Sementara itu, Di Bawah Atap Lobo memilih jalan ekspresi yang lebih literal, meski tetap menjaga nada dan atmosfernya. Cerita tidak menyamarkan luka lama sebagai simbol---ia hadir sebagai cerita langsung tentang cinta yang pernah melawan adat. Tokoh-tokohnya bernama, konfliknya disebut, dan luka dibuka perlahan tanpa tirai puisi.
Ekspresi literal memiliki keunggulan dalam keterhubungan emosional yang lebih langsung. Pembaca merasa lebih dekat dengan realitas cerita, karena konflik dan trauma hadir apa adanya. Namun kekurangannya, jika tidak ditopang oleh gaya bahasa yang dalam dan ruang reflektif yang cukup, ekspresi literal bisa menjadi terlalu telanjang---dan kehilangan keheningan batin yang biasanya menyertai simbolisme.
3. Bukan tentang Benar atau Salah, tapi tentang Kedalaman
Dari sini, kita melihat bahwa yang penting bukan hanya apa yang disampaikan, tapi bagaimana. Simbolisme dan literalisme adalah dua alat, dua bahasa. Simbolisme menggali kedalaman melalui lapisan makna. Literalisme menggugah empati melalui kejujuran.
Namun, untuk membicarakan hal-hal yang tabu, gelap, dan liar dalam kemanusiaan---simbolisme punya keunggulan: ia mampu menjadikan rasa bersalah, gairah, dan ambiguitas sebagai bahan bakar estetika. Sedangkan ekspresi literal, jika tidak hati-hati, bisa terjerumus pada dua ekstrem: menjadi sensasional atau menjadi dangkal.
Masyarakat yang dewasa secara budaya dan emosi akan tahu kapan harus menyimbolkan, dan kapan harus menyebut. Ia tidak menolak keterusterangan, tapi juga tidak meninggalkan kedalaman makna.
III. Masyarakat Modern: Antara Vulgaritas dan Represi
A. Mengapa Masyarakat Kini Sering Gagal Mengolah Gejolak dalam Bentuk Estetis
Di tengah kemajuan teknologi dan arus informasi yang tanpa jeda, masyarakat modern justru kerap kehilangan kepekaan estetik dalam menghadapi gejolak terdalam dirinya. Alih-alih menyublimasi keresahan, hasrat, atau luka menjadi seni yang reflektif, banyak ekspresi hari ini terjebak dalam dua ekstrem yang sama-sama buntu: vulgaritas dan represi.
1. Kehilangan Tradisi Simbolik
Dunia tradisional, sebagaimana tampak dalam legenda, mitos, dan hikayat, memiliki satu perangkat penting dalam menghadapi realitas yang pahit dan tabu: simbol. Ketika membicarakan hasrat terlarang, konflik batin, atau peristiwa berdarah, masyarakat tradisional tidak menyajikannya secara mentah. Ia menyisipkannya dalam tokoh mitos, bayangan, dan irama bahasa yang dalam. Inilah yang membuat cerita Oedipus, Mahabharata, hingga Seribu Satu Malam tetap hidup ribuan tahun---karena ia memberi ruang bagi jiwa untuk mencerna, bukan hanya melihat.