Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar

21 Juli 2025   22:15 Diperbarui: 21 Juli 2025   22:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sementara itu, Di Bawah Atap Lobo memilih jalan ekspresi yang lebih literal, meski tetap menjaga nada dan atmosfernya. Cerita tidak menyamarkan luka lama sebagai simbol---ia hadir sebagai cerita langsung tentang cinta yang pernah melawan adat. Tokoh-tokohnya bernama, konfliknya disebut, dan luka dibuka perlahan tanpa tirai puisi.

Ekspresi literal memiliki keunggulan dalam keterhubungan emosional yang lebih langsung. Pembaca merasa lebih dekat dengan realitas cerita, karena konflik dan trauma hadir apa adanya. Namun kekurangannya, jika tidak ditopang oleh gaya bahasa yang dalam dan ruang reflektif yang cukup, ekspresi literal bisa menjadi terlalu telanjang---dan kehilangan keheningan batin yang biasanya menyertai simbolisme.

3. Bukan tentang Benar atau Salah, tapi tentang Kedalaman

Dari sini, kita melihat bahwa yang penting bukan hanya apa yang disampaikan, tapi bagaimana. Simbolisme dan literalisme adalah dua alat, dua bahasa. Simbolisme menggali kedalaman melalui lapisan makna. Literalisme menggugah empati melalui kejujuran.

Namun, untuk membicarakan hal-hal yang tabu, gelap, dan liar dalam kemanusiaan---simbolisme punya keunggulan: ia mampu menjadikan rasa bersalah, gairah, dan ambiguitas sebagai bahan bakar estetika. Sedangkan ekspresi literal, jika tidak hati-hati, bisa terjerumus pada dua ekstrem: menjadi sensasional atau menjadi dangkal.

Masyarakat yang dewasa secara budaya dan emosi akan tahu kapan harus menyimbolkan, dan kapan harus menyebut. Ia tidak menolak keterusterangan, tapi juga tidak meninggalkan kedalaman makna.

III. Masyarakat Modern: Antara Vulgaritas dan Represi

A. Mengapa Masyarakat Kini Sering Gagal Mengolah Gejolak dalam Bentuk Estetis

Di tengah kemajuan teknologi dan arus informasi yang tanpa jeda, masyarakat modern justru kerap kehilangan kepekaan estetik dalam menghadapi gejolak terdalam dirinya. Alih-alih menyublimasi keresahan, hasrat, atau luka menjadi seni yang reflektif, banyak ekspresi hari ini terjebak dalam dua ekstrem yang sama-sama buntu: vulgaritas dan represi.

1. Kehilangan Tradisi Simbolik

Dunia tradisional, sebagaimana tampak dalam legenda, mitos, dan hikayat, memiliki satu perangkat penting dalam menghadapi realitas yang pahit dan tabu: simbol. Ketika membicarakan hasrat terlarang, konflik batin, atau peristiwa berdarah, masyarakat tradisional tidak menyajikannya secara mentah. Ia menyisipkannya dalam tokoh mitos, bayangan, dan irama bahasa yang dalam. Inilah yang membuat cerita Oedipus, Mahabharata, hingga Seribu Satu Malam tetap hidup ribuan tahun---karena ia memberi ruang bagi jiwa untuk mencerna, bukan hanya melihat.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun