"Apa apaan ini?" seru Rizky dengan nada meninggi, membuat sang rektor sempat terperanjat. Sesaat kemudian dengan tenang pria tua itu memandang Rizky dengan tatapan teduh.
"Lho, saya yang harus menanyakan pertanyaan itu. Mengapa tiba-tiba saja kau lontarkan pekikkan yang aneh seperti itu."
"Pak, saya lulusan terbaik S3 sepanjang sejarah universitas ini. Apakah pantas mengawali karir sebagai dosen dengan mengajari anak-anak Sekolah Dasar? Di pulau terpencil pula?" nada suara Rizky masih tinggi.
Sang rektor kembali menatap teduh tepat pada mata Rizky, sembari menepuk-nepuk pelan pada pangkal lengan kirinya.
"Tentu saja saya tahu hal itu, dan saya sangat bersyukur bahwa kami memiliki orang sepertimu. Kehadiranmu adalah kehormatan bagi kami."
"Lalu mengapa harus di pulau terpencil? Mengapa di Sekolah Dasar pula?"
"Kelak kamu akan mengetahui bahwa itulah kemuliaan tertinggi seorang akademisi."
Setelah mengucapkan kalimat itu, sang rektor pun berlalu. Rizky kembali ke rumahnya dengan penuh kegusaran. Tentu saja ia tak terima. Semua ini dirasakannya bagai penghinaan yang keji. Bagaimana tidak, teman-teman seangkatan yang memiliki predikat nilai kelulusan biasa-biasa saja telah diterima menjadi asisten dosen maupun dosen utama pada beberapa bidang program studi.
Lalu mengapa dirinya, lulusan terbaik sepanjang masa dari Universitas Prapanca, harus mengawali kariranya sebagai dosen dengan ujian aneh yang tak pernah dibayangkannya sendiri?
Rasa-rasanya Rizky ingin mundur saja. Ia hendak melamar pekerjaan pada universitas-universitas lainnya sebagai dosen. Hanya saja cinta dan mimpinya yang telah terpupuk begitu dalam menyatakan bahwa ia harus menjadi dosen, di universitas almamaternya, universitas terbaik di negeri ini, Universitas Prapanca.
***