Mohon tunggu...
Igniz Patristiane
Igniz Patristiane Mohon Tunggu... -

kerja, kuliah, me-time. perpaduan dari legitnya seduhan panas vanilla latte dengan topping whipped cream pada pagi hari yang dingin. dengan menulis di waktu senggang serasa menikmati roti bakar selai nanas dengan taburan keju bagiku :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lena

24 April 2017   14:18 Diperbarui: 25 April 2017   02:00 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema obrolan Maya sejak tiga hari yang lalu masih sama seperti hari ini. Bahwa adiknya yang nomor dua akan menikah dua bulan lagi. Maya memaparkan detail mengenai persiapan yang sedang dijalani adiknya. Dia seperti buku agenda hidup milik adiknya, yang mengetahui semua hal dan waktu untuk menjalankan serentetan aktivitas pra pernikahan. Hanya saja, ia tidak dapat berbuat lebih. Yang jelas, sebagai kakak yang sudah menginjak usia kepala tiga lalu didahului menikah, selalu menjadi kisah pahit di bagian akhir tema obrolannya. Bagian penutup yang tiada akhir karena Maya mulai mengeluarkan semua perasaan yang menyesaki dadanya dari jam istirahat sampai pulang kerja.

Lena sepertinya sudah mulai bisa beradaptasi dengan suasana hati Maya. Rekan kerja yang duduk di samping mejanya itu sedang galau. Hanya itu sebenarnya. Ia sudah hampir dua tahun bekerja sebagai operator telepon sebuah biro perjalanan wisata. Bersama beberapa rekan kerja yang lain mereka bertugas menerima telepon dari orang-orang yang akan menggunakan jasa wisata atau hanya bertanya-tanya mengenai harga tiket pesawat. 

Mereka memiliki meja kerja masing-masing yang disekat oleh papan kayu mahoni warna hijau pastel. Lena berada di pinggir dan sebelah kanannya merupakan tempat Maya bekerja. Devo ada di sebelah kanan Maya. Seorang lelaki berkaca mata dan bermimik muka tegas, seorang pendiam yang giat bekerja untuk menghidupi seorang istri dan dua anak yang masih balita.

“Pagi sebelum aku berangkat kerja tadi, Vera sudah berisik di dapur,” cerita Maya. Tangannya meletakkan gagang telepon yang baru saja ia gunakan untuk berbicara dengan seorang pelanggan. Sekilas Lena menoleh, dan mendapati Maya sedang berhati-hati agar tidak menimbulkan suara keras saat gagang telepon ia kembalikan ke tempatnya semula.

“Apa ia sedang latihan memasak?”

“Tepat sekali,” Maya memutar kursinya mengarah pada Lena. Ia mulai berapi-api, “Hanya bikin nasi goreng sosis dengan telur mata sapi saja, sebenarnya.” Menurut cerita Maya, ia dan adiknya itu usianya terpaut enam tahun. Lena mengulum senyum, sesaat membalas tatapan Maya yang membulat lebih untuk mengungkapkan perasaan campur aduknya. Lena kembali menulis di atas kertas steno-nya, mulai mengingat urutan angka dari harga tiket pesawat terakhir yang ia tawarkan kepada seorang receptionist salah satu hotel yang baru saja meneleponnya. Beberapa menit lagi receptionist itu akan menelepon untuk klarifikasi pembelian yang tertunda.


“Sebenarnya, aku mengerti dan paham betul bahwa ia sedang di puncak bahagianya,” Maya mulai membuka laci, mengeluarkan beberapa bungkus biskuit berwarna biru tua. Lena menggeleng tatkala Maya menyodorkan salah satunya kepadanya.

“Tidak, terima kasih,” ia mengangkat telapak tangan kanannya, menolak dengan halus sembari sedikit menunduk dan tersenyum. Maya mengangguk-angguk, mulai membuka salah satu bungkus biskuitnya. Lena tidak habis pikir, dari hari ke hari Maya tidak pernah absen dari mengudap biskuit itu. Ia sampai hafal bagaimana cara Maya mengeluarkan tiga keping biskuit bertabur gula itu dari bungkusnya dengan sekali sobekan pada salah satu ujungnya. Setelah membuang bungkusnya ke tong sampah di belakang kursinya ia akan meletakkan isinya di atas sebuah piring porselen kecil warna putih mengkilat. Maya akan menikmati camilannya itu seharian, sembari bekerja, dan terkadang mencelupkannya ke dalam secangkir teh hangat.

“Tetapi, cara Vera menunjukkannya kepada dunia sungguh kekanak-kanakan.” Lena menoleh lagi ke arah Maya. Ia tersenyum, dan memperhatikan tubuh gempal Maya dalam balutan gaun kerja serba hitam. Itu mengingatkannya sekilas mengenai tata cara berpakaian untuk menghadiri upacara berkabung.

Raut wajah Maya tampak lesu dan penuh kesedihan. Mungkin ia sedang sakit hati dan bisa jadi ia juga iri kepada adiknya yang akan menikah.

Lena menunjukkan raut simpatik tetapi tidak terlalu mengasihaninya. Apabila usia Maya terpaut enam tahun dengan adiknya, itu berarti adik Maya empat tahun lebih muda dari dirinya. Iapun menghela nafas. Sedetik kemudian telepon di atas mejanya berdering. Receptionist hotel yang ia nantikan akhirnya meneleponnya kembali.

“Mari kita pulang semuanya,” Maya mengunci laci meja kerjanya sedangkan Devo beranjak mematikan air conditioner yang masih menyala. Beberapa juga sudah tampak selesai membersihkan sofa-sofa empuk berwarna dominan hijau muda polos, memoles jendela kaca dan meja-meja warna putih susu dengan lap basah berbau detol. Lena sendiri telah meletakkan sapu yang baru saja ia gunakan untuk menyapu lantai keramik.

Mereka berenam meninggalkan tempat kerja mereka dalam keadaan ruang yang gelap. Hanya sebuah lampu remang-remang yang menerangi halaman luar biro perjalanan wisata itu.

Kantor biro itu berada di sebuah gang kecil yang ramai. Tempat di mana banyak rumah kontrakan yang banyak disewa oleh orang-orang yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit di jalan besar tepat di ujung gang. Dengan mengenakan mantel kulit warna cokelat, Lena menyusuri jalan sempit gang itu. Ia tidak tergoda dengan gerobak-gerobak penjaja aneka makanan yang berjejalan di pinggiran. Orang-orang berdesakan untuk mendapatkan menu makan malam dengan harga lebih murah di gang itu.

Ke luar dari gang, seperti biasa, Lena meneruskan perjalanannya menuju sebuah mall besar di seberang jalan. Untuk menuju ke sana ia melewati satu mall lagi yang sama sekali belum pernah ia singgahi dari awal ia berpindah ke kota metropolitan ini. Bukan apa-apa, tetapi hasrat Lena tidak pernah muncul untuk bertandang ke dalamnya. Gerai-gerai di dalam mall itu merupakan gerai-gerai sepi yang tampak begitu mewah. Mereka menata produk-produknya dengan sentuhan artistik dan memiliki pramuniaga yang mengenakan jas dan dasi. Kabarnya, tidak ada ruang khusus untuk parkir kendaraan beroda dua. Dan, karena Lena sendiri tidak memiliki kendaraan apapun, ia bisa merasakan kehadirannya di dalam mall itu hanya membuatnya malu terhadap dirinya sendiri.

Dan, satu mall lagi yang menjadi tujuannya sebenarnya juga adalah mall yang besar. Hanya saja mall itu lebih ramah baginya. Banyak gerai di dalamnya yang menjual barang-barang yang masih mampu ia beli. Foodcourt yang berada di lantai tiga menyediakan menu yang bersahabat baik dengan perut maupun kantongnya. Selain terdapat halaman parkir besar untuk kendaraan bahkan yang tanpa mesin sekalipun, mall itu menyediakan lorong khusus yang berakhir dengan empat lift yang dapat membawa pengunjungnya langsung dapat menyambangi lobby menara yang ramai. Lobby gedung perkantoran itu di sudutnya juga terdapat sebuah ruang untuk bank dan mesin-mesin ATM yang berjajar rapi memanjang. Dari pintu keluar dekat bank itu Lena akan melanjutkan perjalanannya sedikit lagi ke halte bus.

Lena akan lebih menghemat waktu saat pulang melewati mall itu. Selain itu, ia sekaligus bisa cuci mata.

Seperti kali ini Lena berencana memasuki salah satu toko besar yang banyak menyediakan produk-produk untuk wanita. Ia ingin melihat-lihat aneka krim wajah berikut harga-harganya. Dilangkahkannya kaki menuju sisi barat gedung, menaiki eskalator ke lantai satu. Setelah berbelok ke arah kanan, Lena sudah mendapati Seibu Store di hadapannya.

Gerai toko itu lumayan besar dibanding beberapa gerai di kiri kanannya. Lena dapat melihat di bagian depan counter-nya terdapat beberapa etalase yang bercahayakan lampu halogen dari sisi dalamnya. Di situ diletakkan dengan rapi bermacam-macam jenis krim wajah di dalam wadah-wadah yang berkilauan. Meskipun Lena belum pernah membeli barang satupun krim anti penuaan, ia suka melakukan survey akan harganya. Sadar ataupun tidak suatu saat ia akan mulai mempertimbangkan untuk memasukkan krim seperti itu di daftar belanja bulanannya.

Seorang pramuniaga dengan seragam putih berkeliman merah mendekatinya. Tersenyum, pramuniaga itu menyodorkan kepada Lena kartu-kartu kecil panjang berbau harum dan segar. Lena tidak pernah menolak setiap ada pramuniaga toko menawarkan kepadanya parfum-parfum mahal yang disemprotkan ke sebuah kartu untuk kemudian diserahkan kepadanya. Kartu-kartu berbau harum itu sedianya sering ia jadikan pembatas novel yang ia baca setiap malam sebelum tidur.

“Mampirlah sebentar, Ibu,” ajak pramuniaga itu. “Itu adalah aroma floral. Yang ini,” Lena melihat pramuniaga itu mengambil sebuah botol berbentuk tabung yang bening dengan tutupnya berwarna silver. “Mungkin Ibu akan tertarik dengan keharuman tuty fruty,” ia kembali mengambil botol yang lain, mengangkat satu kartu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya mulai menyemprotkan botol itu ke udara. Keharuman bunga bercampur buah-buahan yang manis. Lena tersenyum, dan gerakan kepalanya reflek sedikit menoleh ke arah samping kirinya.

Seorang pria tampak sedang memperhatikannya.

Lewat ekor matanya, Lena mencoba lebih mengamati pria itu. Sesosok laki-laki berkulit putih bersih, mengenakan kemeja berwarna dominan putih bergaris-garis warna abu-abu samar. Wajah laki-laki itu tampak tampan dan dewasa. Pada kesempatan Lena menolehkan wajahnya, seketika matanya beradu pandang dengan milik laki-laki itu.

“Maaf, saya belum tertarik,” Lena kembali menatap pramuniaga di depannya. Saat berucap, Lena sedikit tertegun mendengarkan suaranya sendiri yang agak gemetar. Dengan agak cepat, seakan menutupi panik, iapun kembali berjalan menjauh dari counter parfum itu, juga lelaki yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lena kembali berjalan melihat-lihat counter-counter lain yang sepi tanpa adanya pramuniaga. Dan, di counter kosmetik bernama Kiehls yang sepi ia berhenti.

Dapat Lena lihat beberapa krim dalam kemasan-kemasan yang anggun dan menawan. Counter tersebut juga dilengkapi kaca rias besar yang pinggirannya terpasang bola-bola lampu dengan pendar cahaya putih semburat kuning. Lena seketika mengamati wajahnya sendiri, mencari-cari kekurangan, mungkin pada perona pipi yang memudar atau eyeliner yang tinggal segaris. Ia cemas apabila hal itu tertangkap oleh tatapan pria tadi.

Ia merupakan seorang wanita yang cantik dan masih terlihat sangat remaja di usianya yang hampir kepala tiga. Matanya bulat indah dengan manik mata biru terang, yang menurun dari keluarga ayahnya. Kulit kuningnya selangsat sari daun gading dan rambutnya ikal berombak dengan warna hitam natural. Semua orang akan dengan pasti menyebutnya perempuan cantik, kalau tidak jelita. Selain itu, caranya berpenampilan selalu elegan.

Lena menyadari setiap kali orang terpaku menatapnya. Ia mempesona. Namun, ia juga sangat berhati-hati karena ia tidak mempercayai semua orang itu. Karena itulah, ia terlatih menjaga jarak kepada para pria. Itu semata-mata untuk keamanan dirinya sendiri sebagai seorang wanita yang rapuh.

Kini, entah mengapa ia merasakan perhatiannya tidak bisa lepas dari pria yang baru saja menjadi perhatiannya. Rasa-rasanya ada ikatan kedekatan yang tidak mampu ia jelaskan dengan laki-laki yang baru kali pertama ini ia lihat. Saat ia menoleh lagi ke belakang, pria itu sudah tidak tampak.

Perlahan Lena menyadarkan dirinya sendiri. Kakinya sedang menginjak bumi. Ia harus segera pulang dan mulai mencuci baju-baju kotornya yang sudah hampir dua ember.

“Maaf, Anda menjatuhkan ini,” saat akan melangkahkan kaki, sebuah suara menahannya dari belakang. Nadanya terdengar seringan kapas untuk ukuran seorang laki-laki dewasa. Namun, cengkeraman tangannya di bahu Lena menunjukkan ia adalah sosok laki-laki maskulin.

“Oh,” Lena setengah menggeleng, dan ketika ia menatap wajah pria di hadapannya itu, ia seperti terpaku. “Ohh,” ia mengangguk-angguk, mengiyakan bahwa sebuah kunci dengan gantungan hiasan perak berbentuk kanguru di tangan pria itu adalah miliknya.

“Anda menjatuhkannya di sana,” tangan pria itu menunjuk ke seberang, di sekitar area konter parfum. “Kupikir penting, Anda akan kesulitan bila kehilangan ini.”

Lena melempar untaian senyum sembari menerima uluran kunci rumah kontrakannya dari tangan kanan pria itu. Dirasakannya kedua ujung bibirnya sangat tegang dan bergetar ketika ia menariknya. “Terima kasih,” ucapnya lirih, menutupi kekagetannya.

“Anda tinggal di sekitar sini?”

Lena menggeleng. “Tidak. Hanya, bekerja di dekat mall ini. Saya akan pulang.”

“Mampir sebentar di mall?”

Lena mendesahkan tawa, dan ia merasa lebih santai.

Namanya Indra. Ia baru beberapa hari di Indonesia. Sebagai seorang Indonesia, Indra memiliki kewarganegaraan Perancis dan telah tinggal bertahun-tahun di Limoges.

Itu adalah sebuah kota kecil, kalau tidak dibilang desa yang maju, di perbatasan kota Paris. Ia menceritakannya saat berjalan mendampingi Lena hingga mereka akan berpisah di depan toko buku satu-satunya di mall itu. Sebagai seorang Analis Keuangan, Indra bekerja di Kantor Kedutaan Perancis dan sekarang ia diutus selama beberapa bulan untuk mengamati pergerakan ekonomi di negaranya sendiri. Kantornya ada di wilayah lingkar mega Kuningan tetapi ia diberikan tempat tinggal di apartemen bintang lima yang gedungnya sangat besar dan menyatu dengan mall ini.

“Anda suka membaca buku?”

Indra menganggukkan kepala satu ketukan. “Aku akan sering berada di sini setiap sore,” katanya sembari tertawa. Lena mengangguk-angguk dengan senyum lebar.

“Saya setiap hari melewati toko buku ini. Di pintu keluarnya, di sana,” ia menoleh ke samping, menunjukkan kepada Indra lewat angkatan dagunya untuk sekilas, “ada lift, dan saya perlu melewatinya untuk keluar dari sini.”

Indra mengangguk paham. “Akan sangat menyenangkan bisa bertemu kembali denganmu, Lena,” sebagai seorang warga Negara Perancis, bahasa Indonesia Indra terdengar fasih.

Indra masih mengantar Lena sampai ke dalam toko buku, dan mereka bersalaman di dekat pintu keluarnya. Saat tangan Indra menggenggam tangannya, sekujur tubuh Lena seperti teraliri kesejukan air yang mengalir dari pusara kepalanya yang begitu dingin ke sekujur tubuhnya.

*          *          *

Maya semakin tampak kusut. Dengan uraian cerita-cerita akan persiapan menjelang pernikahan yang sedang dijalani adiknya semata wayang. Tidak bisa dipungkiri, Maya memang sedang merasa tersisih. Ia merasa tidak terlalu diberkati sehingga adiknyalah yang terlebih dahulu dijemput oleh jodohnya.

Seperti hari ini Maya menampakkan raut murung sepanjang hari. Hanya pada saat ada pelanggan datang ia memasang senyum yang dipaksakan. Semua pegawai di dalam kantor itu juga sudah mulai menjaga jarak dengan Maya. Mereka tidak banyak mengajak Maya berbicara karena kemungkinan besar jawaban dari Maya akan membuat suasana hati mereka ikut terbawa suram.

Lena tidak terlalu menggubris Maya. Kali ini ia lebih banyak memusatkan energinya untuk bayangan-bayangan yang ia ciptakan sendiri. Bayangan-bayangan itu semanis harumnya parfum floral bercampur tuty fruty yang pernah ia tahu sewaktu berkunjung ke Seibu.

Saat jam makan, Lena mendengar Maya menerima telepon dari adiknya. Nada halus yang dipaksakan. Tampaknya adiknya sedang flu berat. “Mungkin karena kamu terlalu memaksakan segala persiapannya menjadi sempurna. Sekarang kamu makan siang dulu saja dan beristirahatlah. Aku akan membawakan obat untukmu sepulang kerja.”

Lena tersenyum kecil. Bagaimanapun juga Maya adalah seorang kakak dan ia tidak bisa seratus persen membenci adiknya yang akan melangsungkan pernikahan sebelum dirinya.

Saat itu Lena sendiri juga sedang menerima telepon dari Indra. Ia mendengarkan Indra yang tengah bercerita tentang orang-orang di kantornya yang sangat menghormatinya. Ada seorang staff wanita yang bahkan membagi roti sandwich-nya untuk makan siang bersama Indra.

“Kau menerimanya?”

“Aku sudah menghabiskan dua kerat roti untuk sarapan, Lena,” nada renyah Indra terdengar begitu menyenangkan di telinga Lena. Setelah seminggu mereka menjadi begitu akrab.

Hal yang tidak disadari Lena tetapi telah ia ketahui adalah Indra sudah memiliki seorang istri. Ia menceritakannya di malam pertemuan mereka yang ketiga. Seperti pertemuan kedua, di mana Lena berjalan menyusuri deretan rak-rak buku di Gramedia hanya untuk melihat-lihat sekaligus mendekati pintu keluar dan menuju lift untuk keluar dari Gedung Menara itu. Indra selalu dapat menemukannya, dengan selalu tampak membawa buku yang dibacanya seperti sedang berada di sebuah perpustakaan.

Mereka makan malam bersama dan hal itu sudah mulai menjadi rutinitas mereka. Indra akan bertanya bagaimana kesibukan Lena di kantor seharian itu. Ia mulai membuat suasana pertemanan baru mereka terasa begitu intim.

Malam ini mereka memutuskan untuk makan malam di salah satu deretan warung tenda di Jalan yang ada di belakang Gedung Sarinah. Lena lupa apa nama jalannya sehingga Indra memutuskan mereka menggunakan transportasi umum, turun di halte busway yang tepat berada di depan Gedung tersebut. Dari situ mereka berjalan sesuai ingatan Lena menuju salah satu warung tenda yang menjual bakmi ayam komplit dengan bakso dan siomay favorit Lena.

Indra mengaku baru kali pertama ini ia naik busway Transjakarta. Mereka sedang beruntung karena busway yang mereka tumpangi tidak penuh sesak. Udara dingin AC di dalam busway cukup menghibur Lena karena itu akan membuat Indra tidak akan kegerahan.

Di mata Lena, Indra sangat menyenangkan dan bersahabat. Ia dapat berbicara ramah dengan pramusaji ketika memesan makan malamnya. Mereka menyantap bakmi ayam komplit dengan sayuran sawi hijau yang banyak sebagai toppingnya. Lena tidak banyak minum es teh manis sehingga Indra hanya memesan satu es teh yang disajikan dalam sebuah gelas besar. Dengan satu pipa sedotan, mereka menikmati satu gelas es teh manis berdua.

Indra adalah satu-satunya pria yang selalu membayar untuk segala menu makanan yang mereka pesan. Ia selalu berjalan di sisi yang dekat dengan jalan raya sehingga Lena yang berjalan di dekatnya terhalang dari arus kendaraan di sampingnya. Jemari tangan Indra memegangi lengan tangan Lena, dengan tangannya menempel di bahu Lena. Dan, sering tangannya yang satu lagi memegangi tangan Lena yang lain, dan terkadang mereka menautkan jari jemari mereka dengan erat ketika berjalan berdampingan.

Seperti kali ini. Setelah mereka menyantap bakmi ayam mereka dengan perasaan puas. Mereka berjalan melewati pedagang-pedagang makanan di pinggiran jalan Sabang (nama jalan itu), menyeberang perempatan yang ramai dengan mobil-mobil yang padat. Pada akhirnya, sampailah mereka di Monas.

Tugu yang sangat tinggi dengan sebongkah emas di puncaknya itu tampak gagah bersinar di tengah malam yang gelap. Taburan bintang menciptakan suasana romantis dan beruntung saat ini belum pukul delapan malam. Gerbang pintu Monas belum waktunya ditutup untuk umum.

Mereka berjalan mendekati Tugu, berpapasan dengan beberapa muda mudi yang tengah berfoto atau hanya berjalan santai bergandengan. Tidak ada lagi pedagang liar yang menjajakan rokok terang-terangan di taman kota itu.

Saat mereka telah dekat di sekitar Tugu Monas, Indra mengajak Lena berhenti lalu ia berdiri menghadap Lena. Tubuhnya yang tinggi membuat Lena harus sedikit mendongak dan melirikkan pandangan matanya ke atas. Sesekali tatapannya kabur saat ia merasakan degupan di dadanya semakin kencang dan membuatnya kesulitan bernafas.

“Lena,” bisik Indra tepat di telinga Lena. “Kau seksi.”

*          *          *

Entah bagaimana urutannya namun dalam waktu yang singkat kedekatan antara Lena dengan Indra semakin erat. Setelah pertemuan makan malam di Jalan Sabang itu mereka menjadi semakin intim dalam berhubungan. Setiap pagi, hal baru yang menjadi rutinitas Lena adalah menerima telepon dari Indra. Seakan pria itu menginginkan bahwa mendengarkan suaranya adalah hal pertama yang didengar Lena. Indra pernah mengatakan dalam sebuah pesan singkat yang ia kirimkan saat jam makan siang, bahwa ia mulai tidak dapat menghabiskan malam sendirian tanpa Lena di sampingnya. Itulah mengapa ia sering meneleponnya setiap tengah malam sebelum tidur.

Pada hari Sabtu sore Indra menjemputnya. Saat itu Lena sedang sendirian, memoles kuku-kuku jari tangannya dengan kutex berwarna merah muda.

“Ada apa, Indra?” Lena tertegun akan kehadiran Indra. Beberapa tetangganya melirik ke arah mereka seperti seorang mata-mata yang haus informasi akan detail dari sasarannya.

“Aku ingin mengajakmu berkeliling,” Indra mengerling.

Mereka tidak ke Monas. Dengan mengendarai mobil Range Rover warna hitam metalik mereka menuju ke Menara yang biasa Lena lewati setiap kali pulang bekerja. Di puncak Menara itu terdapat sebuah restoran mewah dan sangat berkelas. Skye Bar. Hanya orang-orang yang tidak khawatir akan kehabisan uang saja yang menjadi pelanggan restoran itu.

Dari puncak tertinggi menara mereka memesan makan malam mereka, seporsi cordon bleu, fish n chips, kentang goreng dan sebotol anggur merah. Untuk hidangan penutup Indra memesan es krim dua rasa, coco pandan dan stroberi, dan disajikan dengan sebuah cherry di atasnya. Ia membiarkan Lena menikmati es krim itu sesuap demi sesuap, dan terkadang ia membuka mulutnya, isyarat agar Lena menyuapinya.

Saat itu hati Lena terasa sangat dingin dan sejuk. Ditambah dengan taburan bintang yang tersebar di sepenjuru langit yang kelam. Sepasang pria dan wanita, entah suami istri atau baru sebagai kekasih, berjalan melewatinya. Lena terkesima dengan penampilan wanita itu.

Sesaat perhatian Lena tertuju ke arah mereka tatkala Indra sedang menjauh untuk menerima telepon dari relasinya. Wanita itu berwajah sangat ceria, dengan gaun warna pastel dan kalung mutiara. Pasangannya merupakan pria gagah dan takkalah rupawan, yang menampilkan kesiapan total untuk menjaga wanita yang kini telah duduk di hadapannya. Mereka tampak serasi ketika memilih-milih menu dengan ditemani seorang pramusaji yang sabar.

Seketika Lena tertegun. Baru saja ia tidak memiliki anggapan bahwa pasangan di hadapannya itu bisa saja seperti dirinya dan Indra. Hatinya trenyuh lebih kepada dirinya sendiri ketika ia menyadari bahwa bisa jadi orang-orang yang berada di restoran itu juga menganggapnya dan Indra adalah sepasang kekasih atau suami istri.

“Lena,” Indra kembali ke tempatnya duduk. Ia tampak gagah dan sangat berwibawa dengan tuxedo abu-abu yang menutupi kemeja putihnya. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”

Lena menggeleng. Sebuah rasa ingin tahu yang besar seakan takterbendung lagi, sehingga ia memberanikan diri bertanya, “Bagaimana kabar istrimu di Perancis?”

Indra tersenyum. Gesture-nya mengesankan, bahwa ia sama sekali tidak keberatan Lena menanyakan kabar tentang istrinya. Ia sangat tenang, “Ia baik-baik saja.”

“Apakah seharian ini tadi ia sempat meneleponmu?”

Indra mengangguk. “Ya,” ia mengatakan bahwa istrinya sudah meneleponnya sebanyak tiga kali pada hari ini.

Mungkin karena wine yang ia minum, Lena merasakan badannya sangat gontai, dengan kepala yang terasa antara sangat ringan dan sangat berat. Ia membuat Indra tampak khawatir. Tanpa menunggu Lena menghabiskan es krimnya, Indra segera meminta bill-nya, melakukan transaksi dengan kartu kreditnya yang berwarna gold mengkilat, dan meninggalkan beberapa lembar uang sebagai tips di atas meja sebelum mengajak Lena meninggalkan restoran itu.

“Mungkin udara malam kali ini terlalu dingin, tidak baik untuk kesehatanmu, Lena,” Indra menggandeng Lena, berjalan menuju lift yang biasa ia lewati setiap kali hendak menuju halte busway untuk pulang ke rumah kontrakannya di daerah Karet. Mereka keluar di lantai 3 mall, tepat di pintu toko buku yang masih buka, karena memang belum pukul sepuluh malam.

“Kita ke mana, Indra?”

“Kau perlu istirahat sebentar,” dengan rengkuhan tangannya yang hangat, Indra membuat Lena merasa sangat nyaman. “Kita ke apartemen sebentar.”

Apartemen tempat Indra tinggal dapat dilalui dengan terus berjalan lurus dari toko buku lantai 3 mall itu. Pada ujungnya mereka akan mendapati access glass door dengan dua deret lift Hyundai yang dapat membawa mereka ke lantai sebelas gedung apartemen itu.

Gedung apartemen bintang lima yang mewah dengan lantai marble yang mengkilap. Dua orang recepsionist dan satu security guard menyambut kedatangan mereka di lobby yang tampak megah dengan irama musik Concerto nomor 5. Lena sedikit tahu tentang irama Mozart dan saat ia dengarkan lebih seksama, nadanya ada pada A mayor.

“Selamat malam, Bapak dan Ibu,” sapa dua orang receptionist di belakang counter meja yang dihiasi dua vas dengan bunga-bunga orchid warna putih segar. Mereka seorang laki-laki dan perempuan yang ramah dengan baju seragam yang mirip dengan seragam yang biasa dikenakan cabin crew. Di seberang counter ada seorang security berjas hitam dan berdasi. Ia mengangkat tangannya yang sebelah kanan, menunjuk ke arah lift dengan signage huruf F1 & F2.

“Terima kasih,” kata Indra pada security yang mengikuti mereka menuju lift. “Saya ada kartu akses,” Indra tersenyum sembari menunjukkan sebuah kartu warna putih seukuran kartu ATM. Security itu mengerti dan tidak lebih jauh mengantarkan mereka.

Lift membawa mereka ke lantai tempat apartemen Indra berada. Sebuah apartemen dengan satu kamar tidur yang besar dan Jacuzzi yang mewah. Lena duduk di sebuah sofa panjang yang sangat empuk. Sebuah chandelier menyala elegan, sangat mengesankan bagi perasaan Lena.

Indra menuang segelas air putih yang dingin ke dalam sebuah gelas yang menyerupai kristal. Ia duduk di samping Lena, menyerahkan gelas itu kepadanya dengan hati-hati. Indra mengamati Lena dengan tatapan mata yang sangat dalam ke arah Lena.

“Aku tidak apa-apa, Indra,” Lena meneguk air dingin itu. Sepertinya memang hanya air itu yang bisa melegakan tenggorokannya.

“Kamu membuatku khawatir, Lena.”

Lena tersenyum simpul. Ia membalas tatapan Indra. Dalam hening mereka saling memandang. Entah untuk berapa lama. Kedua mata Indra menyiratkan kehangatan yang romantis.

Lena mengedip dan mengalihkan tatapannya ke gelas kristal yang ia pegang. Indra sendiri mengendurkan ketajaman pandangannya, sedikit menunduk, menyapukan pandang ke permukaan meja yang kosong, hanya ada sebuah vas putih porselen dengan kelopak-kelopak kecil bunga plastik. Lena merasakan dadanya berdegup. Sebuah pusaran hasrat ia bendung rapat-rapat, dan rasanya sungguh menyiksa.

“Maukah kamu mengantarku pulang, Indra?”

*          *          *

Hari Senin, Lena makan siang bersama Maya. Mereka mengetahui ada sebuah warung ayam bakar yang baru buka di ujung blok gang kedua dari gang tempat lokasi biro berada. Warung ayam bakar yang lumayan baik, dengan meja-meja yang tertata rapi dengan dikelilingi masing-masing empat kursi. Beberapa kipas angin menempel di setiap sudut ruang, semuanya menyala tanpa menimbulkan suara berisik.

Maya masih terus mengabarkan tentang adiknya. Kali ini sedikit berbeda karena sepertinya ia sudah lebih dapat menerima kenyataan. “Hari ini adalah hari ketiga dia opname di rumah sakit. Dokter belum mengizinkannya rawat jalan. Kukira ia demam atau hanya radang tenggorokan.”

Lena mengangguk, mencoba menunjukkan bahwa ia juga ikut memperhatikan perkembangan kesehatan adik Maya lewat mimik mukanya. “Jadi, dia typhus.”

“Iya, dia terlalu bersemangat di awal untuk pesta pernikahannya. Kondisi tubuhnya semakin menurun karena tidak ia imbangi dengan supply nutrisi yang seimbang. Bahkan, dia tidak pergi latihan fitness atau sekedar jogging di pagi hari. Hal yang sering ia lakukan dulu sebelum ia berangkat kuliah.”

Lena menyimpulkan senyum yang terkulum, “Wajar saja, Maya,” kemudian ia dengan hati-hati mengatakan, “Vera akan menempuh hidup baru.”

Pada awalnya, Lena mengira mengucapkan kalimat itu akan menciptakan suasana hati yang tidak enak bagi Maya. Akan tetapi, selesai mengucapkannya, ia merasakan suasana hatinya sendiri yang mulai redup.

Ia telah banyak mengetahui kesibukan yang dialami pasangan yang akan menikah. Sembilan tahun lalu ibunya pun menunjukkannya. Saat beliau akan menikah dengan seorang pria yang kini menjadi ayah tirinya. Seorang yang terpaut sekitar sembilan atau sepuluh tahun dengan ibunya, yang sebelumnya harus mengalami konflik dengan istrinya sendiri.

Lena ingat pada saat itu ia berusia 19 tahun, dan tinggal bersama ayahnya di Jawa Timur. Ayah dan ibunya bercerai dua tahun sebelumnya karena masalah yang tidak pernah ia ketahui. Ibunya tinggal di sebuah rumah kontrakan yang ada di wilayah Jogjakarta dan bekerja sebagai seorang staff administrasi sebuah perusahaan farmasi. Setelah mendapat kabar mengenai rencana pernikahan Ibu, ia yang baru saja lulus SMA diizinkan oleh ayah untuk menemani Ibu.

Ibu menjanjikan biaya untuk kuliahnya di Jogjakarta, tempat tinggal, serta uang saku. Calon suaminya adalah seorang pegawai negeri yang dihormati di lingkungannya. Dengan ibu, mereka mempersiapkan detail kebutuhan-kebutuhan pesta pernikahan mereka. Dari gedung, menu catering, bahkan souvenirs. Mereka menyebar undangan ke orang-orang terpandang. Lena dapat menyimpulkannya karena pada saat resepsi, ia melihat halaman parkir gedung penuh dengan mobil dan para tamu pria mengenakan setelan batik ataupun jas, dan wanitanya mengenakan kebaya dan membawa tas maupun clutch yang memendarkan sinar ketika tersorot cahaya.

Pesta pernikahan Ibu berlangsung meriah. Ibu tampak sangat bahagia bersama suami barunya. Saat itu, Lena memperhatikan mereka dari sudut belakang kursi tamu undangan, dekat dengan podium mini yang sedang digunakan sekelompok pemain band yang sedang menyanyikan lagu dari Shania Twain. Ia memperhatikan keajaiban di rona muka Ibunya yang cerah.

Entah memang sudah tidak dapat Ibu rasakan atau dapat beliau sembunyikan rapat-rapat. Lena takjub karena ia tidak dapat melihat kelelahan bahkan dari sorot mata Ibunya. Beliau terus tersenyum hingga memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya yang rapi. Sehari sebelumnya, Ibu masih tampak serabutan, berjalan mondar mandir, memastikan apa saja yang harus dilengkapi pada perayaannya. Beliau juga menelepon beberapa kerabat, dan memastikan kedatangan mereka.

Saat lagu From This Moment On selesai, Lena menelepon ayahnya dan menanyakan apakah beliau baik-baik saja. Ia mendengar ayahnya menjawab dengan desahan senyum bahwa ia baik-baik saja.

Lena mengakui bahwa pada waktu itu ia tidak terlalu menggubris Ibunya. Ia lebih ingin berada di dekat ayahnya. Ia seperti dapat merasakan rasa sakit yang barangkali masih ayahnya rasakan. Pernikahannya bersama Ibu selama 18 tahun kandas. Pernikahan yang mungkin mereka persiapkan sematang mungkin bersama-sama. Yang sebelumnya diawali dengan penjalinan cinta di antara mereka berdua yang masih sama-sama muda. Yang belum memiliki apa-apa kecuali usaha untuk mendapatkan restu dari kakek neneknya. Ibu pernah bercerita saat perceraian masih jauh dari mata keluarganya, bahwa untuk mendapatkan restu orang tua, mereka menghabiskan sekitar tujuh tahun baru bisa sampai ke pelaminan. Total kebersamaan mereka pastilah sudah sekitar 25 tahun. Dan, itu bukanlah waktu yang lama untuk dinamakan sebagai kebersamaan.

Sepulang kerja Lena memilih untuk tidak melewati mall tempat biasa ia mencari jalan alternative. Ia berjalan agak jauh di wilayah Kebon Melati untuk sampai ke Halte Tosari. Saat Indra meneleponnya ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja, hanya sedang ada sesuatu yang harus ia selesaikan sehingga tidak dapat menemaninya makan malam.

Sepanjang ia berjalan memang hanya Indra yang ada di ingatannya. Ia tahu Indra sangat menyanjungnya. Indra pernah mengatakan kepada Lena bahwa ia sangat bangga dengan Lena yang begitu mandiri sebagai seorang perempuan karena dapat mengambil keputusan untuk tinggal di Jakarta dengan sebelumnya tidak membawa apa-apa kecuali sebuah koper baju yang rusak di bagian rodanya.

Lena menangkis saat itu, bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan darinya. Bahwa keputusannya untuk tinggal di Jakarta memang karena keterbatasan ekonominya. Keadaan ibunya, tidak bisa dipungkiri, lebih baik, tetapi akan sama saja apabila ia masih bersama ayah. Suaminya masih taat dengan konsekuensi membiayai kehidupan mantan istri serta tiga anak mereka tiap bulannya. Ibu sendiri melahirkan dua anak dan Lena tidak ingin lebih merepotkan keluarga baru Ibu. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Lena pun memutuskan mencari nafkah sendiri di Jakarta.

Keluar dari busway, Lena menempelkan sebuah kartu flash dengan chip yang sebelumnya ia gunakan untuk masuk ke halte Tosari tadi. Ia berjalan menuruni jembatan penyeberangan dan berbelok ke sebuah gang yang sepi. Sebelum sampai rumah, Lena mampir ke sebuah minimarket 24 jam. Di sana ia membayar untuk sebuah cup yang diisinya sendiri dengan seduhan panas kopi latte yang tidak terlalu banyak gula. Ia memasang earphone di telinganya, mencoba mendengarkan koleksi lagu-lagu iTunes-nya. Hanya saja, ia tidak dapat berkonsentrasi dengan suara apapun.

Ia teringat pada suatu kesempatan ia bertanya kepada Indra akan siapa nama istrinya. Bukan bermaksud lancang, tetapi saat itu untuk pertama kalinya Indra telah menyapukan bibirnya ke bibir Lena.

Saat itu merupakan pertemuan keempat mereka yang jatuh pada hari Minggu. Mereka memang merencanakannya. Lena menyetujui ajakan Indra untuk menemaninya menonton film tentang seseorang yang memiliki banyak kepribadian. Tema film itu menarik bagi Lena, dan Indra berjanji untuk menjemputnya.

Indra datang dengan mengenakan kaos santai berkerah berwarna putih dengan celana jeans. Tanpa disengaja, Lena pun mengenakan atasan baju putih dari bahan chiffon serta jeans panjang. Pada hubungan-hubungan yang Lena jalin sebelumnya dengan beberapa pria, ia tidak mendapati yang seperti Indra. Pria itu datang dengan membawakan sebuket bunga mawar merah segar. Bunga itu pada malam harinya dibagi Lena menjadi lima bagian dan ditempatkan pada gelas-gelas berukuran panjang yang telah ia isi dengan air.

Dengan duduk mendampingi Indra yang menyetir pada sebuah Range Rover, Lena serasa mendapati dirinya berada pada dimensi kehidupan yang berbeda. Mereka menuju Senayan City, membeli tiket untuk ditonton satu jam kemudian.

Mereka berjalan-jalan mengitari mall besar itu, menikmati es krim dengan topping gula kapas berukuran sekitar empat kali lipat besarnya dibanding mangkuk es krimnya sendiri. Seorang pramusaji mengabadikan foto mereka serta membantu mengempeskan gula kapas itu dengan menuangkan cairan cokelat di atasnya.

Indra menikmati dirinya menemani Lena melihat-lihat baju di Debenhams. Ia ikut larut dengan kesibukan Lena memilah-milah baju dari gantungannya. Sesekali ia mencandai Lena dan berhasil membuatnya meledakkan tawa kecil yang tidak dibuat-dibuat.

Saat menonton film Indra tidak macam-macam. Film yang mereka tonton pun sama sekali tidak menampilkan adegan romantis. Namun, itu terjadi saat mereka berada di mobil.

Saat hendak menyalakan mesinnya, hendak pulang, Indra bertanya apakah Lena menikmati acara hari Minggu mereka kali itu. Lena menjawab dengan anggukan dan seulas senyum yang samar. Indra menatap matanya dan dalam heningnya suasana di area parkir yang luas itu, perlahan Indra mendekatkan tubuhnya. Wajahnya telah dekat dengan wajah Lena. Tatapannya sungguh dalam. Dan, dengan caranya yang maskulin ia menempelkan bibirnya ke bibir Lena.

Untuk beberapa detik Lena diam, menikmati aliran yang menggetarkan di beberapa bagian permukaan kulit tubuhnya. Sampai pada akhirnya ia sedikit menghisap bibir Indra, dan Indra membalasnya dengan lebih dalam menciumnya.

Saat Indra telah mengantarkan Lena tepat di depan pintu rumah, Lena bertanya apakah istrinya akan marah. Indra mengatakan bahwa istrinya tidak tahu, dan itu jelas bagi Lena. Lena bertanya lagi, apakah ia boleh melihat foto istrinya. Indra menjawab ia tidak menyimpan foto istrinya, baik di dompet ataupun di ponsel. Akan tetapi, Indra menyebut bahwa wajah istrinya seperti seorang aktris luar negeri, Scarlett Johansson.

Lena pernah membaca nama itu di beberapa majalah yang ia baca di deretan rak toko buku yang ia datangi. Ia tidak pernah membeli majalah seumur hidupnya. Majalah-majalah yang pernah ia miliki adalah majalah anak dengan latar keluarga kelinci yang dibelikan ayah ibunya terakhir sampai ia berusia dua belas tahun.

Ia menyukai nama itu sehingga dapat ia ingat dengan jelas. Nama Scarlett Johansson mengingatkannya pada sesuatu yang tampaknya elegan, mewah, dan tak tersakiti. Jauh sebelum ia mengenal Indra ia sudah menyukai nama itu, di samping nama belakang aktris itu yang membuat Lena berpikiran bahwa kehadiran wanita itu sesegar kehadiran bayi bersih yang baru saja dimandikan. Dan, mungkin ia sendiripun tidak ingin menyakitinya.

Melalui internet di ponselnya, Lena membuka web safari dan mengetik nama Scarlett Johansson. Beberapa foto di laman google menampilkan foto aktris Hollywood tersebut, familiar dengan foto-foto yang pernah ia lihat di majalah.

Saat tengah membaca biografi Johansson di situs Wikipedia, ponselnya bergetar. Layarnya menampilkan nama Indra serta pilihan untuk menerima panggilannya atau tidak. Agak lama, Lena menerimanya.

“Lena, apakah kamu benar-benar baik-baik saja malam ini?”

Lena tersenyum. Ada suatu kelegaan mengisi rongga dadanya yang ia biarkan hampa beberapa waktu tadi. Ia tenang setelah Indra menghubunginya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Indra.”

*          *          *

Lena kembali ke kebiasaan barunya, makan malam bersama Indra sepulang kerja. Kali ini Indra mengajaknya makan malam di salah satu restoran yang ada di Plaza Indonesia, Kitchenette.

Mereka memesan dua gelas beer serta air putih dingin, aglio olio, cheese burger, dan untuk dessert Lena akan menentukan pilihannya selesai makan. Lena tidak banyak bercerita karena selama menikmati spaghetti-nya, ia tidak ingin tampil seperti gurita yang tangannya terburai-burai keluar dari mulutnya. Ia membiarkan Indra berbicara mengenai banyak hal, seperti biasanya.

Percakapan Indra membawa bayangan Lena terbang ke Perancis. Ia mengajak Lena melihat sepiring croissant di salah satu kafe outdoor favoritnya, dekat dengan Menara Eiffel. Menikmati sinar mentari pagi di bawah Menara itu terasa sangat luar biasa, begitu kata Indra. Kemudian, ia bercerita pengalamannya berjalan-jalan ke Museum Louvre. Indra mengatakan bahwa ia baru sekali ke Louvre dan belum menjelajah semua sudutnya. Namun, ia senang pada akhirnya dapat melihat lukisan Mona Lisa, sekalipun ia melihatnya di tengah hiruk pikuk kerumunan pengunjung lain yang membuat ia tidak sepenuhnya dapat menyentuh kedalaman aura romantis dari lukisan karya Leonardo Da Vinci itu.

Satu karya lain yang Indra kagumi adalah patung Venus de Milo. Lena mengangguk-angguk, meyakinkan Indra bahwa ia memberikan perhatian besar terhadap ceritanya. Setelah menelan kunyahannya, Lena bertanya, “Kau pergi bersama istrimu ke Louvre?”

“Ya, aku pergi bersamanya.”

Lena mengerjapkan kedua pelupuk matanya. “Kau merindukannya.”

Indra mendesahkan tawa. “Aku tidak kesepian saat berada jauh dari Perancis.”

Di rumah, sehabis menggosok gigi dan mengenakan piyama tidur, Lena mematikan lampu tetapi belum berniat untuk berbaring. Ia duduk di kursi, menatap pantulan wajahnya pada kaca rias dari cahaya lampu baca yang masih ia nyalakan. Ia tidak pernah melihat Indra tampak merasa bersalah kepada wanita yang telah ia nikahi ketika sedang bersamanya. Namun, setiap menatap mata Indra, Lena juga tidak pernah bisa mendapati hal-hal yang tidak baik ataupun kesalahan-kesalahan yang seperti boomerang akan dapat ia timpakan kepada laki-laki itu. Yang Lena lihat dari Indra hanyalah lelaki itu memiliki pancaran mata dan kehangatan yang sangat ia butuhkan. Dan, Lena mulai tidak dapat menjauh darinya.

Esok harinya Maya menyerahkan sebuah kartu undangan dalam bentuk hard copy di dalam sebuah amplop warna emas dengan taburan glitter yang penuh. Itu adalah undangan pernikahan Vera. Sebagai salah satu dari anggota keluarganya, Maya dapat ikut mengundang beberapa teman yang dekat dengannya. “Semoga setelah pernikahan Vera, aku dapat kembali berkonsentrasi dengan kehidupanku.” Ucapan Maya membuat Lena yang tengah mengamati undangan itu jadi tersenyum kecil.

Maya tengah mengatur tumpukan berkas di mejanya, dan setelah selesai ia mengambil satu bungkus biskuit kegemarannya. Seperti biasa, ia membuka dan mengeluarkan isinya di atas sebuah piring ceper porselen warna putih. Ia akan menikmatinya dengan secangkir teh panas yang manis.

“Sepertinya kamu sudah memberikan restumu untuk pernikahan Vera,” kata Lena.

“Yah,” Maya menyeret kursinya lebih ke dekat mejanya, “aku akhirnya menyadari bahwa bagaimanapun pernikahan mereka adalah kehendak Tuhan. Vera segera sembuh mendekati hari H pernikahannya. Dan, setelah banyak mendengarkan cerita-ceritanya semasa berpacaran dengan Ardi, akupun sependapat bahwa masa itu haruslah diakhiri dengan pernikahan. Tidak seharusnya mereka hanya berhubungan dalam ketidakpastian seperti itu.”

Lena menguntai senyuman.

“Mereka telah menempuh kebersamaan lumayan lama. Ternyata sudah banyak yang mereka lalui, senang maupun sedih. Aku juga tidak ingin adikku tersiksa,” Maya mulai tampil lebih segar dari sebelum-sebelumnya. “Apabila hubungan mereka tidak dikukuhkan dalam ikatan pernikahan, aku khawatir adikku akan semakin banyak merasakan sakit hati. Ditambah, posisinya akan sangat mengkhawatirkan pada saat ada perempuan lain menggoda Ardi.”

Mendengar Maya, seketika hati Lena tersentak. Ia menoleh menatap Maya.

Maya mengangguk-angguk memastikan. “Aku sudah berlaku tidak adil pada Vera. Sekarang, sebagai kakak, aku memberikan restu kepada mereka, dan berpesan kepada Ardi agar ia menjaga adikku dengan sebaik-baiknya.”

Pada malam harinya, sewaktu Lena dan yang lain bersiap pulang, Indra telah berdiri di depan pintu masuk biro. Ia menunggu Lena di sana. Lena agak tertegun dengan kehadiran Indra. “Hey,” sapa Lena setelah mengenakan jaket mantelnya yang berwarna hitam.

Indra tersenyum lebar. “Aku mencari tahu lokasi biro tempatmu bekerja. Ternyata memang dekat sekali di sini,” Indra segera menggandeng tangannya untuk berjalan pulang.

Lena menoleh ke belakang dan melihat Maya dan beberapa teman mengamatinya. Mereka baru sekali ini melihat seorang laki-laki menjemput Lena pulang. Mungkin mereka bertanya-tanya mengapa Lena tidak memperkenalkannya. Lena menunjukkan raut takberdaya kepada mereka, dan Maya merapatkan bibirnya seraya mengangguk, isyarat hal itu tidak masalah. “Pergilah,” bisiknya sembari mengibaskan tangannya ke arah Lena.

“Indra,” pada saat mereka telah keluar dari gang, Lena bertanya, “kamu belum sempat aku kenalkan dengan teman-temanku.”

“Oh, maaf, Lena, aku terlalu terburu-buru sehingga hal itu tidak terpikirkan olehku.”

Lena mengernyit. “Mengapa kauterburu-buru untuk bertemu denganku?”

Indra tersenyum. “Aku ingin memberimu sesuatu. Aku baru saja berjalan-jalan di Seibu dan melihat ada yang menarik yang dapat kuberikan untukmu.”

Indra membawa Lena ke apartemen. Irama piano terdengar memenuhi lobby yang besar dan megah itu, dimainkan pada nomor 6 untuk Valse Sentimentale, Op 51. Musik klasik gubahan dari composer Tchaikovsky. Akan tetapi, Lena tidak dapat berlama-lama di lobby karena tangan Indra yang membimbing lembut pinggangnya terus mengajak berjalan menuju lift unit F.

“Aku suka musik tadi,” Lena menatap Indra dan tersenyum.

Indra membalas senyumannya. “Kamu suka musik klasik, Lena?” Indra melihat anggukan Lena yang singkat. “Aku tidak terlalu tahu musik klasik tetapi ada yang kupunya dari Vivaldi, Four Season.”

Lena mendesahkan tawa. “Lagu itu sangat riang.”

“Ya,” Indra mengangguk-angguk. Lift telah terbuka dan mereka melangkah ke area foyer unit Indra yang lampunya belum dinyalakan. “Kamu ingin aku memutarkannya untukmu?”

Masih dengan senyum yang teruntai, Lena menggeleng. “Tidak sekarang, Indra.”

“Baiklah,” Indra mencoba mengerti. Setelah membuka pintu, ia menyalakan beberapa lampu di ruang unitnya, termasuk di area foyer. Lampu di area itu ternyata memang sudah mati. Beberapa kali Indra memencet saklarnya tetapi lampu di foyernya tetap tidak menyala. Maka, kemudian Indrapun menelepon bagian front desk dan meminta mereka mengirimkan teknisi untuk mengganti lampunya. “Baiklah, siapkan saja penawaran untuk penggantian lampunya. Aku akan membayarnya setelah kalian memberitahukan jumlah harganya.”

Saat Indra selesai bertelepon, ia menghadap ke arah Lena dan mendapatinya sedang duduk di sofa memandanginya. Ia memeluk bantal dan agak menjorokkan badan ke depan.

“Ada apa, Lena?” Indra merenggangkan kedua tangannya. Ia berjalan ke arah Lena sembari tersenyum lebar, membalas senyuman Lena kepadanya.

“Saat kamu berbicara dengan orang lain, kamu terdengar sangat berwibawa,” kata Lena begitu Indra telah duduk di sampingnya.

“Benarkah?”

Lena mengangguk-angguk. Indra tetap menatapnya dengan sinar matanya yang hangat dan dalam untuk Lena. Tatapan yang seakan takkunjung redup bagi Lena. Iapun mengerjap-ngerjap dan mengalihkan pandang menyapu permukaan meja.

“Lena,” suara Indra terdengar selirih bisikan, “Tahukah kamu, semalam aku sangat merindukanmu.”

Hati Lena berdesir seketika. Ia mengangkat wajahnya ke depan.

“Aku tidak tahu alasan mengapa aku merindukanmu,” Indra memperjelas pengakuannya. Lena mulai membayangkan ia masih berada di lobby dan menanti irama piano memainkan musik yang lain, mungkin irama Swan Lake yang biasa didengarkan dalam pertunjukan ballet.

“Jadi, aku tidak bisa bertanya lagi apa yang membuatmu merindukanmu,” Lena melirik Indra. Ia lalu tersenyum, sedikit mencoba membuat Indra tergetar.

“Ya,” Indra sedikit terbahak. “Jadi, jangan bertanya.”

Lena tertawa kecil. “Baiklah, kamu bilang akan memberiku sesuatu,” ia menepuk bahu Indra. “Apa itu?”

Indra mengerling, dan membuat bibir Lena menguntai senyuman lebar. Saat ia beranjak berdiri, Lena mendongak menatapnya. Untuk beberapa saat mereka saling pandang. Suasana sangat hening, dengan hembusan dingin udara air conditioner. Seketika Lena merasa begitu teduh dengan perasaan nyaman yang tercipta di antara mereka.

Lena mendapati tangan Indra perlahan mengulur ke arahnya. Ia tersenyum dan berkata dengan sangat hati-hati, “Aku menaruhnya di kamar,” Lena masih diam, “kaca besarnya pun ada di sana, sebagai pintu dari wardrobe,” meskipun tidak terdengar gagu, Lena tahu Indra sedang berkonsentrasi menyusun kalimatnya. “Aku pikir sekaliyan kamu mencobanya di kamar, Lena.”

Kata-kata Indra membuat Lena mengernyitkan kedua matanya. Ia berusaha mencerna, dan menebak apa kira-kira hadiah dari lelaki itu untuknya. “Baiklah, aku ikut,” ia menerima uluran tangan Indra. Didengarnya Indra mendesahkan tawa yang samar-samar sarat perasaan lega.

Untuk pertama kalinya Lena melihat kamar Indra, dan itu tidak terbayangkan sebelumnya oleh Lena. Saat masih kuliah, Lena pernah bertandang ke kamar kost pria yang menjadi pacarnya saat itu. Sepetak kamar yang sangat sederhana, hanya sebuah dipan yang terbuat dari kayu dengan bed yang tidak empuk sama sekali. Terdapat sebuah lemari kayu dengan kaca berukuran persegi panjang di salah satu sisinya. Ada beberapa buku bertumpuk di atas sebuah meja yang berdebu. Kala itu Lena dapat mengerti karena mantan pacarnya itu adalah type seorang laki-laki yang simple. Seperti kebanyakan lelaki di dunia ini.

Lena secepat kilat merubah pendapatnya saat ini. Memasuki kamar Indra terasa seperti seorang putri yang kali pertama menemukan pangeran sejatinya.

Antara dirinya dengan Indra tidak pernah terjadi perdebatan di setiap pertemuan mereka. Lena tidak pernah mendengar Indra mengadu argumen untuk suatu masalah yang berkaitan dengan porsinya sebagai lelaki atau Lena sebagai perempuan. Belum pernah Lena mendapati Indra menonjolkan lewat kata-katanya hanya untuk menyadarkan Lena sebagai seorang perempuan bahwa posisinya sebagai seorang pria. Dan, Indrapun belum pernah menunjukkan gelagat ingin dimengerti sebagai seorang pria yang ringkas oleh Lena.

Pikiran Lena terbelit banyak pendapat mengenai Indra. Namun, satu yang terbantahkan saat ini. Bahwa, begitu ia melihat kamar pria itu, memang akan terdengar kejam apabila membanding-bandingkan Indra dengan pria kebanyakan.

Lena teringat kepada semua mantan pacarnya. Mereka selalu menunjukkan diri mereka kesulitan menerima cara berpikir Lena sebagai seorang wanita. Dan, selebihnya, baik secara langsung maupun tidak, mereka pada akhirnya sama saja. Ingin Lena mengerti bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam memahami perempuan. Mereka menunjukkan kepada Lena cara mereka memandang dunia dengan ringkas. Mereka tidak dipusingkan dengan pernak-pernik yang membuat segala sesuatunya menjadi begitu ribet. Dan, setiap kali keluar dari kamar para mantannya, Lena selalu merasa harus menyadari sesuatu dari melihat kondisi kamar yang semacam itu. Bahwa pasangannya itu menuntut agar mereka tidak dituntut lebih jauh memahaminya sebagai seorang wanita. Alasannya hanya satu, mereka tercipta bukan sebagai seorang wanita. Mereka tidak akan mengerti tiap details-nya.

Di kamar Indra Lena melihat sebuah ranjang yang begitu besar, dengan sprei putih yang halus. Nuansa kamar lelaki yang elegan. Sebuah lukisan besar dengan corak yang diulang-ulang terpasang di dinding dekat panel tempat tidur. Lena tidak dapat menangkap gambar apa pada lukisan itu tetapi ia seolah dapat melihat gambar itu bergerak dalam rangkaian warna biru yang mendominasi. Sentuhan mewah yang klasik hadir di ruang tidur Indra, dengan meja yang panjang di seberang ranjang. Tidak terdapat televisi di kamar Indra namun beberapa buku tebal yang semuanya bercover tebal tertumpuk rapi di sisi pinggir, ditemani sebuah vas kaca yang manis berisi tiga tangkai bunga plastik menyerupai tulip putih.

Wardrobe Indra sangat besar, yang Lena pun serasa ingin memilikinya. Pintu-pintu lemari itu merupakan kaca besar yang membuat Lena dapat melihat dengan jelas pantulan dirinya tengah bersama Indra, berdua di depan sebuah tempat tidur. Lena sedikit tersipu menyadari hal itu.

Mereka berdiri di atas sebuah karpet lembut berwarna cokelat susu. Saat Lena tengah menunduk untuk melihat –bulu-bulu karpetnya yang menyerupai bulu anggora, Indra berjalan mendekatinya. Dari belakang Indra perlahan menyibakkan geraian rambut panjang Lena.

Lena masih berdiri diam, seperti patung yang takkuasa bergerak. Hanya degupan jantung yang semakin kuat ia rasakan. Indra dengan sangat pelan dan berhati-hati mengalungkan sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati yang mengkilap.

“Apakah ini hadiah darimu, Indra?”

“Satu lagi, Lena,” suara Indra sekeras bisikan. Setelah kalung itu dapat ia kenakan kepada Lena, Indra meminta Lena melihat ke arah kaca. Indra sebentar menemani Lena berdiam hanya untuk mengagumi dirinya yang tampil lebih bersinar setelah mengenakan kalung itu.

Indra berjalan ke arah meja panjang. Sebuah kotak berpita yang terdapat di atas meja panjangnya itu ternyata bukan sekadar ornament yang mempercantik kamar Indra. Itu adalah kotak yang membungkus hadiah dari Indra.

“Aku membelikanmu ini,” Indra kembali kepada Lena untuk menyerahkan kotak berwarna pastel itu. “Aku tidak tahu kenapa setiap waktuku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”

Lena merasakan degupan jantungnya semakin terpacu. Ia berusaha menahan diri untuk tidak mendesahkan nafas yang terdengar sangat berat. “Aku boleh membukanya?” tanyanya lirih.

Indra mengangguk. “Aku ingin kamu mencobanya,” sebelum Lena membukanya, Indra meminta izin Lena untuk meninggalkannya sesaat dari kamar itu.

Lena mendapati sebuah gaun cocktail warna putih yang sangat bagus. Ia terlihat sangat anggun saat mengenakannya. Ditambah dengan kalung pemberian dari Indra. Saat mematut diri di depan cermin yang besar itu, Lena terhenyak dan jantungnya berdetak semakin kencang. Ia mulai menyadari ia sangat menyukai pria itu.

Sewaktu Lena ke luar kamar, ia mendapati Indra duduk dengan gesture sedikit gugup di sofa panjang. Ia tampak menghadap ke arah televisi yang tidak menyala dengan jari jemari tangan yang bertautan di atas lulut kakinya. “Indra,” Lena menggugah kediaman Indra.

Indra menatap Lena dengan tatapan takjub. Ia berdiri dan tersenyum kepada Lena, “Kamu cantik, Lena,” ia membuat Lena tidak tahu harus menjawab apa.

Sebelum Lena membuka pintu kamar dan ke luar, ia sempat melihat sebuah tas belanja lain. Sebuah tas belanja dari kosmetik ber-merk yang juga dijual di Seibu. Lena pernah tahu merk itu, karena ia pernah melihat-lihat ke sana. Sebuah kosmetik yang sangat mahal untuk digunakan oleh para wanita yang ingin wajahnya tetap tampil cantik belia meski usia sudah tidak lagi muda.

“Indra, tidak seharusnya kamu repot-repot membelikanku barang-barang mahal ini,” Lena menunduk, mengamati gaun cocktail yang ia kenakan.

“Tidak, Lena, sama sekali tidak,” Indra menggeleng. “Aku sangat berterima kasih kamu telah menerimaku sebagai temanmu. Aku sangat menghargainya.”

Lena melempar senyum, dan sedikit mengalihkan pandang dari tatapan Indra yang dalam. Sangat dalam baginya, sehingga Lena khawatir akan semakin masuk ke pusaran hatinya.

“Kamu sendirian saat ke Seibu, Indra?”

Indra mengangguk.

“Hanya untuk membelikanku hadiah ini?” Lena merasa sedikit tidak pantas menanyakan itu, tetapi ia merasa harus mengutarakannya.

Indra tidak segera menjawab. Mungkin ia perlu sebentar menghirup nafas yang panjang, “Ada yang harus aku beli di sana. Dan, aku melihat gaun ini. Seketika aku teringat padamu.”

Lena akhirnya mengerti. Tentu saja ia sangat paham akan itu. Sepanjang pengamatan Lena, Seibu merupakan sebuah toko yang banyak dikunjungi oleh para wanita kelas atas. Dari pakaian dengan desain yang sangat berkelas, parfum-parfum yang harganya selangit dengan keharuman yang tidak biasa, juga kosmetik-kosmetik yang pasti dibutuhkan oleh para wanita berkarir. Atau, paling tidak para wanita itu harus tampil menawan sebagai pendamping dari lelaki terhormat. Adapun counter untuk pria, para wanita lah yang akan mengitarinya. Mereka menemani berbelanja atau hanya seorang diri membelikan barang bagi pasangannya.

Lena mengangguk-angguk.

Indra membuat suasana hening menyelimuti mereka berdua. Kemudian, dengan pelan, ia memberitahukan, “Istriku akan kemari besok,” ia melihat Lena tersenyum tipis. “Oh, Lena, aku sangat,” suara Indra tercekat dan terdengar menggantung. Agak lama, Lena tidak mendengar Indra melanjutkan perkataannya. Ia hanya mendapati dirinya yang sudah berada di pelukan Indra.

Mereka berpelukan dengan diam. Dalam suasana sunyi yang menggayut. Mata Lena terpejam. Ia bertanya-tanya kapan Indra akan melepaskan pelukannya yang hangat itu. Di sisi lain, ia tidak ingin lepas dari pelukannya. Namun, itu harus. Lena memang takkuasa. Dering telepon lah yang membuat Indra merenggangkan pelukannya. Telepon dari bagian helpdesk apartemen yang memberitahukan harga penawaran untuk penggantian lampu di area foyer unit Indra.

*          *          *

Di kantor Lena memperhatikan Maya yang sedang menerima telepon dari ibunya. Beberapa hari ini Maya sudah tampak sangat sibuk. Setiap jeda, ia menyempatkan diri menelepon beberapa anggota keluarganya. Sejauh ini Lena telah tahu Maya telah menelepon beberapa bibinya yang tinggal di luar kota. Ia memastikan bahwa seragam kebaya yang telah ia paketkan via pos kepada masing-masing dari mereka telah dicoba dan cocok dikenakan di pesta pernikahan adiknya.

Kali ini ia membicarakan mengenai daftar hidangan yang menurut Ibunya perlu dirombak lagi. “Ibu, aku rasa kue pastel dengan isian irisan telu dan wortel itu sudah baik. Tidak usah macam-macam diganti dengan zuppa soup mini.”

Saat Maya tengah berdebat kecil dengan Ibunya lewat telepon, Lena mengamati ponselnya sendiri yang tergeletak dekat booth telepon di mejanya. Ia mulai berharap untuk juga menerima telepon dari seseorang. Ia seperti sedang dirundung sepi. Ada sesuatu yang tiba-tiba tercerabut dari dirinya, yang seakan membuat hatinya menjadi hampa.

Apabial ada yang bertanya kepada Lena, telepon dari siapa yang diharapkan. Mungkin, Lena akan menjawab dari Ibunya. Ia mungkin akan sangat senang mendengar kabar dari ibunya yang tengah menyediakan makan siang kegemaran adik-adik tirinya. Atau, mungkin dari ayahnya yang berhasil mendapatkan laba lebih dari usahanya sebagai pengrajin cindera mata dari mahoni. Akan tetapi, pasti itu tidak akan menghilangkan kekosongannya saat ini.

Lebih dari apapun, ia menginginkan ponselnya bergetar dan layarnya menunjukkan deretan angka, nomor dari Indra. Ia hafal di luar kepala akan nomor Indra, dan ia menantikan dirinya terperanjat dengan jantung berdegup melihat nomor yang telah ia hapus dari ponselnya. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi.

Sudah lima hari Indra tidak menghubunginya. Lena sendiri juga tidak lagi melewati mall untuk menuju halte setiap pulang bekerja.

“Baiklah, Ibu, aku rasa untuk hal ini, memang harus menuruti keinginanku,” Maya bersiap mengakhiri perbincangannya dengan Ibunya. “Vera sendiri juga menyukai hidangan pembuka itu. Kue pastel dan kroket kentang yang lembut. Percayalah, itu sangat enak.”

Lena melihat Maya mematikan sambungan telepon. “Oya, Lena, kamu pasti datang, kan?”

Lena mengangguk. Ia menoleh dan tersenyum ke arah Maya.

Maya mengerling, ia seperti ingin sedikit menggoda Lena, “Apakah kamu akan datang dengan pria yang tempo hari kemari?”

Lena menggeleng. “Aku akan menemanimu, Maya,” dan, seketika tangan Maya yang terbentang siap memeluknya dengan riang.

Pesta pernikahan Vera mengacu pada pesta adat Jawa. Lena tahu bahwa sebelum pesta yang tengah ia hadiri itu, kedua mempelai telah melewati beberapa rangkaian acara yang padat. Lena duduk di deretan kursi tamu keluarga, di sebelah Maya. Mereka melihat urut-urutan acara, dari mulai Vera dengan baju pengantinnya yang berwarna dominan emas duduk sendirian di singgasana. Keluarga mempelai pria datang berarak dan berdiri di muka pintu. Vera tampak menjemput suaminya, didampingi dua orang wanita bersanggul dengan kebaya warna senada.

Terjadi percakapan dalam bahasa Jawa dari dua orang lelaki tua yang berhadapan dengan membawa mikrofon. Mereka terlihat seperti orang yang tengah berpidato dalam bahasa yang mungkin sebagian dari para tamu tidak mengerti maknanya. Setelah itu, terdengar gending musik Jawa kembali, dan mempelai bersiap untuk prosesi pecah telur.

Lena diam memperhatikan. Ia teringat dengan acara-acara pernikahan adat Jawa lain yang pernah ia hadiri. Ada acara mereka berlutut, seperti hendak menyembah orang tua mereka. Begitu lah pernikahan dihargai di kalangan orang Jawa. Pernikahan yang begitu sakral. Yang dilakukan harus dengan mendapat restu kedua orang tua sebelumnya. Yang mana pernikahan akan membuat keluarga dari kedua mempelai dapat melanjutkan keturunannya.

Saat Lena mengetahui prosesi kacar kucur, di mana mempelai pria menuangkan koin-koin logam yang melambangkan penghasilannya ke pangkuan istrinya, ia menghembuskan nafasnya. Ia harus menyadari juga akan hal itu. seorang lelaki yang menikah bertanggung jawab penuh terhadap penghidupan wanita yang ia nikahi.

“Lena, makanlah, hidangan ini enak,” ucapan Maya memecahkan lamunan Lena. Di tangan Lena telah membawa sebuah piring kertas berwarna emas berisi kue pastel dan kroket kentang. Ia seketika teringat saat Maya dan Ibunya sibuk membahas menu hidangan yang akan disajikan di pesta pernikahan adik Maya itu. Suatu pernikahan yang ternyata melibatkan semua dari anggota keluarga Vera. Dan, prosesi-prosesi itu. semua menyentuh kedalaman hati Lena.

Tidak seharusnya suatu pernikahan yang telah mendapat restu dari banyak orang, dihadiri banyak pihak yang ikut mendoakan, ternoda pada suatu celah waktu di kemudian harinya. Menurut Lena, akan sangat menyakitkan apabila kerusakan dari sebuah rumah tangga disebabkan bukan dari kekacauan yang ditimbulkan sendiri dari pasangan itu. Lena sendiri tidak menginginkannya terjadi pada kehidupannya. Ia juga menganggap bahwa apabila pengacaunya itu adalah orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang bagaimana terbentuknya mahligai mereka sebelumnya, orang itu harus kembali memperdalam pengetahuannya tentang tata krama.

Ia mengangguk, menoleh ke Maya dan tersenyum untuknya. “Memang, ini terlihat enak,” Lena mengambil garpu plastik kecil dan meremukkan kroket kentangnya. “Kucoba, ya,” ia mulai menyantap sepotong kecil kudapan itu, dan merasakannya sungguh-sungguh. “Hm, memang enak, Maya, pilihanmu tidak salah.”

“Apa kubilang,” Maya tertawa. Ia ikut memotong kroket kentang, dan menikmatinya. “Oya, kamu ada acara tidak besok malam?” tanyanya. “Aku ingin mengajakmu nonton bioskop.”

“Aku sepertimu, Maya,” Lena kembali menyantap sepotong kroket. “Waktuku sangat banyak.”

Lena menggunakan busway untuk pulang setelah dari pesta Vera. Dari halte terdekat, ia berjalan menuju rumah kontrakannya. Saat itu udara tidak panas tetapi terasa kering. Daun-daun berwarna kuning terjatuh dari pohon-pohon di pinggir jalan. Tiba-tiba, ia merasakan ponselnya bergetar di dalam tas tangan yang ia bawa.

Lena lebih menepi ke pinggir dan membuka tasnya. Ia mengambil ponselnya dan melihat nomor yang sangat ia kenal. Nomor Indra.

“Lena,” terdengar suara Indra di antara riuhnya suara-suara orang yang tengah bercakap-cakap begitu ramai. “Kamu dapat mendengar suaraku?”

Lena membayangkan Indra bertelepon di suatu bilik dengan volume suara sangat lirih agar tidak diketahui banyak orang di sekitarnya. “Ya, Indra, tetapi samar-samar.”

“Aku sedang berada di rumah orang tuaku, dan kami sedang mendapat tamu.”

Lena diam mendengarkan. Di sebelahnya berdiri, duduk di trotoar, seorang bapak penjaja tissue yang sedang beristirahat.

“Lena, apakah kamu merindukanku?”

Pertanyaan yang sulit dijawab oleh Lena. Di sisi lain, suara-suara di belakang Indra sangat mengganggu konsentrasinya. Indra mengulangi pertanyaannya. Dan, Lena akhirnya menjawab, “Iya, Indra.” Lena menggigit ujung bibirnya. Ia sesaat memejamkan kedua matanya.

“Besok aku akan kembali ke Jakarta, dan segera menemuimu.”

“Maaf Indra, aku sudah ada janji dengan Maya besok,” Lena membuka mata, menerawang ke atas. Ia melihat arak-arakan awan putih cemerlang dengan semburat-semburat sinar yang terpantul dari matahari di langit biru.

“Kapan aku bisa menemuimu?”

Lena menghembuskan nafas panjang. Ia ingin mulai membangun dinding di hatinya. “Saat kita tidak sengaja bertemu di toko buku nantinya.”

*          *          *

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun