Cerpen ini memang tidak vulgar dalam bentuknya. Tapi berbeda dengan Chairil yang menyublimasikan sensualitas ke dalam benturan kata dan sunyi, Di Bawah Atap Lobo lebih memilih jalan keterusterangan yang hati-hati namun tetap frontal. Pembaca diajak langsung menatap luka dan desir hasrat yang tak bisa dihapus oleh waktu atau norma. Dialog batin, ruang simbolik rumah adat, serta nuansa remang malam desa Pipikoro menjadi panggung bagi drama eksistensial antara dua jiwa yang pernah menyatu---dan kini harus berdamai di hadapan tradisi yang tak mengenal maaf tanpa ritual.
Namun di titik inilah letak kekurangan sekaligus keberaniannya:
Cerita ini tidak sepenuhnya menyublimasi, tapi juga tidak jatuh menjadi pengakuan vulgar. Ia berada di tengah---jujur tapi belum cukup puitis, berani tapi belum cukup menjadikan luka sebagai seni yang sublim. Ini bukan kritik estetika, melainkan observasi terhadap posisi naratifnya: Di Bawah Atap Lobo adalah representasi dari karya kontemporer yang ingin jujur, ingin berani menyentuh luka manusia yang terdalam, namun masih mencari bentuk simbolik yang bisa membawa pembaca masuk lebih dalam---tanpa perlu menunjuk secara telanjang.
Di satu sisi, ini adalah refleksi dari masyarakat modern kita---lebih terbuka dalam menyebut hal-hal tabu, namun sering kali kehilangan kedalaman ekspresinya. Di sisi lain, cerpen ini tetap menjadi contoh penting bahwa karya sastra kontemporer bisa berbicara tentang hasrat, luka, cinta yang tersembunyi, dan konflik antara personalitas dengan adat---tanpa menjadikannya konsumsi murahan.
Cerita ini adalah jembatan: antara tradisi simbolik sastra lama yang puitis dan sublim, dengan narasi baru yang jujur dan kritis. Ia membuka ruang untuk membahas sisi-sisi tergelap manusia dalam konteks budaya lokal, tanpa harus menjadi pamflet moral atau pertunjukan nafsu.
Dan justru di titik inilah, kita mulai bisa melihat mengapa penting membangun masyarakat simbolik-artistik---sebuah masyarakat yang berani mengangkat luka dan hasrat manusiawi, tapi dengan kedalaman simbol dan estetika yang menjaga nilai dan martabat pembacanya.
C. Perbandingan antara Ekspresi Simbolik vs Ekspresi Literal
Di antara dua karya---Mirat Muda, Chairil Muda dan Di Bawah Atap Lobo---terbentang dua kutub pendekatan dalam menyampaikan sisi gelap dan dalam dari kemanusiaan: ekspresi simbolik dan ekspresi literal.
1. Ekspresi Simbolik: Menyublimasi Luka menjadi Estetika
Chairil Anwar, dalam puisinya, tidak menyebutkan persetubuhan secara vulgar. Ia tidak mengumbar tubuh atau gerakan. Ia justru membingkai peristiwa itu dalam suasana, dalam kata-kata yang bergetar, dalam ketegangan antara gairah dan pengorbanan. "Kita berbaring berpeluk-peluk / seperti sepasang kekasih tua yang kelelahan bercinta dan bicara..." --- metafora seperti ini bukan untuk menyamarkan, tapi justru untuk menyalurkan dan menaikkan pengalaman sensual ke ranah refleksi estetis.
Simbolisme tidak membungkam. Ia justru melindungi makna, membuat pembaca merasa, bukan sekadar tahu. Dalam simbol, tabu tidak dihapuskan---ia diolah, dibingkai, dan dijadikan bagian dari perjalanan eksistensial manusia. Inilah fungsi sublimasi dalam seni, yang oleh Freud bahkan disebut sebagai jalan mulia bagi dorongan naluriah yang tidak tersalurkan.
2. Ekspresi Literal: Kejujuran yang Terkadang Kehilangan Lapisan