Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air dan Api, Idu Geni

19 Maret 2019   05:31 Diperbarui: 19 Maret 2019   05:52 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bab XV-2

Bab XV-3 (Terakhir)

Arya Dahana melangkah maju dan duduk kembali di sebelah Dewi Mulia Ratri.  Mengangkat dan mendorong dengan lembut agar gadis ini duduk bersila.  Diraihnya ujung bawah jubah Dewi Mulia Ratri.  Diangkatnya ke atas tanpa membukanya.  Arya Dahana sendiri mengambil posisi bersila di depan Dewi Mulia Ratri.  Ditempelkannya kedua belah telapak tangan ke dada Dewi Mulia Ratri yang terbuka.

Dewi Mulia Ratri memekik kecil menahan rasa malu yang teramat sangat.  Namun gadis ini terdiam saat dari kedua belah telapak tangan pemuda itu mengalir hawa dingin luar biasa.  Gigi gadis ini gelemeletukan menahan dingin.  Mengherankan! Begitu hawa dingin itu mulai merasuk ke dadanya yang sakit,  berganti menjadi hangat bukan main.  Hawa hangat itu berputar putar di dada yang tadi sakit sekali.

Perlahan namun pasti, Dewi Mulia Ratri mulai merasakan berkurangnya rasa sakit di tubuhnya, berbarengan dengan menipisnya perasaan malu yang luar biasa tadi.  Hanya perasaan nyaman yang melingkupi seluruh hatinya.  Dilihatnya pemuda di hadapannya betul-betul memusatkan perhatian pada pengobatan.  Matanya terpejam.  Keringat sebesar biji-biji kelereng mengalir pelan-pelan di kening dan lehernya. 

Dewi Mulia Ratri semakin merasakan rasa nyaman di dadanya.  Gadis ini membuka matanya lebar-lebar.  Dia ingin tahu apakah pemuda di depannya ini memanfaatkan kesempatan dengan membuka mata dan mencuri lihat kemolekan tubuhnya.  Namun pemuda ini sama sekali tak bergeming dari terpejamnya.  Bahkan keringat yang mengaliri Arya Dahana makin deras saja.

Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak menyadari bahwa Arya Dahana keringatan begitu deras karena menahan perasaan berlawanan yang menghimpitnya.  Di dalam hati pemuda itu, bergumul antara dinginnya hawa murni yang terus dialirkannya, dengan hangat tangannya di dada gadis cantik itu.  Oleh karena itu dia memilih untuk menutup matanya agar tidak terganggu pemandangan molek dan langka yang pasti akan menyedot tatapan matanya, sehingga konsentrasinya akan buyar seketika untuk mengobati.

Beberapa jeda berlalu.  Dewi Mulia Ratri sudah merasa jauh membaik sekarang.  Gadis ini masih mengawasi Arya Dahana yang belum melepaskan telapak tangan di dadanya.  Dia sedikit terheran.  Seharusnya Arya Dahana menyudahi pengobatannya.  Namun kemudian berbalik menjadi kasihan. Pemuda ini mandi keringat.  Tubuh dan bajunya basah kuyup dan gemetaran.  Ah, dia pasti kelelahan sangat telah mengerahkan tenaganya untuk mengobatiku.  Pikir Dewi Mulia Ratri jatuh iba.

Karena sekarang dia tidak merasakan sakit lagi di dadanya, dengan lembut dipegangnya tangan pemuda ini lalu di lepaskannya dari dadanya.  Gadis ini heran, meskipun tangan itu telah dilepaskannya, namun Arya Dahana tetap menutup matanya masih dengan tubuh gemetaran.

Dewi Mulia Ratri menjadi cemas.  Tanpa pikir panjang, sampai-sampai lupa untuk mencari penutup dadanya, gadis ini mengusap keringat Arya Dahana dengan lembut.  Dihelanya rambut yang berjuntai menutupi mata yang tertutup rapat itu.  Dewi Mulia Ratri terperanjat.  Tubuh pemuda itu terasa sangat panas ketika tadi dia sempat menyentuh keningnya. Dan mata itu, masih saja tertutup dengan rapat!

Rasa hangat mengaliri wajah Dewi Mulia Ratri.  Lalu turun mengaliri sekujur tubuhnya.  Ih aneh sekali.  Tadi rasa yang ini tidak muncul saat tangan pemuda itu di dadanya.  Tapi sekarang?  Ini menjalarinya dengan sangat hebat.  Dia merindukan sentuhan lembut dan gemetar itu lagi!  Pikiran ini kontan membuat pipi Dewi Mulia Ratri memerah seperti saga.  Dicobanya menepis pikiran itu dengan mengatur nafas dan memejamkan mata. 

Dalam hening dan lamunannya, Dewi Mulia Ratri merasakan ada sepasang tangan lembut merengkuh dan mendekapnya dengan hangat.  Kemudian membelai halus rambutnya.  Aahhh...ini lamunan terbaik yang pernah menghinggapinya.  Aku tidak akan membuka mata. 

Dirasakannya sebuah bibir mencium keningnya dengan sangat lembut, lalu pipinya, kanan dan kiri.  Lalu telinganya kanan dan kiri.  Hembusan nafas itu membuat badannya menggigil seperti terserang sakit parah.  Dewi Mulia Ratri merasakan otot-otot di tubuhnya menjadi lemas.  Gadis ini menarik nafas panjang mencoba memulihkan keanehan ini.  Belum juga setengah dia membuka mulutnya untuk mengambil udara, mulutnya ditutupi oleh sebuah ciuman yang luar biasa hangat dan bergelora.  Dewi Mulia Ratri megap-megap tapi tidak mau melepaskan ciuman itu. 

Ini ajaib! Baru kali ini lamunanku seperti benar-benar menyentuh semua anggota badanku.  Membuatnya merinding tidak karuan.  Aku tidak akan memutus lamunanku.  Ini membuatku sangat bahagia.  Dewi Mulia Ratri merasa tubuhnya bergetar hebat.  Dia membalas dekapan itu tidak kalah hangat.  Apalagi saat bibir panas yang menempel di bibirnya mencium dengan sepenuh hati.  Duuuhh, aku tidak mau ini berhenti. 

Arya Dahana yang sedari tadi sudah tidak bisa mengendalikan diri karena dorongan hati yang luar biasa, semakin erat memeluk dan mendekap tubuh Dewi Mulia Ratri.  Ciuman yang dilakukannya semakin membara.  Apalagi gadis ini membalasnya dengan tidak kalah menyala.  Biarlah, jika nantinya ada tamparan hinggap di pipinya, itu urusan nanti.  Dia hanya ingin menikmati saat saat yang mendebarkan ini selama mungkin.

Saat dua anak manusia itu saling berpagut mesra, angin terasa melambat di dalam kamar.  Gerah dan panas tak tertahankan.  Bahkan saat baju Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri melayang jatuh ke lantai saja, menimbulkan suara ibarat gempa.  Tapi pemuda dan pemudi ini sepertinya tidak peduli. Rasa cinta dan sayang bergelung dengan rindu yang berapi api. 

Ketika semuanya nampak tidak terkendali lagi, tiba tiba sepercik kilatan dari langit menggugah bumi.  Disusul kemudian dengan suara halilintar memekakkan telinga menyatroni Bantar Muncang.  Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri tersentak kaget.  Keduanya membuka mata dengan segera. Menyadari dirinya hanya tinggal mengenakan baju dalam bagian bawah, Dewi Mulia Ratri menjerit tertahan.  Buru buru disambarnya tumpukan pakaiannya di lantai, dikenakannya dengan tergesa gesa.  Setelah itu gadis ini menatap tajam Arya Dahana yang juga sibuk mengenakan pakaian atasnya.

"Kau...kau...Dahana...kau..kau berani hendak menodaiku?"

"plaak...plaak...plaak...!"

Tangan Dewi Mulia Ratri bertubi tubi singgah di pipi Arya Dahana.  Pemuda ini tidak berusaha menghindar ataupun menangkis.  Ini sudah diduganya sedari awal.  Dia harus terima resikonya.

Melihat Arya Dahana hanya diam saja menerima tamparannya yang berulang kali, Dewi Mulia Ratri menghentikan tamparannya. 

"Hayo...tangkis pukulanku Dahana!  Atau kau mau jadi seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatanmu, heh?!"

Arya Dahana tidak menjawab.  Dia kebingungan harus menjawab apa.  Memang salahnya.  Dia terbawa dorongan hati yang luar biasa besar tadi. Bersentuhan sangat lama dengan bagian pribadi pujaan hati.  Ditunjang juga dengan kehangatan perhatian yang diberikan Dewi Mulia Ratri, membuatnya nekad.  Pemuda ini hanya mengucap syukur bahwa tindakannya tadi belum terlalu jauh.  Tapi setidaknya dia tahu bahwa bibir gadis itu hangat dan manis sekali.  Waduh! Kenapa dia berpikir itu lagi?

Keadaan menjadi kikuk sekarang.  Arya Dahana kelimpungan.  Dewi Mulia Ratri kebingungan.  Keduanya berdiri mematung berhadapan.  Saat kedua mata tanpa sengaja bersirobok, keduanya langsung sama sama membuang.  Arya Dahana tidak tahan untuk tidak membuka percakapan.

"Ratri, aku..aku tidak bermaksud untuk membuatmu terluka.  Aku minta maaf.  Aku tidak bisa menahan diri.  Aku....sebenarnya aku...."

Belum selesai ucapan pemuda itu, terdengar ketukan keras di pintu kamar.  Buru buru Arya Dahana berjalan untuk membuka pintu.  Pemuda ini lega akhirnya ada sesuatu untuk memecah suasana yang sangat gawat baginya ini.

Sebelum sampai ke pintu, Dewi Mulia Ratri menggerakkan tubuhnya. Tangannya memegang tangan Arya Dahana dengan mesra.  Menarik kepalanya dan berbisik lirih di telinga pemuda itu.

"Kau harus berjanji menyelesaikan ucapanmu yang belum selesai tadi ya?"

Arya Dahana mengangguk pelan sembari tersenyum tak kalah mesra.  Memberanikan diri memberikan kecupan kecil di pipi gadis yang tadi marah marah ini.  Lalu membuka pintu.

Di hadapan mereka berdiri Bimala Calya dan Ardi Brata.  Di belakangnya terlihat Panglima Baladewa bersedekap dengan raut muka cemas.

Bimala Calya membuka percakapan dengan suara sedikit bergetar.

"Dewi, Arya, ada laporan dari para penjaga bahwa benteng ini sedang dalam pengepungan berat.  Mereka akan berusaha menyerang benteng ini saat fajar tiba kami rasa." 

Panglima Baladewa menimpali dengan cepat.

"Pasukan Lawa Agung menerapkan perangkap laba-laba.  Bahkan telik sandi yang aku coba kirimkan, tidak bisa keluar dari benteng untuk meminta bantuan dari Ibukota Galuh Pakuan."

Dewi Mulia Ratri saling berpandangan dengan Arya Dahana.  Ini seperti perang Bubat kedua bagi Galuh Pakuan.  Kekuatan yang sama sekali tidak berimbang.  Jika tidak ada bala bantuan datang.  Bisa-bisa di sore hari, benteng ini akan menjadi tumpukan arang. 

"Panglima, apakah ada perkembangan mengenai seberapa besar kekuatan musuh?  Apakah ada penambahan kekuatan atau masih sama seperti kemarin.  Aku tidak bisa leluasa mengerahkan pasukan gaib karena mereka mempunyai Nini Cucara dan panglima dari Laut Selatan itu.  Mereka pasti mengincarku.  Aku akan cukup sibuk sehingga tidak bisa mengendalikan pasukan gaib itu."

Panglima Baladewa menghela nafas panjang. 

"Yang aku dengar kekuatan mereka justru bertambah.  Ada beberapa tokoh sakti dunia persilatan dari timur yang bergabung dengan mereka.  Mereka baru datang malam ini.  Aku belum tahu siapa saja.  Anak buahku sedang menyelidikinya."

Kali ini, semua orang saling pandang.  Sepertinya semua sadar bahwa situasi sedang tidak memihak mereka.  Mereka benar-benar memerlukan bala bantuan prajurit dan juga tokoh tokoh Galuh Pakuan. 

Saat mereka masih berbincang-bincang mengatur siasat menghadapi perang habis-habisan besok pagi, tiba tiba muncul seorang penjaga yang datang dengan tergesa-gesa.  Di belakangnya nampak seseorang berbaju hitam hitam yang terlihat kusut dan lelah.  Setelah memberikan hormat kepada Panglima Baladewa dan mengangguk takzim kepada yang lain, laki-laki itu melapor dengan suara tegas.

"Panglima, saya berhasil mendapatkan keterangan utuh siapa saja bala bantuan yang datang membantu Lawa Agung.  Ada tiga orang dari timur yang tiba malam ini.  Mereka disebut-sebut berasal dari Persekutuan  Pesisir Gugat.  Putri Anjani, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni.  Ketiga orang itu malam ini telah bertemu dengan Panglima Kelelawar.  Demikian yang bisa saya laporkan panglima."

Semua yang ada di ruangan itu terbelalak hebat.  Ini lebih dari gawat.  Mereka tidak terlalu mengenal Mahesa Agni, tapi nama Datuk Rajo Bumi tentu saja membuat gentar.  Putri Anjani tentu sangatlah mereka kenal.  Pimpinan Garda Kujang Elang yang kini menjadi ketua Persekutuan Pesisir Gugat. 

Dewi Mulia Ratri saling bertatapan dengan Panglima Baladewa.  Keduanya sepakat bahwa pertempuran esok hari adalah pertempuran antara liliput melawan raksasa.  Benteng Bantar Muncang pasti akan jatuh.  Keajaiban apalagi yang bisa menyelamatkan mereka kali ini?

Meskipun sadar bahwa ini akan menjadi sebuah puputan, Panglima Baladewa sama sekali tidak merasa jerih.  Panglima yang gagah ini kemudian mengumpulkan semua hulubalang pasukan untuk berunding.  Dewi Mulia Ratri, Arya Dahana, Bimala Calya, Ardi Brata, ikut serta dalam pertemuan luar biasa penting itu.  Mempertahankan benteng Bantar Muncang sepertinya mustahil.  Semua sepakat dengan hal itu. Tapi semuanya juga sepakat, bahwa benteng ini tidak akan jatuh dengan mudah.  Kalaupun mereka harus tewas berkubang darah di sini, maka sudah menjadi tekad mereka semua untuk membawa sebanyak banyaknya orang orang Lawa Agung bersama mereka.

Keputusannya satu.  Tidak ada satu orang pun yang akan bertempur di luar benteng.  Mereka akan mempertahankan pintu gerbang benteng selama mungkin.  Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana hanya akan mengawasi para tokoh Lawa Agung jika mungkin saja ada yang mencoba menyelusup masuk ke dalam benteng saat pertempuran berlangsung.  Selain itu, Dewi Mulia Ratri akan lebih leluasa mengendalikan pasukan gaib yang akan dibangkitkannya jika tidak dalam kondisi bertarung.

Tokoh-tokoh yang harus diwaspadai adalah Panglima Kelelawar, Datuk Rajo Bumi, Panglima Amranutta, dan Putri Anjani.  Mereka masing masing mempunyai kemampuan membunuh secara massal, sekaligus juga bisa dengan mudah menyelusup masuk ke dalam benteng dengan cara melompat atau hal-hal lain yang tidak bisa diduga.  Oleh karena itu Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana akan berkeliling benteng untuk memastikan tidak ada penyusup sakti yang masuk.      

Hanya ada satu hal yang masih merisaukan pikiran semua orang.  Bagaimana cara mengatasi Gendewa Bernyawa Putri Anjani?  Pusaka itu sangat mengerikan untuk pertempuran besar-besaran seperti ini.  Ratusan bahkan ribuan anak panah berapi bisa mengalir tak habis-habis menggempur pasukan Galuh Pakuan. Mereka harus memikirkan sat nu cara untuk mengatasi hal ini.

Arya Dahana akhirnya angkat bicara.

"Satu satunya cara adalah merebut Gendewa Bernyawa itu dari Putri Anjani agar tidak bisa dipergunakan.  Aku akan melakukannya.  Tapi aku juga tidak mau pasukan Galuh Pakuan memanfaatkan pusaka ajaib itu.  Benda itu terlalu merusak tatanan pertempuran."

Dewi Mulia Ratri mengrenyitkan alisnya.

"Bagaimana caramu merebut pusaka itu dari Putri Anjani, Dahana?"

Arya Dahana tersenyum tengil sembari mengedipkan sebelah mata kepada Dewi Mulia Ratri.

"Aku tahu beberapa cara untuk mengambil pusaka berbahaya itu Ratri.  Tenang sajalah."

Dewi Mulia Ratri melengos memalingkan muka melihat cara Arya Dahana menjawab pertanyaannya.  Gadis ini hanya bisa membayangkan satu pilihan saja untuk mengambil pusaka itu dari Putri Anjani.  Kekerasan! Ya, itulah satu satunya cara!  Tapi jawaban Arya Dahana tadi membuatnya berpikir tidak karuan.  Mungkin yang disebut cara lain itu melalui rayuan.  Huh! Dasar tengil dan mata keranjang!

Tidak sadar dengan kilatan mata marah gadis dari Sanggabuana itu, Arya Dahana kemudian berpamitan kepada semua orang untuk menjalankan tugasnya.  Tugas yang berat.  Tapi dia harus melakukannya.  Benda pusaka itu terlalu berbahaya.  Perang akan berjalan dengan tidak seimbang.  Dia belum tahu bagaimana cara membujuk Putri Anjani untuk menyerahkan senjata itu sementara waktu.  Dia tidak akan mengambil pusaka itu selamanya.  Putri Anjani berhak memiliki, karena pusaka itu berjodoh dengannya saat perebutan di Ngobaran.

Fajar belum menjelang.  Malam masih berkuasa.  Ini memudahkan Arya Dahana yang dengan kepandaian tingginya menyelinap dari kepungan pasukan Lawa Agung.  Dia tidak tahu dimana Putri Anjani berada.  Tapi dia menduga pasti di suatu tempat di pinggir pantai, tempat para petinggi Lawa Agung berada.

Arya Dahana sadar.  Tempat ini sekarang sedang bertebaran tokoh-tokoh sakti.  Dia harus berhati hati.  Dikerahkannya semua kemampuan meringankan tubuh.  Tubuhnya melayang dari pohon ke pohon dengan ringan dan tanpa suara.  Begitu mendekati pantai, Arya Dahana turun dari atas pohon, kemudian berjalan mengendap endap.  Masih dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh tertinggi yang dia miliki.

Pantai Sukabumi seperti disiram matahari.  Lampu lampu besar dipancang sana sini oleh pasukan Lawa Agung.  Arya Dahana sedikit tercekat hatinya. Bagaimana dia bisa mencapai sebuah kapal besar yang terang benderang, yang diduganya sebagai markas utama, sementara di setiap sepuluh meter, satu regu penjaga mondar mandir.  Sehebat hebatnya kesaktian seseorang, tidak mungkin bisa melewati penjagaan seketat ini. Dia harus mencari cara saat saat dimana Putri Anjani sedang sendiri.

Dan peluang yang sangat kecil didapatkannya secara ajaib.  Sesosok bayangan berjalan pelan menuju tempatnya bersembunyi.  Putri Anjani!  Arya Dahana bersorak kegirangan dalam hati.  Gadis ini berjalan tersaruk-saruk persis mengarah tempat Arya Dahana.

Arya Dahana bersiap siap.  Dia tahu, gadis itu tidak akan dengan sukarela menyerahkan gendewanya.  Pemuda ini merogoh kantung bajunya.  Sebuah ikat kepala menutupi muka cukup untuk menyembunyikan dirinya.

Putri Anjani berjalan sambil melamun.  Saat terpisah dengan Arya Dahana kemarin siang, dia melanjutkan perjalanan ke timur.  Namun di tengah jalan, gadis ini berubah pikiran.  Lawa Agung sedang mengepung benteng Bantar Muncang.  Dan dia sedang merayu Panglima Kelelawar untuk bergabung dalam persekutuan.  Seharusnya dia mengambil hati mereka dengan membantu pengepungan itu.  Tapi dia tidak boleh sendiri.  Dia harus menunjukkan kepada Panglima Kelelawar bahwa persekutuan itu sangat kuat dan terdiri dari tokoh tokoh hebat.  Buru-buru dia mengerahkan kemampuan lari cepatnya agar bisa segera sampai di tempat gurunya di puncak Gunung Papandayan. 

Begitu sampai di tempat gurunya.  Putri Anjani terkejut saat melihat gurunya sedang bertarung dengan seseorang.  Pertarungan yang hebat.  Orang itu cukup bisa mengimbangi gurunya  meskipun terdesak.  Putri Anjani memekik kecil saat menyadari siapa yang sedang bertarung dengan gurunya. Mahesa Agni!  Tokoh yang menjadi wakilnya di Persekutuan Pesisir Gugat.

Gadis ini dengan tergesa-gesa kemudian menghentikan pertarungan dahsyat yang sedang berlangsung.  Sontak saja kedua tokoh tingkat tinggi itu kaget bukan kepalang.  Adu kepandaian langsung terhenti.  Putri Anjani meminta maaf kepada gurunya dan Mahesa Agni, lalu menjelaskan secara panjang lebar apa yang terjadi di tlatah kulon Jawa.  Dia juga menjelaskan apa pentingnya membantu Lawa Agung bagi persekutuan.

Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni manggut manggut mengerti sekaligus mengagumi kecerdikan gadis ini.  Pertarungan yang terjadi di antara mereka juga terjadi karena kesalahpahaman belaka.  Mahesa Agni sedang mencari muridnya yang sedang bertapa di Gunung Papandayan.  Muridnya itu bernama Mahesa Sura.  Dalam perjalanannya mencari Mahesa Sura, dia bertemu secara tidak sengaja dengan Datuk Rajo Bumi yang sedang mencari ramu-ramuan.  Keduanya sama-sama tahu bahwa masing-masing berkepandaian tinggi.  Seperti biasa, Datuk Rajo Bumi tidak akan melepaskan kesempatan untuk adu kepandaian jika bertemu dengan orang yang sekiranya bisa menandinginya.  Dan terjadilah pertarungan tinggi yang disaksikan oleh Putri Anjani tadi.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Putri Anjani, kedua tokoh itu setuju untuk ikut Putri Anjani menuju Bantar Muncang.

Gadis ini terus melamunkan perjalanannya yang cukup melelahkan.  Mereka disambut gembira oleh Panglima Kelelawar.  Dipersilahkan istirahat di kapalnya yang besar dan dijamu sebagai tamu kerajaan yang terhormat hingga larut malam.  Setelah semuanya hanyut di peraduan masing masing, Putri Anjani tidak bisa tidur.  Turun dari kapal dan berjalan-jalan di pantai seorang diri.  Dia sudah mendengar bahwa Arya Dahana ada di pihak Galuh Pakuan.  Pemuda itu sangat sakti dan bisa menimbulkan kerusakan yang besar bagi Lawa Agung.  Besok dia harus mencegah pemuda itu ikut campur dengan menggunakan ancaman hutang budi yang biasa dilakukannya selama ini.

Dia tidak boleh gagal memberikan keyakinan pada Lawa Agung tentang betapa pentingnya bersekutu.  Arya Dahana tidak boleh menggagalkan semua ini.  pemuda itu mudah ditaklukkan dengan kata hutang nyawa dan hutang budi. 

Sambil terus saja melamunkan apa yang akan terjadi besok, Putri Anjani semakin mendekati ujung pantai.  Tidak menyadari bahwa di depannya telah bersiap siap Arya Dahana menjalankan rencananya.  Gadis ini baru tersadar ketika dia merasakan tubuhnya kaku terkena totokan dahsyat orang berilmu tinggi.  Bahkan gadis ini bisa merasakan orang itu meraba-raba tubuhnya di bagian punggung.

Putri Anjani tercekat hatinya.  Dia menjeritkan tangisan dalam hati dan mengutuk diri sendiri.  Kenapa dia harus membawa bawa Gendewa Bernyawa keluar malam malam begini.  Meskipun memang gendewa itu tidak pernah terpisah dari tubuhnya sedetikpun.  Putri Anjani tidak bisa menggerakkan tubuh, namun masih bisa memperhatikan sosok tubuh bertopeng yang merampas Gendewa Bernyawa miliknya, saat orang itu membebaskan totokannya lalu berkelebat dan menghilang dengan cepat di kerimbunan pepohonan.

Gadis ini terhuyung sejenak setelah terbebas dari totokan.  Dia berniat mengejar orang itu, namun tubuhnya terasa ngilu.  Terutama bagian kakinya. Orang itu memang membebaskan totokannya, tapi akibat dari totokan hebat itu masih sangat berpengaruh terhadap kakinya.

Putri Anjani meneteskan airmata saking jengkelnya.  Sambil membanting-banting kakinya, gadis ini berbalik menuju kapal.  Besok dia akan meminta bantuan Panglima Kelelawar untuk membantunya mencari tahu siapa gerangan orang yang telah berani merampas gendewanya.  Dia juga telah menghapal bentuk tubuh orang itu.  Rasa rasanya dia mengenal sosok orang itu.  Laki laki yang dikenalnya.  Dan juga bau tubuhnya!  laki laki yang dikenalnya!

Arya Dahana kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang paling tinggi untuk berlompatan dari pohon ke pohon.  Dia tetap harus waspada.  Banyak sekali mata mata, telik sandi dan pasukan Lawa Agung di hutan hutan sekitar benteng Bantar Muncang. 

Begitu sampai di dalam benteng dan menuju ke ruangan pertemuan, barulah Arya Dahana bernafas lega.  Tugasnya sudah bisa diselesaikan.  Paling tidak, besok pagi pasukan Lawa Agung tidak usah mengkhawatirkan kesaktian Gendewa Bernyawa.  Pertempuran akan berjalan cukup adil.

Memasuki ruang pertemuan, ternyata semua orang masih berkumpul di situ.  Rupanya Panglima Baladewa masih sibuk mengatur siasat untuk pertempuran esok hari.  Memperhitungkan segala kemungkinan sambil mencari jalan keluarnya.

Semua orang menoleh ketika Arya Dahana memasuki ruangan.  Semua tertuju pada gendewa yang terikat di punggungnya.  Dewi Mulia Ratri  tertegun, Panglima Baladewa menganga takjub, Bimala Calya dan Ardi Brata bahkan bertepuk tangan, yang juga diikuti semua panglima dan hulubalang yang hadir di tempat itu.

"Aaahh kau berhasil anak muda! Hebat! Apakah kau memerlukan tempat penyimpanan bagi pusaka hebat itu?"

Panglima Baladewa memandang kagum sambil berkata.

Arya Dahana menggelengkan kepala dan menyahut pelan.

"Terimakasih paman panglima.  Tapi tidak.  Aku akan menyimpannya sendiri.  Kelak aku harus mengembalikannya kepada Putri Anjani."

Wajah Dewi Mulia Ratri terlihat memerah mendengar ucapan Arya Dahana.  Namun dia berhasil menyimpan semua perkataan yang hampir saja tersembur dari mulutnya.  Biarlah.  Toh yang paling penting pusaka itu tidak akan mengganggu jalannya pertempuran esok hari.  Meskipun hatinya panas bukan main.  Dia harus menahannya.  Hmmm...pemuda ini hutang tamparan kepadanya.

Arya Dahana juga melihat perubahan wajah Dewi Mulia Ratri.  Namun dia harus tegas.  Pusaka  ini akan dijaganya dengan taruhan nyawa.  Terlalu berbahaya jika disimpan lalu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab.  Dia sudah berniat dalam hati.  Gendewa ini akan diserahkannya kembali nanti.

Pertemuan selesai.  Semua siasat telah dipahami oleh semua panglima dan hulubalang.  Saatnya untuk memberikan pemahaman kepada para prajurit yang sudah bersiaga di posnya masing masing.   

---

Fajar menyingsing dengan cepat. Kegelapan tertelan tanpa permisi. Suara kokok ayam yang pertama seperti sebuah pertanda dimulainya peperangan. Suara terompet bergemuruh kencang.  Lalu disambung dengan teriakan-teriakan siaga dari para pemimpin pasukan.  Desing anak panah berhamburan dari kedua belah pihak.  Pasukan Galuh Pakuan tetap mendapatkan keuntungan karena posisi mereka di atas.  Namun rupanya pasukan Lawa Agung juga bersiaga dengan baik.  Ribuan perisai sudah disiapkan untuk memayungi mereka dari hujan anak panah. 

Beberapa puluh orang pasukan Lawa Agung dengan dilindungi perisai-perisai besar dan kuat, membawa gelondongan kayu besar berusaha mendobrak gerbang.  Mereka berusaha keras membobol pertahanan benteng.  Tapi pasukan Galuh Pakuan juga telah dipersiapkan dengan baik.

Mereka tidak menghujani pasukan itu dengan anak panah.  Tapi mengguyurnya dari atas dengan minyak.  Lalu melemparinya dengan obor yang menyala.  Kontan saja ini membuat kalang kabut para penyerbu gerbang benteng.  Perisai-perisai besar itu terbuat dari kayu sehingga sangat mudah terbakar setelah disiram minyak.

Gagal. Penyerbuan pertama yang gagal untuk meruntuhkan gerbang benteng.  Pasukan Lawa Agung rupanya tidak menduga bahwa pasukan Galuh Pakuan sudah bersiap sedemikian rupa.

Dari ujung jauh pelataran benteng, Panglima Kelelawar menyaksikan ini sambil menggeleng-gelengkan kepala.  Dia berpikir bahwa penaklukan benteng akan mudah pagi ini.  Ternyata tidak. Panglima benteng ini melakukan tugasnya dengan baik. Sementara, panglimanya sama sekali tidak melakukan tugasnya!  Panglima Kelelawar menggeram marah.

Di samping sang raja Lawa Agung, berderet berdiri dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak.  Panglima Amranutta, Nini Cucara, Raja Iblis Nusakambangan, Lima Kobra Benggala, Para Hulubalang, Putri Anjani, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni.  Semuanya memahami kegeraman sang raja.  Benteng ini sepertinya mudah direbut.  Tapi ternyata sulit. 

Panglima Amranutta berbisik di telinga Panglima Kelelawar.  Mengundang anggukan dari sang raja.  Panglima Kelelawar memandangi semua tokoh di sampingnya, lalu berhenti di Putri Anjani.

"Kita serang habis-habisan!  Putri Anjani, kalau kau memang berniat untuk membuatku dan kerajaanku masuk dalam persekutuanmu, bantulah aku membongkar gerbang sialan itu!"

Putri Anjani mengomel dalam hati.  Seandainya Gendewa Bernyawa masih ada padanya, tentu semua tidak akan serumit ini.  Dia bisa menghajar para prajurit Galuh Pakuan di atas sana dengan mudah.  Sekarang, Panglima Kelelawar menantangnya, mengujinya.  Dia harus mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan sang raja.

Gadis ini menoleh kepada gurunya.  Datuk Rajo Bumi paham apa arti tatapan muridnya.  Tanpa banyak berkata, datuk ini mengangkat kedua tangannya ke atas lalu diayunkannya ke depan dengan cepat.

Mendadak tanah tanah berumput di depan benteng seperti diguncang gempa dahsyat.  Tanah tanah itu terbelah lalu merekah.  Mengerikan! Ratusan makhluk aneh bermunculan di sana.  Pasukan gaib!  Datuk Rajo Bumi membangkitkan pasukan gaib.

Ratusan pasukan gaib itu berduyun-duyun menuju ke gerbang.  Tujuannya jelas. Menghancurkan pintu gerbang.  Pasukan penjaga berpanah di atas benteng mengetahui hal ini.  Ratusan anak panah kemudian berhamburan menyerang pasukan gaib.  Tentu saja tidak berpengaruh apa apa. Meskipuan puluhan anak panah menancap di tubuh tubuh pasukan gaib itu, mereka tetap maju.  Satu satunya kelemahan pasukan gaib adalah dengan menebas lehernya.  Itu artinya harus berhadapan dan bertarung langsung.

Pasukan gaib sudah sampai di gerbang.  Kemudian mulai menggedor-gedor gerbang raksasa yang sangat kokoh itu kuat kuat.  Pintu gerbang itu berguncang-guncang.  Tenaga fana para pasukan gaib itu memang luar biasa.  Panglima Baladewa yang melihat dari atas benteng, cemas bukan main.

Ini berbahaya!  Pintu benteng itu bisa jebol lama lama.  Panglima ini menoleh ke arah Dewi Mulia Ratri. 

Gadis ini mengangguk.  Gadis ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi menghadap langit.  Diayunkannya ke bawah secepat kilat.  Terdengar gemuruh dari arah hutan.  Begitu suara gemuruh itu menghilang, muncullah ratusan pasukan gaib lain dari dalam hutan dan langsung menyerbu pasukan gaib Datuk Rajo Bumi yang sedang berusaha terus merobohkan pintu gerbang benteng.

Berkecamuklah pertempuran aneh dan mengerikan di depan pintu gerbang benteng.  Dua pasukan gaib itu saling hantam dengan dahsyat.  Datuk Rajo Bumi terperanjat bukan main.  Ini lawan yang setanding! 

Melihat ini, kegembiraan Panglima Kelelawar luntur dengan cepat.  Dia tadi sudah berharap pintu gerbang itu bisa dirobohkan.  Tidak tahunya ada pengganggu pasukan gaib Datuk Rajo Bumi.  Tidak mungkin lagi berharap kepada pasukan gaib untuk meruntuhkan pintu gerbang.  Mereka sibuk bertempur melawan pasukan gaib yang datang dari hutan.

Raja Lawa Agung ini menjadi tidak sabaran lagi.  Dia memberikan isyarat kepada para pembantunya untuk bergerak maju.  Berkelebatan berturut-turut Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta, Raja Iblis Nusakambangan dan yang lainnya menuju gerbang.  Yang tertinggal di tempat semula hanyalah Datuk Rajo Bumi yang masih berusaha keras mengendalikan pasukan ciptaannya untuk melayani ciptaan Dewi Mulia Ratri.

Sambil berlari cepat, mereka harus menangkis dan menahan hujan anak panah yang berjatuhan tanpa jeda dari atas benteng.  Tentu saja ini merepotkan.  Ini memperlambat lari mereka. 

Sesampainya di depan pintu gerbang, telah menghadang Arya Dahana, Ardi Brata dan Bimala Calya.  Tanpa ba bi bu lagi, dengan dibantu Panglima Amranutta dan Raja Iblis Nusakambangan,   Panglima Kelelawar menerjang Arya Dahana.  Pemuda inilah yang paling tangguh di antara semuanya.  
Dia pernah dikalahkannya.  Dengan dikeroyok bertiga, Panglima Kelelawar berharap pemuda ini cepat dikalahkan. 

Ternyata tidak semudah yang dikira.  Arya Dahana yang langsung mengerahkan ilmu pukulan Geni Sewindu dan Bayangan Matahari.  Diselingi pula dengan pukulan Busur Bintang, sanggup menahan pengeroyokan itu dengan baik.  Satu hal yang tidak disadari oleh Arya Dahana adalah, tenaga pukulannya meningkat karena ada Gendewa Bernyawa di punggungnya.  Inilah yang membuat pemuda ini sanggup menahan pengeroyokan dahsyat dari tiga tokoh luar biasa itu.

Mahesa Agni ambil bagian dalam pertempuran dengan menyerang Ardi Brata.  Kontan saja, pendekar terpelajar ini kalang kabut diserang tokoh sekelas Mahesa Agni.  Dia hanya mampu bertahan.  Namun perlahan-lahan juga terdesak.

Bimala Calya diserang oleh Hulubalang Kelabang dan Hulubalang Sanca.  Gadis yang belum terlalu lama menguasai ilmu-ilmu dari Ki Biantara ini sanggup mengimbangi pengeroyokan dengan cukup baik.

Hulubalang yang tersisa berikut Lima Kobra Benggala mengambil gelondongan kayu besar yang tertinggal di situ lalu mulai menghantamkannya ke pintu gerbang.  Pasukan panah Galuh Pakuan di atas benteng tidak bisa lagi menghujani musuh dengan panah.  Khawatir itu akan mengenai Arya Dahana dan kawan kawan.  Mereka hanya bersiap dan berjaga-jaga jika sewaktu-waktu pintu gerbang itu runtuh dan pasukan Lawa Agung membanjir ke dalam.

Sepertinya itu mendekati kenyataan.  Gerbang yang kokoh itu sedikit demi sedikit mulai bisa digoyahkan karena besarnya tenaga Lima Kobra Benggala dan para Hulubalang.  Panglima Baladewa di atas semakin khawatir.  Andalan Galuh Pakuan terdesak di mana-mana.  Kecuali Arya Dahana yang masih bisa mengimbangi keroyokan dengan baik.

Putri Anjani sedari tadi belum ikut terjun ke dalam pertempuran.  Dia hanya terpaku dan terbelalak melihat Arya Dahana yang dilihatnya menggendong Gendewa Bernyawa miliknya di punggung.  Hmmm...jadi pemuda inilah yang tadi malam merampas pusakanya!  Hanya saja dia tidak tega untuk terlibat pengeroyokan kepada Arya Dahana.  

Dia akan menunggu kesempatan baik untuk merebut Gendewa Bernyawa tanpa membahayakan keselamatan pemuda itu.  Dia sangat marah kepada Arya Dahana.  Tapi dia membutuhkan tenaga pemuda itu untuk menjaganya saat terjadi perang melawan Majapahit nanti. 

Dan terjadilah!  Bersamaan dengan terpelantingnya Ardi Brata oleh pukulan Mahesa Agni, dan robohnya Bimala Calya terluka parah terkena pukulan Hulubalang Sanca, roboh pula pintu gerbang Benteng Bantar Muncang.  Ribuan pasukan Lawa Agung bergelombang menyerbu ke dalam benteng. Disambut oleh ratusan pasukan Galuh Pakuan yang dengan gagah berani meladeni.

Pecahlah pertempuran terdahsyat sepanjang beberapa hari ini.  Para prajurit saling beradu tombak dan pedang.  Suara ringkik kuda dan denting senjata menyertai berperciknya berliter- liter darah yang tumpah dari kedua belah pihak.  Pasukan Galuh Pakuan benar-benar bertahan dengan gagah berani.  

Hingga tetes darah terakhir bagi mereka tidak ada keberatan sama sekali demi sebuah kebanggaan membela kerajaan yang dijunjungnya.  Memang luar biasa semangat para prajurit Galuh Pakuan di benteng Bantar Muncang ini.  Sudah ratusan orang tewas, namun mereka juga berhasil membuat korban yang tidak sedikit di pihak Lawa Agung.  Panglima Baladewa sendiri gugur di tangan Lima Kobra Benggala yang mengeroyoknya. 

Hari sudah menjelang sore saat pertempuran sudah mendekati akhir.  Para prajurit Galuh Pakuan benar-benar sama sekali tidak mau menyerah. Hanya tertinggal puluhan orang, namun mereka tetap melawan.  Dan pada akhirnya, semua prajurit benteng Bantar Muncang gugur berkalang tanah.

Dimanakah Dewi Mulia Ratri berada?  Setelah beradu sihir dengan Datuk Rajo Bumi mengendalikan pasukan pasukan gaib.  Lalu melihat betapa benteng ini sudah mendekati kehancuran, Dewi Mulia Ratri ikut terjun dalam pertempuran membantu Arya Dahana.  Namun sebelumnya, dengan kehebatan ilmu kesaktiannya, pendekar wanita tangguh Galuh Pakuan ini menyambar tubuh Ardi Brata dan Bimala Calya sekaligus dan menyembunyikannya dalam hutan.  Barulah setelah itu dia kembali untuk membantu Arya Dahana yang masih dikeroyok dengan hebat oleh Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta dan Raja Iblis Nusakambangan.

Dewi Mulia Ratri sangat kagum melihat pemuda yang dikasihinya itu tidak terdesak sama sekali.  Mampu bertahan dan mengimbangi serangan serangan para pengeroyoknya dengan baik.  Gadis ini langsung menyerang Panglima Amranutta untuk mengurangi beban Arya Dahana.

Namun usahanya dihadang oleh Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani.  Guru dan murid itu bersama sama mengeroyoknya dengan dahsyat.  Melihat ini Arya Dahana melompat tinggi menghindari serangan sampai akhirnya bersisian dengan Dewi Mulia Ratri.  Dua muda mudi ini kemudian terlibat pertarungan yang luar biasa melawan para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang luar biasa.  Dua orang ini terdesak hebat.  Apalagi Mahesa Agni juga ikut terjun dalam pertarungan dahsyat itu.

Arya Dahana telah mengerahkan semua kemampuannya dengan memainkan ilmu pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang berbarengan.  Dewi Mulia Ratri juga telah mengerahkan ilmu pukulan Gempa Pralaya.  Tetap saja mereka berdua terdesak hebat.  Meskipun terdesak, Arya Dahana masih sempat melukai Raja Iblis Nusakambangan yang buru buru meninggalkan pertarungan untuk memulihkan diri setelah pundaknya terhantam pukulan Busur Bintang.

Petang kini mulai menjelang.  Sinar matahari sudah tidak ramah lagi pada bumi.  ini menguntungkan bagi Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri.  Pemuda ini berbisik menggunakan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh.

"Ratri, keluarkan semua pukulan pamungkasmu.  Kita kejutkan mereka.  Lalu kita harus segera pergi.  Malam akan membantu kita melarikan diri...."

Dewi Mulia Ratri memberikan isyarat mengerti.  Gadis ini langsung saja menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah menggunakan ilmu Gempa Pralaya.  Disusul Arya Dahana menghantamkan pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang secara bersamaan.  Akibatnya luar biasa!  Bumi berguncang hebat.  Larikan besar sinar keperakan dan kehijauan bersatu menjadi sebuah sinar berwarna jingga yang berhawa sangat aneh, menghantam ke arah para pengeroyok.

Melihat kedahsyatan ilmu-ilmu pukulan tertinggi dari dunia persilatan itu.  para pengeroyok melompat mundur jauh ke belakang.  Kesempatan ini digunakan Arya Dahana menarik lengan Dewi Mulia Ratri dan melesat lenyap dari tempat pertempuran banjir darah itu.

Malam benar-benar menyelamatkan mereka berdua.  Para pengeroyok yang jerih melihat betapa dahsyat pukulan mereka berdua tadi, mengurungkan niat untuk mengejar.  Terlalu berbahaya untuk mengejar dua orang sakti luar biasa di kegelapan malam.

Namun Panglima Kelelawar tidak terlalu kecewa.  Dia mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya.  Menaklukkan benteng Bantar Muncang, menguasainya, dan kelak akan menjadi benteng terdepan untuk menyerbu ibukota Galuh Pakuan.  Raja Lawa Agung ini kemudian mengumpulkan para pengikutnya dan memerintahkan untuk mengumpulkan tumpukan mayat di dalam benteng.  Dikeluarkan di pelataran benteng dan membakarnya.

Suara gemeretak api yang membakar tubuh-tubuh tak bernyawa prajurit gagah berani itu seperti suara raungan serigala yang sedang berduka karena kehilangan anak anaknya.  Begitu miris dan menggigilkan hati.  Mengirimkan asap yang bergulung gulung ke angkasa.  Membawa pesan kepada langit bahwa pertempuran antar manusia tidak akan pernah usai sampai jaman akhirnya menelan semuanya menjadi abu saat hari penghakiman tiba.


Kisah Air dan Api-Cinta Abadi Air dan Api
Setelah bermasa masa mendarahi petualangan
Air semakin mendekati muara
Api semakin mendekati perapian
Membawa bunga tujuh rupa dalam kendi
Membawa bara bara tak pernah mati
Seperti cintanya yang abadi

*****T A M A T******

Berikutnya; Tetralogi Air dan Api Buku ke-4, Cinta Abadi Air dan Api

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun