Itulah cerita utama yang ditawarkan Joko yang ditampung dalam Republik Preman: Edwin sebagai penyintas trauma, dan Jefri yang hidup dalam lingkaran kebencian. Dengan demikian, aturan hidup yang berlaku dalam realitas ini dapat dibaca melalui kacamata maskulintas. Sebab, di samping Edwin dan Jefri, Republik Preman ini juga sesak oleh karakter laki-laki penuh aksi.
Tubuh Laki-laki dan Otoritas
Ketika kisah beralih ke masa near future, Republik Preman itu telah terbentuk secara utuh. Untuk bisa bertahan di republik ini, setiap individu perlu mengukuhkan otoritasnya melalui kekerasan. Dalam kacamata gender tradisional, power atau kekuasaan selalu diasosiasikan dengan laki-laki -- hal ini juga tercermin dalam dunia buatan Joko yang didominasi laki-laki. Dan, ini seakan jadi aturan tak tertulis untuk dapat bertahan di Republik Preman: antara memangsa atau dimangsa. Tanpa power, mereka akan berakhir sebagai 'korban'.
Salah satu tokoh yang merepresentasikan power itu adalah Kepala Sekolah SMA Duri, Darmo Sumitra (Landung Simatupang). Darmo memosisikan dirinya sebagai penentu masa depan para murid -- seorang figur kuasa yang tidak boleh atau tidak perlu disentuh oleh murid-murid SMA Duri. Namun, seiring adegan (di ruang kepala sekolah) berlanjut, otoritas Darmo justru tampak canggung dan kehilangan daya. Ini terjadi saat ia mengungkap prinsipnya, "Sampai saat ini, saya mungkin satu-satunya orang yang masih tidak peduli dengan perbedaan suku," yang lantas dibarengi gerakan menutup pintu ruangannya. Tindakannya justru menandakan ketakutan dan isolasi -- mereduksi kuasanya. Dari adegan ini, penonton belajar bahwa power itu berjalan beriringan dengan rasa takut.
Otoritas dan perasaan takut juga menjadi isu sentral bagi karakter utama cerita. Sebagaimana Darmo, Edwin juga hadir dalam dua versi. Di tempat-tempat publik (di luar sekolah), ia tampil inferior: berjalan menunduk, mengenakan topi, dan terkadang kamera tampak kesulitan menemukannya (adegan Edwin keluar dari stasiun kereta). Dengan gaya hidup tersebut, Edwin punya kehidupan sosial yang sempit, interaksinya terbatas, dan kehadirannya nyaris tak dianggap. Perasaan takut dan alienasi ini mereduksi otoritas pribadi dan power Edwin sebagai individu.
Versi lain Edwin tampak saat ia berada di SMA Duri. Di sekolah, Edwin dan kamera tampak memahami otoritasnya (sebagai guru). Ia berjalan tegap menuju kelas, diiringi musik dengan komposisi (Edwin) di tengah kamera yang menekankan kewibawaannya. Di tempat ini, Edwin adalah sosok berotoritas. Tetapi, lagi-lagi, otoritas ini tidak netral lantaran identitas etnisnya, kehadirannya pun dianggap ancaman oleh Jefri.
Konflik otoritas antara Edwin dan Jefri turut divisualisasikan lewat elemen sinematik. Begitu Edwin memasuki kelas 3F sambil diiringi musik latar, kamera memutari Edwin, lalu, berhenti dengan sudut over-the-shoulder. Tak ada yang menghiraukan kehadirannya, sebelum akhirnya ia membanting tasnya ke atas meja dan seketika musik latar berhenti terdengar, semua murid menatap Edwin penuh skeptis. Di momen ini, Edwin seketika menjelma pengganggu suasana -- pengusik otoritas yang telah terkonvensi dalam kelas itu -- dan dengan segera mendapat perhatian Jefri.
"Main lempar aja kayak berak," kata Jefri.
Ketegangan di antara dua karakter ini hadir secara konsisten lewat elemen-elemen mise-en-scene. Penempatan aktor (blocking) dalam adegan two shot (Edwin-Jefri), misalnya, jarang menempatkan mereka secara sejajar (salah satu biasanya dalam posisi lebih rendah), seperti saat Edwin menegur Jefri yang menolak menggambar, atau adegan lain ketika Jefri mendongak menatap Edwin yang berada di kamar kosnya. Rentetan adegan seperti ini, mempertegas jarak identitas dan kuasa di antara keduanya. Maka gejolak antara Edwin dan Jefri bukan lagi sekadar rivalitas otoritas, tapi juga prasangka satu sama lain.
Otoritas Jefri dalam kisah ini cenderung tak terbatas. Ia adalah "raja" baik di dalam maupun di luar sekolah. Kamera pun seakan tunduk padanya: menyorot wajahnya secara close-up, menempatkannya dalam bingkai cowboy shot, bahkan sampai memperlakukan codet di tubuhnya bak suatu "kebanggaan".