Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film

Rhetoric of Victimhood ala Pengepungan di Bukit Duri

26 Agustus 2025   21:26 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4: Edwin saat berdebat dengan Jefri (Sumber: IMDb)

Namun di luar Edwin dan Vera, kita juga bisa melihat kelompok ekstras berwajah oriental yang muncul di latar dan dibingkai sebagai bagian dari komunitas Tionghoa. Mereka dihadirkan dari "jarak jauh", dalam komposisi kamera yang cenderung netral (objective perspective) sebagai bagian dari dunia film semata. Dan, selayaknya fungsi objective perspective dalam film -- untuk membangun situasi dan dunia tempat karakter berada -- kehadiran kelompok etnis Tionghoa dalam Pengepungan di Bukit Duri tak lebih dari pelengkap suasana.

Dalam istilah yang relevan dengan kajian media, ini dikenal sebagai tokenisme -- praktik simbolik yang menghadirkan kelompok minoritas hanya untuk menciptakan ilusi keberagaman tanpa memberi mereka peran yang signifikan. Representasi semacam ini berisiko menjebak karakter/kelompok minoritas dalam potret yang stereotipikal, dangkal, dan tidak realistis.

Di film ini, kelompok etnis Tionghoa tampak hadir hanya untuk dianiaya atau menambah nuansa realisme penderitaan, bukan sebagai subjek naratif yang otonom. Kekosongan "wajah" Tionghoa dalam film ini -- terutama untuk peran-peran signifikan -- justru "mengganggu" upaya representasi minoritas Joko. Jika memang Joko memilih menempatkan Edwin dan Silvi sebagai representasi Tionghoa, Joko pun tetap berhenti pada pemaknaan 'korban' terhadap karakter yang mewakili ini. Mereka (Jefri dan Silvi) muncul sebagai korban dan berakhir sebagai korban.

Keberagaman yang ilusif itu turut diperkuat oleh cara ruang (chamber) digunakan di film ini. Keterkungkungan etnis Tionghoa dalam ruang terbatas menjadi semacam tema visual yang konsisten. Perhatikan bagaimana ruang Edwin semakin lama (terasa) semakin menyempit: sekolah > ruang kelas > kamar rumah sakit Silvi > Bar Wijaya > kos > gudang olahraga > jalur ventilasi > toilet > mobil. Permainan ruang dalam film ini pun seakan menjadi refleksi atas warisan sosial politik "masa lalu" yang melihat etnis Tionghoa sebagai pihak yang 'lain', 'terpisah', dan tak pernah sepenuhnya diterima.

Gambar 5: Rententan adegan Edwin dalam ruang yang semakin sempit (Sumber: IMDb).
Gambar 5: Rententan adegan Edwin dalam ruang yang semakin sempit (Sumber: IMDb).

Ambil contoh, Bar Wijaya, satu-satunya tempat bagi komunitas Tionghoa berkumpul, terletak di kawasan pecinan dan berlokasi underground -- secara literal berada di bawah tanah. Ini bukan semata keputusan artistik, tetapi memuat warisan historis dan simbolik. Jika ditarik ke belakang, sejak masa kolonial Hindia Belanda, pemukiman etnis Tionghoa dipisahkan dari penduduk asli lewat kebijakan Wijkenstelsel. Pecinan menjadi ruang segregatif yang, tak jarang, hingga kini masih menyisakan stigma eksklusivitas dan keterpisahan sosial.

Dalam film Joko, jejak itu muncul kembali: etnis Tionghoa secara harfiah ditempatkan di ruang bawah tanah, tersembunyi, dan gelap. Bar Wijaya (yang muncul dua kali dalam film) pun direkam dengan pencahayaan remang bernafsu (pendar warna merah dan ungu menyorot wajah mereka) yang turut menciptakan atmosfer yang cenderung negatif, membingkai mereka sebagai komunitas yang gemar menghabiskan waktu/menghilangkan penat dengan mabuk-mabukan dan kesia-siaan. Ketika mereka keluar dari ruang (bawah tanah) ini, mereka, lagi-lagi, berakhir sebagai korban (korban bully Jefri, salah satu contohnya).

Penekanan ruang ini juga hadir dalam persepsi karakter lain. Jefri, misalnya, menjebloskan siswa Tionghoa ke dalam ruang sempit di sebuah bangunan terbengkalai (sebelumnya, oleh geng Jefri, siswa keturunan Tionghoa ini dimasukan ke bagasi mobil) -- dua ruang sempit yang melambangkan penyingkiran literal. Atau, Bu Dinda (Hana Malasan) yang menyiratkan wacana keterpisahan sosial lewat dialog: "Semua orang Cina pada ke sana tiap malam," -- merujuk pada Bar Wijaya di pecinan. Dialog ini adalah secuil gema dari stereotip lama yang masih hidup hingga hari ini.

Gambar 6: Geng Jefri saat menyekap siswa keturunan Tionghoa di bagasi mobil (Sumber: IMDb).
Gambar 6: Geng Jefri saat menyekap siswa keturunan Tionghoa di bagasi mobil (Sumber: IMDb).

Jika kita meletakkan representasi ruang ini dalam persinemaan Indonesia yang lebih luas, kontras antara ruang etnis Tionghoa dan masyarakat mayoritas memperkuat kesan eksklusivitas dan keterpisahan yang tak sehat. Mirip dengan representasi komunitas Tionghoa dalam film lain seperti Ca-Bau-Kan (2002) karya Nia Dinata atau Cek Toko Sebelah (2016) arahan Ernest Prakasa.

Di film Ca Bau Kan, Nia Dinata menggambarkan kehidupan kelompok Tionghoa sebagai komunitas yang terus-menerus ditawar posisi sosial dan kulturalnya -- oleh penjajah maupun masyarakat bumiputra. Karakter Tan Peng Liang, hadir sebagai bentuk perlawanan stereotip dari representasi Tionghoa era orde baru dengan mengangkat figur Tionghoa yang politis, rentan, tapi juga penuh ambivalensi. Sementara, di film Ernest, meski konflik etnis tetap terasa, narasi identitas dibingkai dalam dinamika keluarga dan ekonomi, bukan penindasan struktural yang brutal. Kedua film ini, turut mengamini eksklusivitas dan keterpisahan sosial tersebut dengan cara dan gaya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun