"Iih darah babi," ucap salah seorang geng Jefri saat menghajar seorang remaja Tionghoa.
Kondisi ini diperkaya lewat ruang-ruang off screen (diegetic). Perhatikan bagaimana suara pertikaian antara kelompok muslim dan non-muslim, saat adegan Edwin mandi, yang berpusar soal izin ibadah:
"Bapak ada izin apa enggak di rumah?"
"Tapi kan gue kalau mau ke gereja juga disegel. Terus gue mau ibadah di mana?"
"Elo ada izin apa enggak bikin ibadah di rumah?"
Lewat pertikaian tersebut, Joko seperti menekankan bahwa kondisi seperti inilah yang mewarnai sebuah negeri tanpa toleransi. Konflik sektarian itu menjadi kenyataan kecil yang berserakan, seakan kamera tak memiliki cukup ruang dalam memotret hancurnya toleransi antarumat.
Korban yang Tak Bersuara
Di tengah logika kekorbanan dan krisis toleransi dalam Pengepungan di Bukit Duri, film ini juga menyisipkan korban lain yang bisa saja luput dari perhatian: perempuan. Dalam film yang didominasi laki-laki dan kekerasan ini, tokoh-tokoh perempuan hadir sebagai figur sekali pakai dan mudah digantikan (disposable women).
Peran karakter perempuan di film terbaru Joko ini agaknya mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan beberapa film ia sebelumnya (besar kemungkinan karena kebutuhan dunia cerita). Di film-film Joko sebelumnya, Joko cukup sering menampilkan karakter perempuan dengan "suara" yang mempengaruhi narasi.
Karakter Dini, misalnya, di film Perempuan Tanah Jahanam, muncul sebagai sosok perempuan kelas pekerja urban. Meski perannya tidak sepanjang Maya (protagonis), kehadirannya penting karena menandai representasi perempuan marginal yang tetap "bersuara". Dini bukan perempuan dengan privilese atau kekuasaan sosial; ia hadir sebagai warga pinggiran yang terhimpit ekonomi. Namun, dalam kerentanannya, Dini tampil tegas, kritis, dan penuh inisiatif, baik ketika mempersoalkan rencana Maya pulang kampung, maupun saat menyikapi keganjilan-keganjilan yang mereka temui. Dini menolak untuk diam atau hanya menjadi pendamping pasif bagi protagonis.
Karakter Dini merupakan contoh bagaimana kelompok subaltern bisa tetap bersuara, meski tidak berada di pusat kuasa. Ia memilih untuk tetap berpikir, bersuara, dan bertindak. Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Joko memberi ruang bagi karakter perempuan dari kelas bawah untuk tetap memiliki agensi (kapasitas bertindak secara mandiri) -- meskipun, seperti yang kerap terjadi dalam narasi horor, agensi itu berujung pada tragedi.
Sebaliknya, karakter-karakter perempuan dalam Pengepungan di Bukit Duri muncul sebagai figur-figur yang nyaris tanpa agensi. Sebagian besar karakter perempuan hadir sekilas, lalu perlahan disingkirkan, baik secara simbolik maupun naratif. Sosok-sosok seperti Silvi, Vera, dan Dotty, tak pernah betul-betul diberi ruang untuk memengaruhi jalan cerita. Mereka jadi pengisi kekosongan emosional laki-laki atau pemantik konflik yang segera terhapus.