Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar

21 Juli 2025   22:15 Diperbarui: 21 Juli 2025   22:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puisi Chairil tentang Mirat muda adalah contoh katarsis yang jujur namun tidak destruktif. Ia tidak mengumbar tubuh atau tindakan, tapi menggetarkan batin dengan sugesti dan atmosfer. Pembaca yang pernah jatuh cinta, tersesat dalam hasrat, atau gagal mengungkap rasa, akan merasakan pelepasan emosional melalui larik-lariknya. Chairil tidak menuliskan tubuh Mirat---ia menuliskan jejaknya di jiwa.

2. Sublimasi: Merawat Hasrat Menjadi Makna

Sublimasi adalah proses psikoanalitik di mana dorongan primitif---seksual, agresif, atau destruktif---diubah menjadi ekspresi kreatif atau sosial yang bernilai. Freud menempatkannya sebagai fondasi dari kebudayaan itu sendiri. Tanpa sublimasi, tidak akan ada seni, sains, atau bahkan agama.

Namun sublimasi hanya mungkin bila masyarakat menyediakan ruang untuk ekspresi simbolik yang tidak dihukum atau dicemooh. Bila semua dorongan dikriminalisasi atau dipermalukan, masyarakat kehilangan potensi transformatifnya.

Cerpen Di Bawah Atap Lobo memberikan contoh modern dari sublimasi kolektif yang hampir punah. Di tengah tekanan adat dan trauma personal, para tokohnya tidak meledak dalam vulgaritas atau kekerasan, melainkan larut dalam kesunyian simbolik, dalam tatapan, dalam ketegangan yang tidak terucap. Narasi seperti ini adalah ruang sublimatif---di mana pembaca bisa mengalami konflik terdalam manusia tanpa merasa dihakimi.

3. Seni sebagai Cermin Etis, Bukan Mimbar Moral

Seni yang menyembuhkan bukanlah yang menggurui, tapi yang menggugah. Ia tidak menunjukkan arah secara eksplisit, tapi menyodorkan cermin---cermin yang retak, mungkin, namun justru memungkinkan kita melihat sisi-sisi tersembunyi dari kemanusiaan kita.

Dengan demikian:

  • Seni tidak menghalalkan sisi gelap manusia, tapi ia membawanya ke cahaya refleksi.

  • Seni tidak menormalisasi hasrat tabu, tapi ia menempatkannya dalam konteks yang bisa diolah, ditafsirkan, dan ditransformasikan.

  • Seni tidak mengajari moral, tapi ia memancing kejujuran batin, sebagai fondasi dari etika sejati.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun