Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film

Rhetoric of Victimhood ala Pengepungan di Bukit Duri

26 Agustus 2025   21:26 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4: Edwin saat berdebat dengan Jefri (Sumber: IMDb)

Silvi, misalnya, hanya tampil untuk mengalami kekerasan seksual, lalu menghilang dari cerita setelah menjadi motivasi tokoh laki-laki, Edwin.

Vera, yang bekerja di bar, hadir sebagai "pemberi semangat" bagi Edwin yang sedang suntuk, tanpa latar belakang yang jelas atau agenda personal yang menonjol (padahal jika dibaca melalui kacamata interseksionalitas, Vera berada dalam posisi yang rentan: ia perempuan, Tionghoa, dan berprofesi di ruang sosial yang rawan stigmatisasi -- jika saja ia diberi kesempatan lebih dari sekadar "ada").

Gambar 7: Karakter Vera (Shindy Huang) (Sumber: IMDb).
Gambar 7: Karakter Vera (Shindy Huang) (Sumber: IMDb).

Dotty, juga terjebak dalam pola serupa. Ia tampil cukup lama dalam film, namun hanya sebatas 'tangan kanan' Jefri, bukan pemilik agenda sendiri (walaupun ia "merdeka" menjelang akhir film). Dalam satu adegan, Dotty diminta Jefri untuk mencekik siswa Tionghoa yang ia sandra. Adegan lain, Dotty mendapat apresiasi (berupa tepuk tangan) dari anggota geng Jefri setelah ia melakukan kekerasan (adegan Dotty memukuli siswa Tionghoa) -- sebuah logika patriarkal yang mengafirmasi eksistensi perempuan hanya ketika ia "mengikuti" atau "meniru" laki-laki.

Satu-satunya karakter perempuan yang diidealkan dengan rasionalitas dan visi adalah Bu Dinda. Ia menjadi tokoh yang mewakili pemikiran progresif yang sinis terhadap dominasi maskulinitas dalam sistem kekuasaan.

Bu Dinda menolak diantar pulang oleh Edwin dan menyarankan masing-masing dari mereka meningkatkan survival skill. Komentarnya, "Lebih gampang lagi, jadi guru perempuan di sini. Anak laki-lakinya gak ada yang musuhin. Karena mereka gak perlu lomba gede-gedean biji. Mereka gak perlu ngerasa terintimidasi." menyiratkan bahwa perebutan kekuasaan dalam film ini, bagi Bu Dinda, tak lebih dari adu ego kekanak-kanakan yang memuakkan. Namun sayangnya, Bu Dinda pun tak luput dari jebakan peran pendukung. Kehadirannya lebih sebagai penyokong emosional Edwin saat Edwin kalang kabut di tengah kepungan geng Jefri (atau, sebagai penghantar kritik patriarki yang ingin diutarakan Joko).

Kondisi ini menunjukkan kecenderungan film untuk menempatkan perempuan sebagai figur pelengkap, bukan penggerak. Sebagaimana dikritik Gayatri Spivak, perempuan dalam sistem representasi dominan kerap tak diberi suara untuk berbicara. Mereka menjadi subaltern yang, tidak hanya tertindas, tetapi juga dilenyapkan dari kapasitas bicara dan agensi. Mereka diperlukan untuk menambah kedalaman emosi, bukan menantang struktur kekuasaan.

Ironi yang mengemuka dari semua ini adalah bagaimana film yang mengangkat isu penindasan struktural, baik secara sadar maupun tanpa sadar, justru mereproduksi penindasan simbolik terhadap perempuan di dalam narasinya sendiri. Ini bukan sekadar soal durasi tampil atau jumlah dialog, melainkan tentang siapa yang memegang kendali atas makna, arah cerita, dan pemaknaan atas penderitaan. Di Pengepungan di Bukit Duri, yang memaknai penderitaan perempuan tetaplah laki-laki.

Dengan pendekatan narasi itu, tak sedikit karakter perempuan berakhir menjadi latar, minoritas menjadi suara sumbang yang tak perlu didengar, dan kekerasan, ada kalanya, menjadi gambar. Lantas, apakah Pengepungan di Bukit Duri membawa kita pada kesadaran, atau hanya pada kenikmatan visual atas penderitaan korban?

Kekerasan sebagai Tontonan

Seperti telah disinggung sebelumnya, Pengepungan di Bukit Duri adalah proyeksi 'akibat' -- dan, film umumnya berurusan dengan 'akibat' dari suatu fenomena sosial yang terjadi di dunia nyata (adalah berlebihan menagih solusi atas isu sosial dari sebuah film). Keistimewaan inilah yang dimanfaatkan Joko untuk bercerita dengan longgar dan luwes.

Meskipun banyak dikritik sebagai plot hole, ketidaktahuan penonton atas musabab kerusuhan rasial, bagi saya, justru jadi alat ampuh untuk memberi statement bahwa: tak ada alasan apa pun yang mampu membenarkan/melogiskan tindak kekerasan dan diskriminasi. Sehingga, kalaupun dipaksa mencari 'sesuatu untuk disalahkan', maka akan dengan mudah menunjuk 'sistem' sebagai tersangka utamanya. Trauma terhadap sistem kekerasan yang mencekik masyarakat menjadi tema besar film ini. Trauma membentuk karakter-karakter seperti Edwin dan Silvi, dan menjadi motivasi utama Edwin untuk mencari Jefri. Skema karakter-tujuan-halangan pun disusun berdasarkan luka sosial itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun