***
Konflik yang ada di kedua desa itu masih berlarut-larut. Dan usaha mereka berdua hampir saja gagal karena keberadaan mereka belum juga diterima oleh masyarakat. Bagaimanapun, mereka berusaha bertahan di pulau tersebut, hingga pada suatu saat semuanya berubah...
Wabah malaria dan cacar menyerang pulau itu. Semua warga panik tak tahu hendak melakukan apa. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang yang meninggal sudah lebih dari sepuluh orang. Para tua-tua adat serta para tabib tak mampu menyembuhkan korban yang ada. Bahkan karena penyakit-penyakit itu sangat menular dan cepat menyebar, orang mulai menjauhi satu sama lain. Bahkan orang terdekat mereka. Mereka yang sakit disingkirkan dari kampung dan dibiarkan sendirian. Kebanyakan dari mereka yang ditinggalkan itu tidak selamat. Hampir semuanya mati.
 Saat semua warga nampak putus asa, kedua orang itu malah melihat suatu harapan. "Ini adalah saat meyakinkan bagi kita untuk menawarkan jasa," kata sang profesor berapi-api.
"Tetapi bagaimana caranya?" tanya Rizky dengan nada agak pesimis.
"Kita akan membantu mereka keluar dari wabah ini. Kita harus memesan obat-obatan dari kota dan menawarkan jasa kepada mereka."
"Ide yang bagus!"
Ide itu pun dilaksanakan segera. Setelah memesan banyak jenis obat-obatan, Rizky dan profesor mendatangi kepala desa Alise untuk menawarkan bantuan. Tidak seperti sebelumnya, kini sang kepala desa telah meninggalkan sifat arogannya. Ia malah mengiba memohon bantuan kedua orang itu.
"Kebetulan sekali puteri sulung saya sedang menderita demam tinggi. Saya sangat khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada dirinya," kata sang kepala desa dengan wajah memelas."
"Baiklah kami akan membantumu, dan juga seluruh warga desa. Tetapi ada syaratnya," tukas Rizky.
"Apa syaratmu anak muda?"