"Keji piye? Wong ora ngganggu kowe yok dibilang keji. Iki fitnah!"
"Rhoma Irama soyo nggladrah!", sebuah tamparan menyasar benda kotak itu. Penyuplai kemarahan menjadi sasaran tangan-tangan petaruh. Bergeming.
"Apapun namanya bentuk judi. Jangan dilakukan dan jauhi",
"Sak karepku!" sebuah tinju keras mengenai Rhoma sebelum Satria Bergitar itu melanjutkan sindirannya. Posisinya bergeser beberapa senti. Seringai licik Tulkiyem mengamini tindakan mereka. Sebuah persekutuan terbentuk sedemikian cepatnya di siang yang panas. Kegaduhan menyedot perhatian umum. Benda itu jadi bulan-bulanan. Kekuatannya belum bisa dihancurkan.
Rhoma tampilkan senyum mengejek, "Yang senang jadi bisa jadi sengsara, apalagi yang susah".
Kemarahan kelompok Tulkiyem tak terkendali. Pukulan-pukulan beruntun menimpa sang biduan. Antene patah, sumpah serapah beranakpinak. Lengkingan gitar mencoba menyentak, memberi perlawanan.
"Uang judi najis tiada berkaaaahh...Judi!", raungan Rhoma berubah menjadi badai, menyudahi perlawanan.
Bak! Buk! Plak! Bak! Bek! Pukulan bertubi-tubi menerpanya. Â "Modar kowe!", sorak Tulkiyem takzim. Keganasan kaum proletar tampak ditempat ini, menyerbu pandangan pengunjung lapak. Beberapa diantaranya berhasil merontokkan spare part.Â
Tombol volume copot, pegangan retak, mika pelindung penanda frekuensi hancur. Gurat-gurat penganiayaan tergores lugas. Hanya pasrah menerima serangan yang begitu gencar. Tendangan penuh kebencian menerbangkan benda yang dipatenkan Nikola Tesla. Tergolek tanpa disesali.
***
Jalur rel itu melengkung membelah wilayah Losari. Kepadatan bangunannya laksana gerumbul sesemak ditingkahi hiruk pikuk penduduk pinggiran. Pagi ini, kereta Batara Kresna melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Teriakan keras berhamburan, "Awas! Juragane lewat!". Klaksonnya menyentak.. Kegaduhan menguar, mirip asap gunungan sampah. Kereta jurusan Solo-Wonogiri menjalani jadwal sesuai kesepakatan untuk memenuhi harapan para penumpang.