Lima daun pintu, bengkok seiring bertambahnya usia. Setiap pagi, dengan kandung kemih penuh dan sebagainya, aku mengutuk pintu-pintu itu saat berjalan berjinjit dari kamar tidur kita yang menghadap ke jalan menuju kamar mandi, bersembunyi di balik bayang-bayang di belakang.
Ini adalah bangunan lama. Ini adalah rumah baru kita. Bau apek, kayunya gelap, tidak masuk akal tentang tata letaknya yang kuno.
Rumah ini adalah yang tertua di kota kita. Aku bercanda bahwa bangunan ini akan tenggelam karena banjir kenangan yang terlupakan.
Dia tidak tersenyum. Sudah lama sejak terakhir dia menyunggingkan bibirnya.
Benar, kita menginginkan sesuatu selama bertahun-tahun. Sesuatu untuk dikerjakan, sesuatu yang punya potensi. Sebuah lompatan, langkah, menuju masa depan yang cerah. Impian kita, rumah kita sendiri di perbukitan hijau.
Bukankah kita sudah sepakat mengenai hal ini? Namun, bukan pintunya yang dibiarkan mencekik kita. Aku selalu menemukan pintu-pintu itu lebih sering tertutup daripada tidak, membatasi ruang-ruang bercat putih yang lebih tidak masuk akal lagi.
Lima penjaga gerbang kuno.Â
Lemari di ruang makan terbuka dengan panel kaca kuning buram yang diukir dengan bunga dan burung merak Tiongkok. Burung merak yang tulangnya terbuat kristal, bergetar setiap aku membuka kedua bagiannya, seolah-olah mereka tidak ingin melepaskan rahasia yang telah mereka simpan selama ini.
Tapi aku yang tinggal di sini sekarang. Aku akan berteriak. Kamu boleh mengerang dan menolak mengalah, tapi aku akan mendorong dan kamu akan membukanya.
Tentu saja aku harus berhati hati. Kalau tidak, dia akan memarahiku.