Di titik inilah seni dan literasi emosional bertemu: seni memberi bentuk bagi rasa, dan literasi emosional memberi makna bagi bentuk itu. Bersama-sama, keduanya menciptakan budaya baru yang berani jujur tapi tidak norak, berani gelap tapi tidak brutal.
3. Kelas dan Komunitas sebagai Ruang Eksperimen Kemanusiaan
Pendidikan tidak selalu harus di sekolah. Komunitas seni, ruang baca, sanggar puisi, hingga lokakarya menulis trauma---semua bisa menjadi laboratorium kecil untuk membangun masyarakat simbolik. Bahkan media sosial, jika diarahkan dengan estetika dan kurasi yang matang, bisa menjadi ruang baru untuk menyuarakan luka tanpa menjadikannya tontonan murahan.
Yang dibutuhkan adalah:
Fasilitator yang peka, bukan guru yang menggurui.
Ruang yang aman, bukan panggung untuk unjuk penderitaan.
Narasi yang berlapis, bukan narasi hitam-putih.
Pendidikan seni dan literasi emosional bukan lagi kebutuhan tambahan di zaman ini. Ia adalah jalan tengah yang esensial di tengah masyarakat yang kehilangan cara bersuara tanpa berteriak, atau menahan tanpa meledak.
"Anak-anak tak perlu diajari menjadi seniman. Mereka hanya perlu tidak dilatih menjadi sensor otaknya sendiri."
C. Mendorong Narasi Publik yang Mengangkat Luka dan Hasrat Manusia dengan Etis dan Estetis
Setiap zaman memiliki kisah-kisah luka dan hasratnya sendiri. Bedanya, cara zaman itu bercerita---itulah yang menentukan apakah masyarakat tumbuh dewasa atau justru makin gamang. Dalam masyarakat modern yang dijejali oleh algoritma, politik identitas, dan kapitalisasi emosi, tantangan utama kita adalah menghidupkan kembali narasi publik yang mampu memanusiakan manusia---dalam seluruh gelap dan cahayanya---tanpa menjatuhkannya ke jurang vulgaritas atau represi.