Pagi itu, saya berjalan santai dari Gang Abdul Hadi menuju ke Alun- Alun Kidul seperti kebiasaan saya hampir setiap hari. Ketika melewati jalan selepas Ndalem Ngabean, tepat di depan sebuah home stay, saya melihat ada sesuatu yang berbeda. Deretan sangkar burung cantik yang tergantung rapi.
Rumah tua bergaya Joglo ini berdiri dengan anggun, dan yang paling mencuri perhatian adalah deretan sangkar burung berhias ukiran emas dan warna mencolok yang menggantung di serambi. Sangkar perkutut berjajar rapi, seperti ornamen hidup yang bicara tentang status pemiliknya. Ada sangkar bercat merah marun, hitam pekat dengan ornamen emas, bahkan ada yang dihiasi gambar wayang dan motif parang. Dari kejauhan terdengar suara kicauan burung perkutut: lirih, mendayu, seperti tembang Jawa yang mendesah pelan di antara dedaunan pagi .
Bagi orang Jawa, terutama kalangan pecinta perkutut, burung ini bukan sekadar hewan peliharaan. Ia adalah simbol harmoni dan wibawa, sebagaimana pepatah kuno yang menyebutkan "wanita, kukila, turangga, curiga, wisma" -- lima lambang kesempurnaan pria Jawa: wanita (istri), kukila (burung perkutut), turangga (kuda), curiga (keris), dan wisma (rumah). Maka jangan heran jika di jalan kecil ini, sangkar perkutut tampak lebih megah daripada pagar rumah.
Menuju Alun-Alun Selatan: Suara yang Menyatu dengan Langit
Langkah saya terus membawa ke arah Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta, tempat berlangsungnya Piala Raja Hamengku Buwono Cup 2025. Sebuah acara tahunan yang konon menjadi "panggung kehormatan" para pecinta burung perkutut dari seluruh Indonesia.
Tepat di dekat Sasana Hinggil Dwiabad, suasana semakin ramai. Ada baliho besar bertuliskan:
"Konkurs Nasional Seni Suara Alam Burung Perkutut -- Hamengku Buwono Cup 2025"
Lengkap dengan logo Keraton, Dinas Pariwisata, dan komunitas perkutut yang bernama P3SI (Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia)..
Tepat di sisi panggung, saya melihat booth sponsor dengan tagline yang cukup menggelitik:
"Ada Phoenix, Makin Gacor!"
Ya, ini adalah pakan burung yang menjanjikan suara lebih merdu, lebih nyaring, lebih stabil. Ada roda putar berhadiah, tumpukan produk pakan, dan antrean peserta yang mencoba peruntungan. Sebuah paduan unik antara tradisi keraton dan industri modern.
Lautan Sangkar: 1000 Tiang Menjulang ke Langit
Di tengah alun-alun yang luas, ratusan tiang besi menjulang tinggi, masing-masing menggantungkan sangkar burung perkutut yang berhias mewah. Di bagian bawahnya ada nomor yang terdiri dari tiga digit. Ternyata ada lebih dari 800 burung yang ikut lomba selama dua hari ini dalam berbagai kategori .Ada yang bercorak merah dengan ornamen naga, ada yang berwarna emas dengan ukiran wayang, ada pula yang sederhana, tapi tetap terawat dengan baik.
Ketika saya mendongak, seakan langit Jogja penuh dengan suara-suara merdu yang saling bersahut-sahutan. Ratusan burung perkutut berkicau , tapi bukan sembarang nyanyian. Mereka dilatih untuk menghasilkan suara dengan irama, panjang, dan getaran tertentu. Inilah seni suara alam yang dipertaruhkan.
Para pemilik burung -- dengan kaos komunitas, sebagian mengenakandan topi -- duduk di kursi lipat di tepi lapangan. Beberapa berdiri sambil memegang buku catatan, merekam performa burungnya. Ada yang sesekali menatap langit dengan penuh harap. Semua mata tertuju pada sangkar yang berada di ketinggian, seakan sedang menatap panggung pertunjukan wayang yang menggantung di angkasa.