Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Sang Dosen

29 Januari 2023   11:40 Diperbarui: 29 Januari 2023   11:42 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Rizky. Seorang pemuda berperawakan gagah, cerdas, memiliki sorot mata yang jernih dan tegas, berwajah rupawan. Bersama seratus pemuda dan pemudi lainnya mereka membentuk barisan dalam balutan toga hitam sarjana yang hari ini secara resmi mereka kenakan.

Rizky menampilkan senyuman kemenangan yang paling gemilang di hadapan puluhan kamera yang menghujani wajah mereka dengan kilatan yang menyilaukan mata. Ia pantas tersenyum demikian. Dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude (predikat kelulusan terbaik: dengan pujian tertinggi), tentu saja ia sangat bangga dan puas. Setelah acara wisuda yang melelahkan tersebut selesai, ia segera meninggalkan panggung meriah itu, bertolak bersama ayah dan ibunya ke rumahnya.Kepada kedua orangtuanya, Rizky secara mantap mengungkapkan keinginan terdalamnya.

"Saya ingin bekerja sebagai seorang dosen di universitas Prapanca; almamater saya yang tercinta," ujar Rizky saat ditanya mengenai cita-citanya setelah lulus kuliah S3.

Kedua orangtuanya tersenyum lebar, mendukung apa yang dikatakan anaknya itu. Menurut mereka, dengan kecerdasan yang dimiliki  Rizky, ia mampu menjadi pengajar mahasiswa di universitas paling bergengsi di republik ini.

Seminggu kemudian, Rizky dengan penuh keberanian dan rasa percaya diri menemui rektor universitas ibukota.  Rektor tersebut juga merupakan rektor semasa ia masih menjadi mahasiswa. Dengan percaya diri ditampilkannya semua pencapaian gemilang yang tertoreh di atas kertas ijazahnya.

"Rizky," sapa sang profesor berkepala plontos itu dengan senyuman tipis, sambil membenarkan letak kacamatanya. "Kemampuanmu tak perlu diragukan lagi. Kamu memiliki kualifikasi yang memukau untuk menjadi seorang dosen."

Rizky tersenyum lebar, merasa percaya diri bahwa cita-citanya akan tercapai dengan segera.

"Tapi," perkataan sang rektor tertahan sambil memandang serius ke arah Rizky dari balik kacamata tebalnya. "Apa visi yang kau usung dengan melamar menajadi dosen sosiologi di sini?"

Untuk sesaat Rizky memandang ke langit-langit ruangan sang rektor yang putih. Suasana sebegitu heningnya hingga desingan AC terdengar seperti sayatan pisau.

"Apakah itu cukup penting untuk ditanyakan?"

"Tentu saja."

Rizky kembali terdiam dalam pikirannya.

"Saya mencintai universitas ini. Di sinilah saya dibina. Saya merasa terpanggil untuk mengabdi di sini."

"Jawaban yang baik. Tetapi setiap dosen di sini juga menyatakan hal yang sama setiap saat. Apa yang akan membuatmu berbeda?"

"Saya akan memajukan universitas ini. Saya akan menerapkan metode penelitian sosial terkini sehingga para mahasiswa dapat dibekali dengan kemampuan sosiologis yang mumpuni."

Jawaban itu hanya ditanggapi senyuman tipis sang rektor.

"Saya kenal betul siapa kau. Tetapi ada satu hal yang lebih pantas kau kerjakan daripada melamar di sini!" Kata-kata sang rektor menciptakan kerutan di dahi Rizky.

"Jadi saya ditolak?" sambar Rizky tidak sabar. Sang rektor hanya diam sambil menyodorkan sebuah amplop putih kepada Rizky.

"Tentu saja kamu tidak kami tolak. Hanya saja, kamu harus memenuhi beberapa persyaratan yang ada. Bawalah amplop ini ke kepala bagian program penelitian dan pengembangan masyarakat, dan kau akan tahu apa yang harus kau lakukan setelah ini."

Dengan langkah bergegas, Rizky bergerak memasuki ruangan pusat penelitian dan pengembangan masyarakat. Seorang lelaki tua berambut perak yang memakai kacamata berlensa tebal segera menyunggingkan senyuman padanya.

"Mari masuk!" lelaki tua misterius itu berseru antusias dari balik tumpukan kertas yang menggunung di atas mejanya. Dengan langkah pelan, Rizky melangkah perlahan. Lelaki berumur cukup uzur itu langsung tertawa kecil ketika mengenali Rizky.

"Oh, Rizky, silahkan duduk. Ada perlu apa kau ke mari?"

"Begini Pak Kadir, saya ke sini untuk melamar pekerjaan sebagai seorang dosen sosiologi. Pak Rektor memberikan ini kepada Pak Kadir."

Rizky menyerahkan amplop yang dimaksud. Pak Kadir segera membuka dan membaca isinya. Rizky bertanya-tanya dalam batinnya. Apakah lazim bahwa prosedur penerimaan pegawai dosen harus melalui sebuah departemen penelitian. Apanya yang harus diteliti?

"Begini," suara Pak Kadir menghentak Rizky. "Sang rektor bersedia menerimamu menjadi dosen utama di fakultas Sosiologi." Sebuah senyuman merekah di ujung bibir Rizky.

"Hanya saja," perkataan Pak Kadir kembali tertahan. Wajah sumringah Rizky kembali meredup dalam kecemasan.

"Hanya saja kau ditugaskan mengajar selama lima tahun di sebuah Sekolah Dasar di pulau Brea."

Rizky hampir tak memercayai pendengarannya.

"Apa? Mengajar di pulau terpencil? Di sebuah Sekolah Dasar pula?" keluh Rizky dengan kencang.

"Anda menolak persyaratan ini?" tanya Pak Kadir santai, sambil tersenyum tipis.

"Aku harus kembali menemui rektor! Pasti dia salah memberi rekomendasi!" tukas Rizky sengit.

Rizky bergerak cepat ke ruang rektor tanpa mengucapakan permisi pada Pak Kadir. Ia hampir saja tak mendapati pemimpin Universitas Prapanca itu kalau terlambat sedikit saja. Sang rektor baru saja hendak mengunci pintu ruangannya ketika Rizky tiba.

"Apa apaan ini?" seru Rizky dengan nada meninggi, membuat sang rektor sempat terperanjat. Sesaat kemudian dengan tenang pria tua itu memandang Rizky dengan tatapan teduh.

"Lho, saya yang harus menanyakan pertanyaan itu. Mengapa tiba-tiba saja kau lontarkan pekikkan yang aneh seperti itu."

"Pak, saya lulusan terbaik S3 sepanjang sejarah universitas ini. Apakah pantas mengawali karir sebagai dosen dengan mengajari anak-anak Sekolah Dasar? Di pulau terpencil pula?" nada suara Rizky masih tinggi.

Sang rektor kembali menatap teduh tepat pada mata Rizky, sembari menepuk-nepuk pelan pada pangkal lengan kirinya.

"Tentu saja saya tahu hal itu, dan saya sangat bersyukur bahwa kami memiliki orang sepertimu. Kehadiranmu adalah kehormatan bagi kami."

"Lalu mengapa harus di pulau terpencil? Mengapa di Sekolah Dasar pula?"

"Kelak kamu akan mengetahui bahwa itulah kemuliaan tertinggi seorang akademisi."

Setelah mengucapkan kalimat itu, sang rektor pun berlalu. Rizky kembali ke rumahnya dengan penuh kegusaran. Tentu saja ia tak terima. Semua ini dirasakannya bagai penghinaan yang keji. Bagaimana tidak, teman-teman seangkatan yang memiliki predikat nilai kelulusan biasa-biasa saja telah diterima menjadi asisten dosen maupun dosen utama pada beberapa bidang program studi.

Lalu mengapa dirinya, lulusan terbaik sepanjang masa dari Universitas Prapanca, harus mengawali kariranya sebagai dosen dengan ujian aneh yang tak pernah dibayangkannya sendiri?

Rasa-rasanya Rizky ingin mundur saja. Ia hendak melamar pekerjaan pada universitas-universitas lainnya sebagai dosen. Hanya saja cinta dan mimpinya yang telah terpupuk begitu dalam menyatakan bahwa ia harus menjadi dosen, di universitas almamaternya, universitas terbaik di negeri ini, Universitas Prapanca.

***

Ia pasrah. Walau hatinya masih menyimpan jutaan umpatan dan kecemasan, akhirnya ia menerima syarat tak lazim itu. Beberapa hari kemudian Rizky mengemasi barang-barangnya menuju sebuah pulau antah berantah yang mungkin tak tercatat di peta resmi.

Butuh dua minggu perjalanan dari ibukota ke pulau itu. Pengalaman ini membuat Rizky makin muak. Setelah memuntahkan beberapa isi perutnya akibat mabuk laut, kapal yang ditumpanginya itu pun sandar di sebuah dermaga kecil yang terbuat dari kayu.

Rizky menapakkan kakinya di atas dermaga itu, masih dalam keadaan mabuk laut. Kepalanya pening. Ia menggenggam erat koper birunya dengan tatapan nanar. Pohon-pohon menjulang tinggi menghadangnya. Beberapa anak kecil tampak bermain riang di sekitar dermaga, sesekali menceburkan diri ke laut dan berenang ke sana ke mari.

"Cari apa pak?" tanya seorang anak laki-laki kecil melihat Rizky yang rada bingung itu.

"Apakah adek tahu di mana letak SD Sinar Harapan Bangsa?"

"Itu sekolah kami satu-satunya pak, satu-satunya sekolah di pulau ini," jawab sang anak antusias, dengan mata berbinar-binar.

"Bapak ini guru ya?" sang anak balik bertanya.

"Kira-kira begitu. Bisakah adek antarkan saya ke sana?"

Sang anak mengangguk pelan, menyanggupi permintaan Rizky. Mereka pun mulai berjalan.

"Itu memang sekolah kami, tapi itu dulu. Sekarang sekolah itu tutup akibat perkelahian antara dua desa di pulau ini."

Rizky tercengang mendengar penuturan anak berumur delapan tahun itu. "Jadi sekolah itu sekarang tidak berfungsi lagi?"

"Benar. Kami sangat merindukan sekolah itu kembali.

***

Rizky makin tak percaya, Ia merasa dipermainkan. Setelah "dibuang" ke sebuah pulau terpencil, sekarang ia menghadapi sebuah sekolah yang kosong ditinggal penghuninya. Tapi ia tak bisa melampiaskan kemarahannya kali ini. Pulau Brea sangat terpencil dan terisolir. Kapal merapat ke sana hanya sekali dalam dua bulan. Tidak ada tenaga listrik ataupun sinyal telekomunikasi.

Ia telah memasuki dunia yang sama sekali tak diinginkannya. Tapi ia telah terlanjur basah. Ia harus bertindak. Rizky akhirnya memutuskan untuk menemui kedua kepala desa yang bertikai. Desa Alise adalah kampung pertama yang ia tuju. Dengan langkah tegas ia berjalan menuju rumah sang kepala desa. Ketika menemui sang kepala desa, Rizky langsung menawarkan jasanya. Namun jawaban yang ia dapatkan sungguh di luar dugaan...

"Kami tidak butuh sekolah sekarang ini. Kami bisa hidup mandiri dengan hasil perkebunan dan hasil laut kami. Sekolah hanya memisahkan anak-anak dari orang tuanya, membuat mereka malas bekerja," sang kepala Desa Alise menjawab Rizky dengan nada ketus.

"Tapi, bagaimanapun pendidikan itu perlu. Dengan membaca dan berhitung, anak-anak ini bisa mengadakan kontak dengan dunia luar. Pulau ini masih bisa lebih baik dan lebih maju dari sekarang ini!" Rizky mencoba untuk membujuk sang kepada desa.

"Lebih baik kau pergi saja. Kehadiran orang asing sepertimu malah akan membuat perseteruan masyarakat kami semakin parah." 

Jawaban kepala desa Alise yang tak ramah membuat Rizky patah semangat. Ia tak menyangka bahwa sang kepala desa tidak memiliki pandangan yang luas dan bijak mengenai pendidikan. Bagaimanapun ia masih berharap untuk dapat membujuk kepala desa yang lain, kepala desa Belise.

Dari rumah sang kepala desa Alise, ia bergerak menuju rumah kepala desa Belise. Sesampainya di sana, ia langsung menemui sang kepala desa yang sementara duduk santai di beranda rumahnya siang itu. Tanpa membuang waktu lagi, Rizky mengutarakan maksudnya, dengan peratama-tama membujuk sang kepala desa untuk berdamai dengan desa tetangganya.

"Sampai kapan pun kami tidak akan berdamai dengan mereka! Sampai mereka sendiri datang bersujud di sini!" ujar kepala desa Belise dengan nada kemarahan.

"Bagaimana dengan sekolah? Pendidikan di desa ini tidak bisa berjalan tanpa persatuan!" kata Rizky, masih berusaha untuk membujuk sang pemimpin desa.

"Lebih baik orang asing sepertimu pergi saja dari pulau ini. Jangan coba-coba mengurusi masalah di pulau kami!" ujar sang kepala desa dengan nada mengancam.

Jawaban kedua kepala desa itu sangat memukulnya. Mereka sama-sama menolak untuk berdamai dan bahkan juga menolak kehadiran orang luar seperti dirinya untuk ikut campur dalam masalah ini. Ia hampir saja menyerah dan sempat memutuskan untuk kembali ke ibukota dengan kapal pertama satu bulan ke depan, sebelum uang dan bekalnya habis.

Ketika ia sedang mempertimbangkan hal itu di gubuknya, terjadilah suatu pertemuan yang akan mengubah semuanya...

"Apa yang kau pikirkan anak muda?" suara seorang pria berjenggot tipis abu-abu mengagetkan Rizky.

"Siapa kau?" Tanya Rizky dengan penuh kewaspadaan.

"Tenang. Aku dan kau adalah akademisi yang ditugaskan universitasmu untuk mengajar di sekolah itu. Aku dulu adalah seorang guru di sekolah itu. Mungkin kita bisa bekerja sama." Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Rizky hendak berjabat tangan. Rizky menaruh sikap curiga dan mengabaikan uluran tangan itu.

"Sejujurnya aku senang kau datang. Namaku Prof. Dr. Geraldo Susanto, seorang peneliti bidang sosio-antropologi." Pernyataan orang misterius ini membuat Rizky terperanjat.

"Seorang akademisi tingkat tinggi mengajar di sebuah Sekolah Dasar? Di pulau terpencil pula?"

"Perlu kuperjelas, aku bukan cuma pengajar di sekolah itu, tetapi pendiri sekaligus pengelolanya. Lagipula jangan pernah berpikir bahwa seorang berpendidikan tertinggi harus berada di universitas-universitas ternama, berkacak pinggang sambil menerima hormat dan kekayaan. Seorang akademisi sejati harusnya menjadi agen pembangun peradaban masyarakat."

Rizky tersenyum mendengar penuturan lelaki yang mendaku diri sebagai professor itu. "Apa saja yang telah kau lakukan di pulau ini untuk membangun peradabannya?" tanya Rizky.

"Tidak banyak. Hanya membantu mereka menemukan kekayaan masyarakat mereka sendiri. Sekolah itu adalah salah satu cara yang terbaik. Tapi sayang, perseteruan antar desa demi tanah dan kekayaan lainnya justru telah menyeret mereka ke dalam kemiskinan dalam segala dimensi. Aku telah gagal anak muda. Apa yang telah kumulai tidak dapat kuselesaikan. Semuanya mogok di tengah jalan."

Rizky makin teduh mendengar penuturan lelaki yang baru dikenalinya itu. Mata hatinya mulai terbuka. Ia merasakan suatu empati yang mendalam.

"Apakah anda sudah menyerah? Ataukah ada rencana baru yang hendak kau laksanakan?" tanya Rizky lagi.

            "Aku hampir saja putus asa dan ingin pulang. Tetapi kedatangamu membawa suatu harapan. Mungkin kita bisa menghidupkan sekolah ini kembali," kata sang profesor sambil menatap penuh harapan kepada Rizky.

Untuk beberapa saat Rizky berpikir keras. Ternyata dia tidak sendiri. Ada orang lain yang seperti dirinya, seorang akademisi yang berjuang di tengah-tengah masyarakat demi memajukan taraf hidup mereka.

"Aku terima tantangan ini!" kata Rizky mantap. Akhirnya ia melepaskan rasa curiganya sambil tersenyum serta menjabat erat tangan lelaki yang mendaku sebagai profesor itu.

***

Satu minggu berlalu sejak pertemuan itu dan mereka mulai bergerak. Tetapi apa yang mereka rencanakan tak semudah kenyataannya.

Tidak ada orang lain yang mau membantu mereka untuk mendirikan kembali gedung sekolah yang telah reot itu. Beberapa orang bahkan melempari dan mengejek mereka. Namun mereka akhirnya bisa menyelesaikan bangunan itu juga meski pekerjaan mereka berlangsung sulit.

Setelah bangunan sekolah selesai, ternyata tidak dengan sendirinya mereka mendapatkan murid. Walaupun mereka telah berjuang mengajak warga untuk belajar lagi, tidak ada tanggapan yang serius. Apalagi akibat perseteruan yang terjadi antara dua kampung yang ada, setiap orang saling mencurigai yang lain.

"Aku menyerah profesor. Kita pulang saja. Tidak ada yang bisa kita harapkan dari semua ini! Mereka tidak pernah menganggap kita ada. Kita tidak akan pernah bisa mengajarkan apa-apa lagi kepada mereka," kata Rizky ketus.

"Kau telah menyerah setelah kita mulai mengatasi kesulitan-kesulitan besar dalam membangun gedung sekolah itu? Sungguh suatu kesia-siaan. Jangan patah semangat. Setiap pengorbanan ada nilainya." Perkataan itu membuat Rizky terhenyak. Perkataan itu baru saja menyadarkan Rizky betapa sudah sedemikian jauh mereka melangkah dan berkorban untuk tanah itu. Jika mereka mundur, mereka mengkhianati usaha keras mereka sendiri selama ini.

***

Konflik yang ada di kedua desa itu masih berlarut-larut. Dan usaha mereka berdua hampir saja gagal karena keberadaan mereka belum juga diterima oleh masyarakat. Bagaimanapun, mereka berusaha bertahan di pulau tersebut, hingga pada suatu saat semuanya berubah...

Wabah malaria dan cacar menyerang pulau itu. Semua warga panik tak tahu hendak melakukan apa. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang yang meninggal sudah lebih dari sepuluh orang. Para tua-tua adat serta para tabib tak mampu menyembuhkan korban yang ada. Bahkan karena penyakit-penyakit itu sangat menular dan cepat menyebar, orang mulai menjauhi satu sama lain. Bahkan orang terdekat mereka. Mereka yang sakit disingkirkan dari kampung dan dibiarkan sendirian. Kebanyakan dari mereka yang ditinggalkan itu tidak selamat. Hampir semuanya mati.

 Saat semua warga nampak putus asa, kedua orang itu malah melihat suatu harapan. "Ini adalah saat meyakinkan bagi kita untuk menawarkan jasa," kata sang profesor berapi-api.

"Tetapi bagaimana caranya?" tanya Rizky dengan nada agak pesimis.

"Kita akan membantu mereka keluar dari wabah ini. Kita harus memesan obat-obatan dari kota dan menawarkan jasa kepada mereka."

"Ide yang bagus!"

Ide itu pun dilaksanakan segera. Setelah memesan banyak jenis obat-obatan, Rizky dan profesor mendatangi kepala desa Alise untuk menawarkan bantuan. Tidak seperti sebelumnya, kini sang kepala desa telah meninggalkan sifat arogannya. Ia malah mengiba memohon bantuan kedua orang itu.

"Kebetulan sekali puteri sulung saya sedang menderita demam tinggi. Saya sangat khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada dirinya," kata sang kepala desa dengan wajah memelas."

"Baiklah kami akan membantumu, dan juga seluruh warga desa. Tetapi ada syaratnya," tukas Rizky.

"Apa syaratmu anak muda?"

"Kami akan kembali membangun SD Sinar Harapan, dan kau harus memperbolehkan kami untuk mendidik anak-anak desa ini yang berumur 6-12 tahun di sekolah kami. Bagaimana?"

Untuk beberapa saat sang kepala desa berpikir keras.

"Tapi anak-anak muda ada untuk membantu para orang-tua di kebun dan di laut!" sergah sang kepala desa dalam nada kecemasan.

"Terseralah, kepala desa. Ini demi kebaikanmu juga. Selayaknya para anak muda seumuran itu wajib untuk dididik dan bukan diperas untuk bekerja. Percayalah, dari generasi merekalah nasib pulau ini akan berubah. Percayakan mereka kepada kami dan mereka akan kami bentuk menjadi harapan baru pulau Brea," tukas sang profesor.

"Baiklah. Aku akan memberikan izin, tetapi kalian harus berhasil mengobati semua pendudukku yang terkena wabah. Jika tidak, kalian yang harus angkat kaki dari desa ini, dan dari pulau ini!" ujar sang kepala desa balas mengancam.

***

Dalam dua minggu kedua orang ini bekerja keras dan menimbulkan efek yang luar biasa. Selain telah mampu menyembuhkan para warga, mereka pelan-pelan juga memberikan berbagai penyuluhan tentang sanitasi dan cara bertani yang baik. Dalam berbagai kesempatan, mereka menyelipkan berbagai pengetahuan tentang geografi, dan ilmu sosial kewarganegaraan.

Hasilnya, banyak orang yang tertarik untuk belajar membaca, menulis dan berhitung dari semua kalangan. Waktu diatur sedemikian rupa sehingga sekolah dapat berlangsung tanpa mengganggu aktifitas warga. Mereka diberi keterampilan berbahasa dan menghitung. Mereka yang telah mampu membaca diberikan banyak buku lagi untuk dipelajari. Kini, mereka mulai diterima di tengah kalangan masyarakat pulau itu. Kedua orang itu dipanggil "sang guru."

"Sepertinya kita telah dihinggapi oleh keberuntungan," ujar Rizky pada sang professor siang itu di gubug mereka.

"Ya. Itu semua adalah buah dari keteguhan hati kita. Di Desa Belise, jumlah pelajar meningkat terus-menerus sehingga kepala desa mereka bahkan memintaku untuk mengadakan les tambahan pada malam hari di alun-alun desa, walaupun hanya diterangi nyala lilin dan lampu minyak."

"Ya. Aku baru saja memikirkan bahwa suatu sistem penerangan dibutuhkan pada saat ini."

"Itu benar Rizky, masalahnya kita membutuhkan dana besar untuk membeli satu set generator."

"Jangan khawatir. Kita tidak membutuhkan generator. Kau ingat tentang baterai pertama buatan Volta?"

 Sang profesor menyernyitkan dahi, "apa maksudmu?"

"Alesandro Volta menggunakan tumpukan berselang-seling antara logam seng dan tembaga, di mana di antara susunan itu, ia  menyisipkan semacam kapas yang diberi larutan asam. Dengan cara itu, ia berhasil menghasilkan listrik secara konstan untuk pertama kali. Aku yakin, hanya dengan sedikit modifikasi kita bisa mendapatkan baterai untuk menerangi desa ini. Kini kita bisa mengganti cairan asam itu dengan air laut. Tentu saja kita membutuhkan wadah dan sistem lebih besar."

"Tapi apakah itu cukup untuk menerangi seluruh desa?"

Pertanyaan sang profesor membuat Rizky tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala.

"Tidak. Saya sedang berpikir untuk menerangi tempat-tempat umum seperti balai desa dan alun-alun. Jika ini berhasil, maka proyek ini bisa juga diterapkan di setiap rumah secara mandiri."

Sang profesor mengangguk seolah paham benar dengan apa yang dikatakan Rizky. Untuk kesekian kalinya, Rizky kembali memesan perlengkapan dari ibukota. Kali ini untuk proyek kelistrikannya itu. Dengan kesabaran dan kepiawaiannya, ia berhasil membangun semacam keramba yang mengapung di laut, tak jauh dari pantai, namun tak terlalu terpengaruh oleh pasang surut air laut. Di dalam keramba itu, ia mencelupkan puluhan elemen logam yang terdiri dari seng dan tembaga. Listrik yang dihasilkan akan disimpan. Perangkat sederhana ini telah menghasilkan listrik yang cukup untuk menerangi lampu LED di lapangan desa dan balai desa. Masyarakat bersukacita dan berbahagia atas penerangan ini.

Sejak saat itu, alun-alun menjadi lebih ramai dengan berbagai kegiatan seperti pembelajaran di malam hari, rekreasi, bahkan pertandingan olahraga pada malam hari. Cahaya telah bersinar di tengah-tengah pulau Brea.

Kini pulau Brea telah siap berkembang menjadi masyarakat yang maju. Sejak serangkaian program dan kegiatan kedua pendidik ini dilaksanakan dengan sabar, saat itu pula anak-anak warga mulai mengetahui tentang dunia luar dan tidak kaku dalam interaksi dengan para pendatang. Mereka mampu menjual hasil tani maupun hasil hasil laut mereka kepada para pedagang yang datang ke pulau itu secara lebih cermat dan bijak. Warga pun mulai mengenal perdagangan. Beberapa anak ikut disekolahkan lanjut ke luar daerah.

***

Lima tahun telah berlalu dan muncullah sebuah kota tingkat kecamatan di pulau Brea, yang diberi nama kota ALBEL, kesatuan dari nama desa Alise dan Belise. Sekarang, bukan saja pertokoan yang mulai bermunculan, tetapi pasar bahkan beberapa motel dan sebuah bank.

Suatu hari, lima tahun sejak Rizky ditugaskan sebagai pengajar di Kepulauan Brea oleh universitasnya seorang tamu yang tampak tak asing lagi mendatangi rumahnya.

"Masih kenal padaku?" tanya seorang lelaki tua bungkuk mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Rizky. Sejenak ia berusaha mengenal lelaki asing itu. Nampaknya telah begitu familiar...

"Anda siapa?"

"Anda tidak mengenal saya? Sungguh keterlaluan!" tukas orang tua itu ketus sambil terbatuk pelan. Rizky mengernyitkan dahi sambil mengerahkan seluruh ingatannya. Sesaat kemudian wajahnya berubah berseri. Akhirnya ia mengenali orang di hadapannya itu.

"Oh! Profesor! Apa kabar pak?" sapa Rizky bersemangat sambil menjabat erat tangan sang rektor Universitas Prapanca itu.

"Lima tahun lalu aku tiba di sini untuk mengadakan pengamatan lapangan dan sempat menganggap bahwa ini adalah pulau orang-orang zaman purba. Tetapi apa yang kutemui sekarang ini adalah sebuah masyarakat yang maju dan madani. Sungguh suatu mukjizat."

Rizky hanya terdiam menatap sang rektor.

"Apakah kau ingat sesuatu yang kau minta lima tahun lalu?" sang rektor kembali bertanya.

"Ya. Saat itu aku meminta untuk menjadi seorang dosen di sebuah universitas yang sangat kukagumi, universitas terbaik di republik ini. Cita-cita yang selalu kuimpikan."

"Apakah hari ini kau bersedia mewujudkan impianmu itu?"

"Maksudmu kembali ke sana, dan menjadi dosen sosiologi?"

"Ya. Tentu saja. Sesuai perjanjian, kami datang untuk menjemputmu dan segera mewujudkan impianmu itu!"

Rizky menatap serius kepada sang rektor beberapa saat, kemudian menarik nafas dalam-dalam.

"Sesungguhnya jebakan yang kalian berikan sungguh memuliakan jalan hidupku. Apa yang dulu begitu kubenci kini telah begitu kucintai. Ya, aku akan tetap di sini apapun yang terjadi. Aku bahagia dan puas menjadi seorang camat di pulau kecil seperti ini, sebuah pulau yang kubangun atas kerja keras dan pengetahuanku sebagai doktor sosiologi terbaik di universitasku. Kini aku sadar akan maksud kalian. Aku kini menyadari bahwa tugas sesungguhnya dari seorang akademisi yang unggul adalah membangun sebuah peradaban di tengah masyarakat."

Jawaban Rizky membuat sang rektor beserta rombongannya terdiam sejenak.

"Apakah kau mengira bahwa kami bermaksud sungguh-sungguh membawamu pergi dari sini?" kata sang rektor sambil tertawa terbahak-bahak. "Kami datang ke sini justru untuk merayakan keberhasilanmu selama lima tahun ini. Dengan semua pencapaianmu selama ini untuk pulau Brea, kami dapat berkata bahwa sesungguhnya kau adalah karya terbaik universitas kami."

"Itu memang benar!" pekikan dari arah belakang itu mengejutkan Rizky. Suara yang telah begitu dikenalinya.

"Profesor  Susanto?"

"Ya. Aku akan jujur menuturkan hal yang mungkin tidak kau senangi, karena kau akan merasa ditipu. Yang pertama, aku bukanlah akademisi tingkat tinggi. Aku bukan seorang profesor doktor. Sesungguhnya aku hanya seorang guru biasa, seorang guru tingkat SMA. Namun Sesungguhnya akulah pengawasmu selama ini. Aku selalu memberitahukan perkembanganmu kepada para akademisi di ibukota. Syukurlah mereka selalu mau membantu kita selama ini dalam hal logistik dan infrastruktur yang kita butuhkan. Dan aku telah memberi kesaksian di depan para akademisi ini bahwa memang benar bahwa kaulah karya tertinggi Universitas Prapanca."

Mendengar itu Rizky terkesima sekaligus terharu. Sontak matanya memerah basah. Semuanya kini tersenyum dan larut dalam perasaan bahagia. Rizky dan Susanto menjabat sebagai camat dan wakil camat selama tiga periode berturut-turut. Pada periode berikutnya, sebenarnya seluruh pulau itu dengan bulat masih menginginkan kiprah mereka. Namun dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan, mereka menolak jabatan itu dan memberikannya kepada calon lain, yang berasal dari orang-orang yang mereka didik selama ini.

Kini mereka berdua akan tetap di sana, di pulau Brea sebagai seorang pengajar rakyat di pulau yang dulu sempat dianggapnya pulau aneh yang primitif. 

                                                                                                Timika-Manado, Februari 2017. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun