Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film

Rhetoric of Victimhood ala Pengepungan di Bukit Duri

26 Agustus 2025   21:26 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4: Edwin saat berdebat dengan Jefri (Sumber: IMDb)

Melalui film ini, Joko sebenarnya tengah membentuk prosthetic memory (memori buatan) yang memungkinkan generasi yang lahir setelah tragedi untuk turut merasakan dan memahami trauma yang tak mereka alami langsung. Film, dalam hal ini, menjadi alat politik ingatan. Ia bukan hanya menuturkan kembali masa lalu, tapi menghubungkannya dengan krisis yang masih hidup hari ini. Lewat Pengepungan di Bukit Duri, Joko menggunakan film sebagai alat perubahan agar masyarakat keluar dari kesadaran palsu dan mulai memahami sejarah bangsanya sendiri secara lebih kritis.

Di tengah potret negara yang gagal, dunia penuh kekerasan, dan kehancuran moral itu, film ini memberi ruang bagi refleksi penonton akan arah masa depan bangsa. Seperti kata Joko dalam beberapa kesempatan promo filmnya, Pengepungan di Bukit Duri adalah seruan 'peringatan'; tentang apa yang pernah terjadi, tentang apa yang bisa terulang, dan tentang pentingnya merawat ingatan.

Bagian I: World Building

Sebelum melaju ke pembahasan soal 'korban', di bagian pertama ini saya akan terlebih dahulu menelusuri dunia cerita (tempat karakter/korban hidup) serta aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Sehingga di bagian selanjutanya kita dapat lebih memahami posisi 'korban' dalam dunia cerita.

Near Future Republik Preman

Pembedahan atas intensi Joko menunjukkan bahwa Pengepungan di Bukit Duri secara khusus ditujukan untuk penonton Indonesia. Karenanya, perlu bagi Joko untuk menghadirkan realitas rekaan yang akrab bagi target penontonnya: sebuah realitas yang terkonstruksi, mencerminkan pola-pola sosial tertentu, untuk sebuah relevansi. Demi relevansi itu, Joko menghadirkan sebuah lanskap kekerasan dan ketertindasan yang pernah terjadi, atau mungkin, masih terjadi di kehidupan nyata. Singkatnya, kekacauan yang disuguhkan Joko bisa saja terjadi di kehidupan nyata. Ini adalah satu keunggulan yang lekat dengan film-film realisme.

Sejalan dengan rhetoric of victimhood, film realisme mampu menciptakan keterlibatan emosional yang kuat dengan penonton sebab ia menyajikan pengalaman yang dapat dipahami dan dapat dihubungkan. Lewat penggambaran kehidupan sehari-hari karakter yang relatable dan aspek-aspek dunia nyata, film realis dapat membangkitkan empati dan resonansi pada tingkat pribadi. Pararel dengan itu, aliran seni ini mampu memberikan kritik sosial dan mengeksplorasi problem psikologis secara mendalam dengan fokus pada keaslian dan kejujuran dalam penggambaran tanpa fantasi atau distorsi.

Lalu, apakah dengan tampilan kekerasan dan ketertindasan, serta poros cerita yang berpusar pada korban atau minoritas, menjadikan Pengepungan di Bukti Duri sebuah realisme?

Secara umum, realisme dalam film adalah upaya menampilkan dunia dan peristiwa sebagaimana adanya, memberi kesan bahwa yang terlihat di layar benar-benar dapat terjadi -- meski dalam praktiknya selalu ada proses seleksi dan interpretasi (pilah-pilih kenyataan mana yang mau direkam).

Setidaknya ada dua pemikir populer yang pernah mengutarakan pandangannya terkait realisme serta prinsipnya: (1) Andr Bazin menekankan kontinuitas ruang-waktu dan teknik (long take, deep focus) yang memberi kebebasan pada realitas untuk hadir; (2) Siegfried Kracauer menyoroti fungsi dokumenter film (kemampuannya merekam gejala sosial dan material dunia nyata).

Contoh kecil penerapan prinsip dari kedua pemikir tersebut, dalam Pengepungan di Bukit Duri, bisa dilihat saat prolog tahun 2009 yang menampilkan long take (adegan Silvi dan Edwin diseret perusuh untuk turun dari bus) yang mempertahankan tensi emosional sekaligus menangkap detail sosial kerusuhan anti-Tionghoa -- perpaduan Bazin dan Kracauer.

Hanya saja, penggunaan time jump (lompatan waktu) dari 2009 ke 2027 berpotensi menjadi "jarak" antara film ini dengan prinsip realisme Bazin dan Kracauer yang menekankan kontinuitas -- kendatipun keduanya tak pernah menolak pendekatan itu secara mutlak. Di titik ini, pandangan Andrei Tarkovsky dapat menjawab. Sutradara Ivan's Childhood (1962) itu menganggap pemadatan waktu dapat mencerminkan ingatan yang traumatis. Tarkovsky memandang waktu di film sebagai materi artistik yang dapat "diukir" untuk mengungkap kebenaran batin tokoh.

Oleh sebab itu, meskipun realitas yang disuguhkan dibalut time jump ke masa depan, Pengepungan di Bukit tidak serta merta menanggalkan jejak-jejak realisme. Realisme adalah soal cara pandang dan pendekatan estetika, bukan waktu atau genre. Realisme dalam film dapat muncul melalui penggunaan mise-en-scne yang meniru kehidupan sehari-hari, karakter yang mengalami konflik sosial-psikologis yang relevan, serta narasi yang dibangun secara kausal dan meyakinkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun