1. Narasi yang Mengajak Merenung, Bukan Menyentak
Kita perlu keluar dari dua kutub ekstrem narasi:
Di satu sisi: sensasionalisme media yang mengobral luka sebagai komoditas clickbait.
-
Di sisi lain: moralitas kaku yang menyapu rapi setiap hasrat dan trauma ke bawah karpet tabu.
Narasi yang etis dan estetis bukanlah narasi yang menutup-nutupi kenyataan, tetapi narasi yang mengolah kenyataan menjadi ruang refleksi, bukan sekadar konsumsi.
Contoh:
Cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga yang ditulis dengan sudut pandang anak, bukan hanya untuk menggugah, tapi untuk memahami pola trauma.
Film tentang hasrat terlarang yang tidak menjadikan tubuh sebagai obyek, melainkan menggali psikologi karakter dalam balutan simbol, ritme, dan metafora.
Narasi seperti ini tidak menutupi luka, tapi juga tidak mengeksploitasinya. Ia merawat.
2. Peran Media dan Budaya Populer sebagai Cermin Kolektif
Media arus utama dan budaya populer memiliki daya jangkau luar biasa. Bila dimanfaatkan dengan visi kemanusiaan, ia bisa menjadi cermin kolektif yang membantu masyarakat mengenali bayangannya sendiri---bukan menertawakan atau mengutuknya, tapi berdialog dengannya.