sempat ia dengar,"Nek kowe ora metu seko judi, uripmu bakal rekoso! Batara Kresno iso nyampluk awakmu! Titenono omongane simbok"(jika kamu tidak keluar dari judi, hidupmu bakal susah. Batara Kresna bisa menampar dirimu. Camkan omongan simbok) ketika kakinya keluar dari rumah yang telah membesarkannya.

Simbok berharap gertakannya akan mampu menundukkan Tulkiyem. Ternyata keliru, Anak gadisnya benar-benar minggat tanpa pernah memberi kabar. Ia sedih berkepanjangan.

Berbekal celengan babon hasil dari nyinden serta tutupan Cap Jie Kia menuntun langkah Tulkiyem di kota Solo. Kota ini tidak begitu asing baginya. Beberapa sudutnya masih bisa ia pahami. 

Kebiasaan bapaknya mengajak ke Solo jika Sekatenan atau melihat wayang orang di taman Sriwedari menjadi modalnya untuk mengingat beberapa tempat. Inilah cara bapak merawat Tulkiyem dengan budaya Jawa. Telinganya tidak asing dengan suara Klenengan(karawitan).

Jaman berubah, sekarang android ditangannya sudah dianggap seperti revolver. Tak bisa lepas. Dor! Dor! Dor! Dor! Korban jeratan judi 12 angka bertumbangan. Tulkiyem senang. Bandar menang. Kemenangan baginya merupakan napas kehidupan. Ketenangan akan memijat otaknya bersama paras sumringahnya. Itu akan terang dengan syarat bisnisnya tidak ada gangguan.

Disamping aparatur negara, gangguan paling menjengkelkan  berasal dari satria bergitar, Rhoma Irama. Kok bisa? Opo tumon? Awalnya di 1988, ketika dia sedang rekap hasil cap jie kia, selarik tusukan keluar dari radio transistor dua band...."Judi....menjanjikan kemenangan... Judi....menjanjikan kekayaan..."

Lirik pertama tidak dia gubris. Kepalanya masih kompromi mengikuti irama kendang. Lengkingan sayatan gitar memaksa tubuhnya bergerak kiri kanan sambil tangannya mencorat-coret angka di lembaran kertas. Lama-lama, syairnya tambah menggila. Raja dangdut itu membakar kerumunan para pemasang, sengit, "Bohong! (bohong!)  Kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan. Bohong!(bohong!), kalaupun kau kaya itu awal dari kemiskinan"

"Kuwi lagune sopo, Jo?"(itu lagunya siapa, Jo), tanya Tulkiyem ditujukan ke salah satu pemasang langganannya. Hatinya mulai mendidih, konsentrasinya goyah.

"Mosok ora kenal, yu? Kuwikan Rhoma Irama"(masak tidak kenal, Yu. Itukan Rhoma Irama), jawab Tarjo datar, sambil meremas-remas rambutnya. Sedang mikir mau pasang apa.

"Lambene Rhoma nggawir"(bibirnya Rhoma nyinyir), ungkap Tulkiyem, "Wong lanang ngok koyo wong wedok"( laki-laki kok kaya perempuan)

Provokasi tambah menggurita, "Judi! (judi) Meracuni kehidupan. Judi! (judi) Meracuni keimanan. Pasti! (pasti) Karena perjudian orang malas dibuai harapan. Pasti! (pasti) Karena perjudian perdukunan ramai menyesatkan"

"Judi disalahke? Dunyo kuwi diciptakke memang kudu ngene. Opo Rhoma Irama segleng?(judi disalahkan? Dunia itu diciptakan memang harus begini. Apa Rhoma Irama miring). Jari ditempelkan dijidat dengan posisi jatuh.

"Muk lagu, yu. Rasah dilebokke ati"(hanya lagu, yu. Tidak usah dimasukkan ke hati)

Lagu itu kian waktu mendominasi jagat perdangdutan. Rhoma Irama menggenggam kekuasaan. Kubu anti judi seperti mendapat amunisi. Mereka merasa menjadi pasukan Salahuddin Al Ayubi hanya dengan bermodal secuil lagu. Liriknya menghantam pondasi perjudian. Mirip senapan mesin, menguliti sisi buruk judi. Sebenarnya, lagu ini muncul seiring hadirnya judi legal, Porkas. 

Tapi hantamannya menyambar segala jenis judi, termasuk Cap Jie Kia. Bersama Sonetanya, Elvis Presley itu telah menjadi hantu bagi jiwa-jiwa yang kosong. Jiwa-jiwa milik kaum proletar yang hidupnya dininabobokan oleh pertaruhan hidup mati.

"Uang yang pas-pasan. Karuan ditabungkan(oo...ooo)", teriak bang haji menggelegar, "Itu cara sehat, tuk jadi hartawan....."

"Iso-isone ngomong ngono"(bisa-bisanya ngomong begitu), tanya Tulkiyem, "Tuek an ra nyebut"(orangtua tidak tahu diri)

"Uwis to Yu, ngono e mbok tanggap?"(sudahlah to Yu. Begitu saja ditanggapi), saran Paidi, "Gantinen siaran liyane, Jo. Ben ra gembredek"(gantilah siaran yang lain, Jo. Biar tidak berisik)

Tarjo meraih tombol pada kotak hitam itu. Diputar, mencari yang lain. Suara kemresek bersama peluit, timbul tenggelam mirip kapal dipermainkan ombak dilautan.

"Judi! Meracuni kehidupan...."

"Judi! Menjanjikan kemenangan...."

"Judi!...."

"Judi!...."

"Judi!...."

"Kabeh stasiun nyetel Rhoma Irama? Iki piye to?". Tarjo keheranan.

"Coba PTPN", saran Tugino, "Iki radio eksklusif. Ora mungkin nyetel Rhoma Irama"

Tarjo mengikuti saran tersebut.

"Uang yang pas-pasan. Karuan buat makan(ooo...ooo). Itu cara sehat...tuk bisa bertahan...."

"Lhadalah! PTPN kerasukan Rhoma! Edan tenan!". Maki Darmo Sengkun takjub. "Iki jelas konspirasi! Kita diserang kaum sok suci"

Semakin hari, teriakan Rhoma Irama membahana diseantero negeri, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote. Dakwahnya lewat musik dangdut melahirkan antipati beberapa kalangan; Pemerintah pecetus porkas, Tulkiyem beserta kaum pemuja Cap Jie Kia, Koh Tan penganjur Toto gelap disleding pemilik rambut kriting itu. Tapi kontradiksi juga berlaku. Para penjudi yang sudah dibutakan uang haram tidak peduli. Mereka diam-diam menikmati lagu tersebut. Sesekali perang opini, melakukan bantahan.

"Judi!", kata Rhoma Irama keras

"Judi!", balas Tarjo, Tugino, Markun dan kawan-kawan serentak, bergemuruh. Mengagetkan beberapa pengunjung kios akik yang lalu lalang. Pandangan-pandangan sinis melahap kelompok itu. Mulutnya di monyong-monyongkan. Mereka sibuk bergelut mimpi.

"Menjanjikan kemenangan", tambah penyuka celana cutbray

"Kuwi jelas! Rasah mbok kandani kabeh do ngerti, Ma"(itu jelas. Tidak usah diberitahu semua sudah mengerti, Ma), samber Markun.

"Judi! Menjanjikan kekayaan", kata Rhoma selanjutnya

"Yo, memang! Koh Tan kae sugihe ora mekakat. Yo ra?"

"Setuju!" sorak mereka serempak, seraya kepalkan tangan tanda kesepakatan.

"Bohong!", sergap Rhoma mengejek

"Bohong ndasmu!", sambar Kliwon ujug-ujug muncul tanpa diduga. Topi budugnya dilesakkan sekenanya. Langsung nimbrung tanpa tedeng aling-aling.

"Loh, Won? Seko ngendi?

"Biasaaa....", jawabnya penuh arti sambil ibu jari diarahkan keperut.

"Mangan?"(makan)

"Ngising"(buang air besar), jawab Kliwon santai.

"Kalaupun kau menang. Itu awal dari kekalahan", ucap Rhoma sabar.

"Kalah menang itu hal biasa dalam suatu pertaruhan", hadang Tulkiyem tak mau kalah,"Nek wedi kalah rasah pasang" bibirnya njedir.

"Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam", nasehat pria penganut paham poligami itu, sekali lagi.

"Ora mesti. Aku kerep pasang, yo ijek sholat", suara tanpa bentuk muncul dikerumunan itu.

"Yang menang bisa menjadi jahat apalagi yang kalah", teriak bang Haji serak.

"Tidak ada sejarahnya, seseorang yang menang jadi jahat", sanggah Karmidi sambil slilit. Hasil utak utik sela-sela gigi dia leletkan ke pinggir kursi.

"Yang kaya bisa jadi melarat apalagi yang miskin"

"Kaya miskin itu hal biasa dikehidupan kita. Itu skenario Tuhan. Sampai kiamatpun, kemiskinan tetap ada walaupun manusia berusaha keras menghilangkannya", celoteh Jalil bak bijak bestari.

Mesin transistor itu masih mengumandangkan syiarnya, sekarang dikerumuni kaum miskin kota. Wajah-wajah bengis mengepung ketat. Sungguh, kotak musik itu dimata mereka sudah berubah menjadi sosok Rhoma Irama. Ada pancaran pembunuhan pada mata mereka. Sinar matahari terhalang sisi bangunan, gagal menembus kerumunan diatas dipan kayu. Sendirian tanpa kawan, Rhoma terus berdendang.

"Uang yang pas-pasan karuan buat makan. Itu cara sehat tuk bisa bertahan"

"ngerti pas-pasan yo mending go pasang Cap jie Kia. Nek enthuk po ra seneng?"

"Yo pilih ngono no. Semua itu harus dicoba"

"Apapun namanya bentuk judi. Semuanya perbuatan keji", sentil bang haji

"Keji piye? Wong ora ngganggu kowe yok dibilang keji. Iki fitnah!"

"Rhoma Irama soyo nggladrah!", sebuah tamparan menyasar benda kotak itu. Penyuplai kemarahan menjadi sasaran tangan-tangan petaruh. Bergeming.

"Apapun namanya bentuk judi. Jangan dilakukan dan jauhi",

"Sak karepku!" sebuah tinju keras mengenai Rhoma sebelum Satria Bergitar itu melanjutkan sindirannya. Posisinya bergeser beberapa senti. Seringai licik Tulkiyem mengamini tindakan mereka. Sebuah persekutuan terbentuk sedemikian cepatnya di siang yang panas. Kegaduhan menyedot perhatian umum. Benda itu jadi bulan-bulanan. Kekuatannya belum bisa dihancurkan.

Rhoma tampilkan senyum mengejek, "Yang senang jadi bisa jadi sengsara, apalagi yang susah".

Kemarahan kelompok Tulkiyem tak terkendali. Pukulan-pukulan beruntun menimpa sang biduan. Antene patah, sumpah serapah beranakpinak. Lengkingan gitar mencoba menyentak, memberi perlawanan.

"Uang judi najis tiada berkaaaahh...Judi!", raungan Rhoma berubah menjadi badai, menyudahi perlawanan.

Bak! Buk! Plak! Bak! Bek! Pukulan bertubi-tubi menerpanya.  "Modar kowe!", sorak Tulkiyem takzim. Keganasan kaum proletar tampak ditempat ini, menyerbu pandangan pengunjung lapak. Beberapa diantaranya berhasil merontokkan spare part. 

Tombol volume copot, pegangan retak, mika pelindung penanda frekuensi hancur. Gurat-gurat penganiayaan tergores lugas. Hanya pasrah menerima serangan yang begitu gencar. Tendangan penuh kebencian menerbangkan benda yang dipatenkan Nikola Tesla. Tergolek tanpa disesali.

***

Jalur rel itu melengkung membelah wilayah Losari. Kepadatan bangunannya laksana gerumbul sesemak ditingkahi hiruk pikuk penduduk pinggiran. Pagi ini, kereta Batara Kresna melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Teriakan keras berhamburan, "Awas! Juragane lewat!". Klaksonnya menyentak.. Kegaduhan menguar, mirip asap gunungan sampah. Kereta jurusan Solo-Wonogiri menjalani jadwal sesuai kesepakatan untuk memenuhi harapan para penumpang.

Dari sebuah jalan kampung tanpa palang pintu perlintasan, sesosok perempuan 65 tahunan terlihat bergegas. Langkah kakinya berbalap. Sepertinya ada yang ingin dia kejar. "Kembalianku kurang tujuhribu. Sialan! bakul sayur itu mau mengakaliku", desisnya. Pikirannya dipenuhi kecamuk hingga menafikan kewaspadaan.

Batara Kresna menghembuskan napas tanpa berhenti. Moncongnya mirip peluru kendali. Lajunya, walau pelan, tapi karena tubuhnya besar menjadikannya sosok yang menakutkan.

"Hei! Minggir!" peringatan berulang-ulang membahana panjang. Sayang,  kurang dipahami oleh perempuan itu. Badannya terlalu mendekat jalur. Tubuh ringkihnya disenggol sang Batara. Terserat beberapa meter tanpa bisa dicegah. Terbanting-banting bak bola bekel. Luka tercetak penuh. Darah mengucur  dari karut marut. Batara Kresna berhenti. Perempuan itu mengaduh, merintih , kemudian terbujur mati . [**]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun