Ia pasrah. Walau hatinya masih menyimpan jutaan umpatan dan kecemasan, akhirnya ia menerima syarat tak lazim itu. Beberapa hari kemudian Rizky mengemasi barang-barangnya menuju sebuah pulau antah berantah yang mungkin tak tercatat di peta resmi.
Butuh dua minggu perjalanan dari ibukota ke pulau itu. Pengalaman ini membuat Rizky makin muak. Setelah memuntahkan beberapa isi perutnya akibat mabuk laut, kapal yang ditumpanginya itu pun sandar di sebuah dermaga kecil yang terbuat dari kayu.
Rizky menapakkan kakinya di atas dermaga itu, masih dalam keadaan mabuk laut. Kepalanya pening. Ia menggenggam erat koper birunya dengan tatapan nanar. Pohon-pohon menjulang tinggi menghadangnya. Beberapa anak kecil tampak bermain riang di sekitar dermaga, sesekali menceburkan diri ke laut dan berenang ke sana ke mari.
"Cari apa pak?" tanya seorang anak laki-laki kecil melihat Rizky yang rada bingung itu.
"Apakah adek tahu di mana letak SD Sinar Harapan Bangsa?"
"Itu sekolah kami satu-satunya pak, satu-satunya sekolah di pulau ini," jawab sang anak antusias, dengan mata berbinar-binar.
"Bapak ini guru ya?" sang anak balik bertanya.
"Kira-kira begitu. Bisakah adek antarkan saya ke sana?"
Sang anak mengangguk pelan, menyanggupi permintaan Rizky. Mereka pun mulai berjalan.
"Itu memang sekolah kami, tapi itu dulu. Sekarang sekolah itu tutup akibat perkelahian antara dua desa di pulau ini."
Rizky tercengang mendengar penuturan anak berumur delapan tahun itu. "Jadi sekolah itu sekarang tidak berfungsi lagi?"