Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar

21 Juli 2025   22:15 Diperbarui: 21 Juli 2025   22:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

B. Contoh dari Mitologi, Tragedi Yunani, Wayang, dan Hikayat Timur Tengah

Dalam sejarah peradaban, narasi simbolik dan metaforis menjadi fondasi komunikasi nilai, konflik, dan sisi gelap manusia---bukan dengan maksud menormalisasi kekacauan, tetapi sebagai medium untuk menyelami dan menundukkannya. Kisah-kisah ini tidak mengumbar, namun menyimpan letupan batin dalam selubung estetika dan alegori yang tajam.

1. Mitologi Yunani: Dosa dan Takdir dalam Simbol Abadi

Ambil contoh kisah Oedipus. Ia membunuh ayahnya dan menikahi ibunya---dua dosa tabu terbesar dalam hampir semua kebudayaan. Namun Sophocles tidak menyajikan kisah ini sebagai pornografi atau pembangkangan vulgar. Ia membingkainya dalam takdir, nubuat, dan tragedi. Pembaca atau penonton tidak sedang menikmati incest dan pembunuhan, tetapi sedang diajak merenungkan keterbatasan manusia di hadapan kehendak ilahi, kekuatan bawah sadar, dan konsekuensi dari keangkuhan.

Tragedi Yunani berfungsi sebagai ritual kolektif penyadaran, bukan tontonan kekerasan atau kenikmatan tersembunyi. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak bisa kabur dari dirinya sendiri, dan bahwa luka paling dalam tidak selalu berasal dari luar, tapi dari dalam rumah, dari darah sendiri.

2. Wayang: Konflik Hasrat dan Dharma dalam Simbol Estetik

Dalam khazanah Nusantara, wayang adalah puncak simbolisme. Lakon seperti Dewa Ruci atau Bharatayudha mengandung konflik eksistensial, cinta terlarang, bahkan pengkhianatan politik berdarah---namun disampaikan dengan bahasa kias, dialog filosofis, dan ekspresi tubuh halus.

Contohnya, tokoh Gatotkaca---anak dari hubungan antara Bima dan Arimbi, seorang raksasa wanita---adalah hasil dari hubungan yang secara sosial tidak lazim. Namun dalam wayang, hubungan ini tidak diadili secara vulgar atau moralistik, tetapi menjadi bagian dari narasi besar tentang takdir, keberanian, dan keterasingan.

Wayang mengizinkan penonton merenung bersama alur yang lambat dan puitik, memberi ruang untuk menyublimasi konflik batin menjadi pelajaran moral, spiritual, atau politik.

3. Hikayat Timur Tengah: Sensualitas dalam Bingkai Religius

Kitab-kitab seperti Alf Layla wa Layla (Seribu Satu Malam) berisi kisah-kisah yang penuh sensualitas, hasrat, dan kecemburuan. Namun semuanya disampaikan dalam bingkai simbolik, alegoris, dan sastrawi. Misalnya, kisah Shahrazad bukan hanya kisah erotika, tetapi strategi penyintas perempuan cerdas di tengah tirani dan misogini.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun