Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film

Rhetoric of Victimhood ala Pengepungan di Bukit Duri

26 Agustus 2025   21:26 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4: Edwin saat berdebat dengan Jefri (Sumber: IMDb)

Lalu, setelah kita memisahkan antara korban sejati dan korban semu, pertanyaan selanjutnya, siapa mayoritas ini? Adakah simbol-simbol narasi yang membahasakan identitas mayoritas tersebut?

Sebagai film yang mengakrabkan diri dengan penonton Indonesia, identitas mayoritas itu akan dengan mudah dilekatkan pada Islam. Sebab, seperti kata Eric Sasono, di negara ini Islam sudah menjadi kultur, menjadi bagian dari sejarah. Dengan begitu, film ini pun tidak lagi perlu menghadirkan Islam sebagai sistem nilai eksplisit.

Dalam Pengepungan di Bukit Duir, praktik keagamaan absen; tidak ada visualisasi karakter berhijab, salat, atau membaca Al-Quran. Yang ada hanya ekspresi keislaman yang implisit -- baik sebagai "candaan" maupun dekorasi visual.

Izinkan saya menafsir kondisi ini sebagai apa yang oleh Asef Bayat disebut post-islamisme: fase (transisi islamisme) di mana nilai-nilai Islam tidak lagi menjadi pusat dari gerakan sosial-politik, tapi tetap bertahan dalam gaya hidup, simbol, dan retorika. Pembacaan post-islamisme (yang menyimpang) ini khusus saya gunakan dalam penerapannya di film Pengepungan di Bukit Duri (bukan universal).

Asef Bayat menguraikan post-islamisme sebagai sebuah kecenderungan atau proyek untuk mengonsepkan dan mengintegrasikan Islam dengan nilai-nilai demokrasi dan pluralitas modern, melampaui ideologi islamisme yang berusaha membentuk tatanan Islam yang "kaku". Post-islamisme menekankan pentingnya pluralitas dan inklusivitas dalam tatanan sosial-politik (hibrida antara Islam dan demokrasi).

Post-islamisme dari pernyataan Asef Bayat mencerminkan gerakan islam yang, dampaknya, cenderung bersifat positif. Tetapi, kita juga tak bisa begitu saja melupakan bahwa dunia Joko adalah dunia distopia masa depan di mana fase post-islamisme ini turut terseret menjadi bagian dari elemen distopia yang menguatkan lanskap kekacauan di dalamnya.

Simbol-simbol seperti grafiti gambar kepala babi, tulisan "babi ngepet", sampai umpatan rasis, menjadi elemen yang menyiratkan kekerasan simbolik. Dialog-dialog bernada candaan seperti, "Dia juga rajin salat karena habis ento*in anak orang" memperkuat impresi bahwa nilai-nilai keislaman telah bergeser menjadi semacam identitas kosong: hadir di permukaan, tapi kehilangan kedalaman moralnya.

Karakter di film ini bisa dengan lantang menyebut babi sebagai haram, sambil menormalisasi perzinaan, kekerasan, dan pencitraan religius yang dangkal. Perhatikan dialog-dialog yang dilontarkan teman-teman Jefri, seperti saat salah seorang dari mereka bercerita: "Ya elo kasih aja duit bokap elo ke orang miskin, biar jadi halal,", "Ya kalau itu, mah, bokap gue juga udah sering. Dia sering nyumbang ke masjid. Bahkan gak cuma masjid, yang penting masuk berita." Ini menunjukkan bahwa amalan keagamaan telah direduksi menjadi ajang pencitraan.

Sementara dalam dialog lainnya, salah seorang anggota geng Jefri ingin menjadi hacker supaya bisa "Rebut duit-duit orang kaya yang haram, gue masukin ke rekening orang yang lebih butuh, anjing. Gue gak pengen kayak bokap gue," menjadi pembacaan agama yang terputus dari proses etik -- sebuah bentuk "tujuan islami, lewat cara yang tidak islami".

Kondisi post-islamisme yang kehilangan nilai (Islam) itu pun telah menanggalkan toleransi. Umpatan "babi" jadi name calling untuk merendahkan karakter Tionghoa.

Babi, dalam imaji ini, menjadi lambang dari yang haram, hina, dan "terlarang". Film ini memotret bagaimana kelompok mayoritas secara kolektif menciptakan hierarki nilai yang menindas minoritas melalui simbol-simbol yang tak perlu dijelaskan secara eksplisit. Sederhananya, masyarakat di film ini berbondong-bondong menurunkan nilai dari "menjadi Tionghoa", lantas menormalkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun