1. Represi Psikologis: Luka yang Tidak Diolah Menjadi Bom Waktu
Psikologi modern, sejak Freud hingga Jung, telah menekankan bahwa segala hal yang ditekan terlalu dalam tanpa ventilasi artistik akan muncul kembali dalam bentuk yang lebih destruktif. Entah sebagai gejala psikosomatik, perilaku kompulsif, kekerasan domestik, atau pelarian adiktif (narkoba, pornografi, konsumtivisme).
Ketika seseorang hidup dalam masyarakat yang melabeli gejolak batinnya sebagai dosa atau aib, tapi tidak memberinya ruang untuk mengolah dan menyalurkan secara simbolik, maka gejolak itu akan mencari jalan keluar yang lebih tidak terkendali.
Singkatnya:
Yang tidak disublimasi, akan meledak.
Yang tidak dinarasikan, akan menyakiti.
2. Hipokrisi Kolektif: Antara Larangan dan Kenyataan
Lihatlah fenomena sosial hari ini:
Masyarakat melarang pembicaraan tentang seksualitas, tapi mengonsumsi konten sensual secara diam-diam.
Mengagungkan kesetiaan dan tata adat, tapi menyembunyikan perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, dan trauma lintas generasi.
Mengecam seniman yang bicara soal luka batin dan hasrat, tapi mengidap luka serupa dalam diam dan merasa sendirian.
Ini bukan sekadar kemunafikan, melainkan ketakutan kolektif terhadap kejujuran emosional. Hipokrisi tumbuh bukan karena masyarakat jahat, tapi karena mereka tidak dibekali medium estetis yang aman untuk mengolah kompleksitas dirinya.
Maka, disfungsi sosial pun mengakar: