Jawaban paling jujur mungkin karena manusia tidak utuh tanpa gelapnya. Kita bukan hanya makhluk yang ingin mencintai dan dicintai, tapi juga makhluk yang bisa membenci, menyakiti, dan tersesat. Cerita-cerita yang hanya memuja terang akan terasa hampa, tidak lengkap. Sebaliknya, cerita yang berani menatap kegelapan---tanpa harus tenggelam di dalamnya---justru menjadi cermin paling jujur tentang siapa kita.
Dari tragedi Oedipus yang menikahi ibunya, Draupadi yang dipertaruhkan dalam Mahabharata, hingga kisah Nabi Yusuf yang digoda Zulaikha---kisah-kisah itu tak hanya menjadi hiburan, tapi ladang refleksi, tempat peradaban menggumulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Apa batas antara cinta dan hasrat?
Antara kewajiban dan kebebasan?
Antara pengampunan dan pelanggaran?
Sastra, mitos, dan cerita rakyat sejak dahulu menjadi ruang aman untuk menyelami yang tak bisa dikatakan secara langsung. Masyarakat tradisional sering kali membicarakan topik tabu---seperti incest, bunuh diri, atau pengkhianatan---melalui metafora, simbol, atau struktur naratif yang tidak frontal. Ini bukan bentuk pengecutan, melainkan strategi sublimasi budaya: bagaimana sisi gelap manusia bisa diolah, bukan dibungkam; diselami, bukan dijauhi.
Kisah adalah cara manusia mendamaikan dirinya sendiri. Kita menuliskan penderitaan, kegilaan, bahkan kekacauan, bukan karena kita mengagunginya, tapi karena kita takut padanya. Cerita menjadi ritus eksorsisme kolektif, tempat kita melepaskan hantu-hantu internal yang tak bisa diusir dengan hukum atau doktrin.
Di era modern, banyak narasi populer justru gagal memahami ini. Mereka terlalu cepat menuduh atau terlalu naif mengagungkan. Akibatnya, sisi gelap manusia diperlakukan dengan cara yang salah: disensor atau dieksploitasi. Padahal, yang gelap tidak selalu jahat; dan yang jahat tidak selalu sepenuhnya gelap.
Esai ini ingin menghidupkan kembali tradisi artistik dan simbolik untuk menatap sisi gelap manusia dengan berani, bukan untuk menormalisasi, tapi untuk menyembuhkan. Kita percaya bahwa kejujuran emosional dan kehalusan artistik bisa berdamai, dan bahwa masyarakat masa depan perlu belajar dari warisan naratif masa lalu---agar lebih jujur tanpa menjadi vulgar, lebih terbuka tanpa kehilangan rasa hormat pada yang sakral.
B. Fantasi Tabu sebagai Bagian dari Imajinasi dan Luka Manusia
Tidak semua yang terbayang dalam kepala manusia lahir dari keinginan untuk bertindak. Sebagian besar justru tumbuh dari ketakutan, luka, atau kerinduan yang tak tersalurkan. Fantasi-fantasi tabu---entah tentang incest, kekerasan, pengkhianatan, atau hasrat yang melampaui batas sosial---bukanlah cermin kehendak, melainkan gema dari ruang psikis terdalam tempat manusia menggumulkan kerumitannya sebagai makhluk yang berpikir, merasa, dan terasing sekaligus.
Dalam psikologi, fantasi bukanlah delik, melainkan proses internalisasi dan sublimasi. Ia dapat menjadi tempat perlindungan bagi trauma yang belum selesai, atau laboratorium imajinatif untuk menguji batas-batas moralitas, identitas, dan hasrat. Freud sudah menandainya sejak awal bahwa hasrat terdalam manusia sering kali bersinggungan dengan larangan terdalam masyarakat. Justru karena terlarang, ia menggoda. Justru karena menggoda, ia menjadi simbol kekuatan batin yang belum selesai ditebus.
Fantasi tabu tidak selalu berakar dari niat jahat. Banyak dari fantasi itu lahir dari ketimpangan emosional masa kecil, relasi kekuasaan yang rumit, atau represi berlapis. Dalam konteks ini, imajinasi manusia adalah arsip luka: mencatat apa yang hilang, dirindukan, atau dipendam. Fantasi menjadi semacam bahasa bisu untuk mengatakan hal-hal yang tak sempat diucapkan di ruang sadar.
Namun di sinilah letak kegentingan modernitas. Ketika masyarakat kehilangan ruang simbolik-artistik untuk menyalurkan atau mengolah fantasi ini secara metaforis, maka dua kutub ekstrem muncul: sensor represif dan eksploitasi vulgar. Yang satu mengubur, yang lain menjual. Keduanya gagal memahami bahwa fantasi tidak untuk ditindas atau dirayakan, melainkan untuk dimaknai.