Kita tidak butuh lebih banyak narasi yang mengeksploitasi sisi gelap manusia. Kita butuh narasi yang menggendong kegelapan itu menuju terang, dengan etika dan estetika sebagai dua sayapnya.
"Karena manusia bukan hanya makhluk yang berpikir dan bekerja. Ia juga makhluk yang merindu, terluka, dan ingin dimengerti---dan seni adalah bahasa yang ia gunakan ketika semua kata gagal."
VI. Penutup: Bercermin Lewat Bayang-Bayang
A. Mengapa Kita Butuh Bayangan untuk Mengenali Diri
Bayangan bukan sekadar kegelapan yang menempel pada cahaya, tetapi refleksi tak terhindarkan dari keberadaan kita yang utuh. Dalam psikologi Jung, bayangan adalah bagian dari diri yang disangkal, ditekan, atau disembunyikan---namun selalu mengikuti, menuntut dikenali. Dalam seni dan sastra, bayangan itu menjelma dalam karakter yang gagal, cinta yang tak sampai, hasrat yang ditindas, dan luka yang menganga. Semua itu bukanlah sesuatu untuk ditakuti, tapi untuk diakui sebagai bagian dari kemanusiaan.
Di sinilah letak kekuatan simbolik-artistik: ia tidak mengusir bayangan, tapi membingkainya. Puisi Chairil tidak menjinakkan gairahnya, tapi menyublimkannya dalam diksi yang liar namun elegan. Cerpen Di Bawah Atap Lobo tidak menutup luka, tapi menatanya dalam ruang adat yang sunyi dan penuh makna. Dua dunia ini---yang seolah berjarak dekade dan genre---bertemu dalam kesadaran bahwa kita hanya bisa dewasa sebagai masyarakat jika kita berani bercermin lewat bayang-bayang.
Sebuah masyarakat yang menolak sisi gelapnya sendiri akan:
mengadili sebelum mengerti,
menertawakan sebelum mendengar,
menyensor sebelum merenung.
Sebaliknya, masyarakat yang bersahabat dengan bayangannya akan: