Pendahuluan
- Latar Belakang:
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi yang menjamin partisipasi rakyat dalam menentukan arah pemerintahan. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemilu tidak hanya menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, tetapi juga merupakan proses hukum yang diatur secara ketat oleh peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktiknya, pelanggaran terhadap norma-norma pemilu kerap terjadi, termasuk yang tergolong sebagai tindak pidana pemilu, seperti politik uang, kampanye di luar jadwal, intimidasi pemilih, dan manipulasi hasil suara.
Untuk menjamin integritas pemilu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 telah mengatur berbagai bentuk pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana pemilu, lengkap dengan sanksi pidananya. Namun, tidak semua pelanggaran dapat serta-merta dikenakan sanksi pidana. Diperlukan pemahaman mendalam tentang siapa subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, serta apa bentuk pertanggungjawaban pidana yang sesuai, mengingat tidak hanya individu perorangan, tetapi juga partai politik, penyelenggara pemilu, dan tim kampanye dapat terlibat dalam pelanggaran tersebut.
Secara teori, pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana umum menuntut adanya kesalahan (mens rea), perbuatan melawan hukum (actus reus), dan adanya subjek hukum yang sah. Dalam konteks pemilu, penerapan prinsip ini menjadi kompleks karena pelanggaran kerap dilakukan secara kolektif, sistematis, dan tersembunyi. Menurut Teguh Prasetyo:
“Politik uang dalam pemilu merupakan kejahatan terhadap demokrasi karena merusak asas keadilan dan rasionalitas pemilih, serta mengubah orientasi elektoral menjadi transaksional.” [1]
Selain itu, pelanggaran pemilu tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, tetapi juga oleh entitas kolektif seperti partai politik dan tim sukses. Namun, hingga kini, pendekatan hukum terhadap pelanggaran tersebut masih belum maksimal. Harefa mencatat bahwa:
“Rendahnya efektivitas penanganan tindak pidana pemilu salah satunya disebabkan oleh lemahnya koordinasi penegak hukum dalam Sentra Gakkumdu dan keterbatasan dalam pembuktian unsur pidana.” [2]
Hal ini menjadi perhatian serius karena jika dibiarkan, akan melemahkan kepercayaan publik terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Oleh karena itu, kajian mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran pemilu, terutama dari sisi siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban (subjek hukum) dan apa bentuk sanksinya, sangat penting untuk memperkuat penegakan hukum pemilu di Indonesia.