Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Kaum Kesrakat

20 Agustus 2021   19:17 Diperbarui: 20 Agustus 2021   19:26 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koleksi Pribadi diolah pakai picarts

"Wong wedok cukup sak mene wae. Rasah duwur-duwur, bakale yo muk neng pawon"(anak perempuan cukup sampai disini saja. Tidak perlu tinggi-tinggi, nanti ya cuma di dapur), ujar simbok.

Untuk kasus ini, Tulkiyem sependapat. Ia kepayahan menerima beberapa mata pelajaran. Matematika dan bahasa Inggris membuat otaknya kaku. Beruntung ia lulus dan menerima ijasahnya dengan gembira.

Lepas itu, hari-harinya dilalui dengan latihan dan latihan mendengarkan gending-gending jawa. Sebenarnya suaranya tidak istimewa bahkan cenderung fals. Entah kenapa ini menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa dalang kondang kesengsem mendengar suaranya. Tiada lain tiada banding. Suara fals bagi beberapa dalang malah sesuatu yang unik. Kibaran pentas menjadi akumulasi jam terbang serta popularitas tersendiri.

Sayang, gegara setan iblis, Tulkiyem lebih memilih jalan keras, Cap jie Kia.

Jaman dimana Tulkiyem merasakan masa emas di ranah persindenan beriringan dengan jaman dimana Cap Jie Kia mengepalkan kejayaan. Bak cerobong asap pabrik gula, Cap Jie Kia terus hidup oleh para petaruh. Para tambang daya jangkau serta sebarannya mampu menelusup disemua lintas profesi. Jadi jangan heran, dengan daya tarik kemenangan berkelipatan 10 kali sukses menghajar siapapun, apalagi kaum lemah iman. 

Kalian pasang taruhan seribu rupiah akan mendapat ganjaran sepuluh ribu. Nafsu manusia akan dipanggang oleh hasutan sehingga mereka akan menaikkan nilai taruhan, limaribu, sepuluhribu dan seterusnya. 

Kemenangan membuat mereka berjingkrak jingkrak, hati bungah merasakan kebahagian sesaat. Menggenggam uang banyak apalagi ditambahi bumbu cerita menarik hasrat segolongan manusia tertentu, pun Tulkiyem. Dari sekedar melihat rekan pesinden yang bercerita kalau pernah meraup kemenangan fantastik menjadi bumbu racun dilubuk hatinya.

Coba-coba pasang seratus rupiah dan berhasil menang hingga uang seribu rupiah ia kempit diketiak. Nilai seribu rupiah kala Tulkiyem belia  bernilai tinggi. Ya, Tulkiyem hidup dijaman orde baru. Kala itu, reformasi masih jauh dari sisi hidupnya. Era 80 an adalah masa dimana sandang pangan bagi masyarakat masih mudah dijangkau karena murah. 

Nilai mata uang rupiah masih sanggup melawan hegemoni dollar paman Sam. Dari keberhasilannya bertaruh membutakan nalar serta pikirannya. Tulkiyem tidak sadar bahwa kemenangan dengan raupan puluhan ribu adalah akumulasi kegagalan-kegagalan dalam taruhan sebelumnya.

"He...he...he...aku menang", sumringah tergambar diwajahnya.

Hari-hari terus dilalui Tulkiyem bersama senyum genitnya. Sinden disisi kanan diimbangi dengan Cap Jie Kia disisi kiri. Adanya Cap Jie Kia menjadi pintu pembuka bagi Tulkiyem menghanguskan kejenuhan bila tanggapan pentas sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun