Bila terbukti menyalahgunakan wewenang, menerima suap, atau berpihak pada salah satu peserta, mereka dapat dikenai pidana berdasarkan Pasal 510–523 UU Pemilu.
Â
Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri, dan Kepala Desa
Â
Mereka diwajibkan netral, dan jika terlibat mendukung peserta pemilu, maka bisa dikenai pidana sesuai Pasal 494 UU Pemilu.
Â
Dalam Pasal 280–286 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, disebutkan secara eksplisit bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu adalah pihak yang dapat dikenai sanksi pidana apabila melanggar ketentuan kampanye. Selain itu, Pasal 494 menyasar subjek khusus seperti ASN dan aparat negara.
Â
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa penegakan hukum pemilu tidak hanya menyasar pelaku individu, tetapi juga organisasi yang terlibat dalam pelanggaran yang bersifat sistemik dan masif[4].
Â
Selain individu, partai politik sebagai badan hukum juga dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana dalam pelanggaran pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa subjek hukum tidak terbatas pada pelaku perseorangan. Menurut Lestari dan Yulianto dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik menjadi relevan ketika pelanggaran dilakukan secara kolektif, terstruktur, dan disahkan oleh pengurus partai itu sendiri: