Dari Mirat Muda ke Di Bawah Atap Lobo: Membangun Masyarakat Simbolik-Artistik yang Jujur Tapi Tidak Vulgar
Abstrak
Dalam sejarah peradaban, hasrat manusia yang paling kelam dan liar bukanlah hal asing---ia hadir di balik tirai simbol, mitos, seni, dan sastra. Esai ini menelusuri bagaimana ekspresi sisi gelap kemanusiaan, seperti hasrat erotik dan fantasi tabu, disublimasikan secara estetis dalam puisi Mirat Muda, Chairil Muda, lalu dibandingkan dengan kecenderungan kontemporer seperti dalam cerita Di Bawah Atap Lobo di Kompasiana. Di tengah masyarakat modern yang cenderung vulgar atau sebaliknya hipokrit, muncul kebutuhan untuk membangun masyarakat simbolik-artistik---sebuah ruang kultural yang memberi tempat bagi keterusterangan emosional dan sensualitas manusiawi tanpa kehilangan kedalaman, keindahan, dan etika. Esai ini menawarkan refleksi kritis lintas waktu, sekaligus gagasan formatif untuk merehabilitasi relasi manusia dengan sisi gelapnya---melalui seni yang jujur, lembut, dan membebaskan.
Latar Belakang Sastrawi
"Bangsa yang dewasa bukanlah bangsa yang menolak bayangan, melainkan bangsa yang bersedia bercermin di dalamnya."
Sejak peradaban awal, manusia telah menjinakkan gelap lewat bahasa. Hasrat yang tabu, cinta yang mustahil, luka yang dipendam---semuanya hidup dalam seni dan sastra sebagai bentuk sublimasi, bukan penghakiman. Dalam tragedi Yunani, Mahabharata, hingga hikayat Timur Tengah, tema incest, pengkhianatan, pembunuhan, dan cinta terlarang hadir bukan untuk ditonton secara vulgar, melainkan untuk ditafsirkan secara reflektif.
Di Indonesia, kita menemukan kesinambungan semangat itu dalam karya seperti Mirat Muda, Chairil Muda oleh Chairil Anwar, puisi yang menggambarkan pergulatan sensual dan eksistensial antara dua manusia muda. Tanpa menyebut secara eksplisit tentang hubungan seksual, Chairil membalut pengalaman itu dalam metafora dan ketakutan yang dalam. Sentuhan tubuh menjadi gema dari ketakutan akan perpisahan dan kematian. Puisi ini bukan tentang tubuh semata, melainkan tentang kehilangan, keberanian mencinta, dan kepasrahan yang luhur.
Semangat yang sama muncul kembali dalam karya kontemporer seperti Di Bawah Atap Lobo karya Taufiq Agung Nugroho (Kompasiana, 15 Juli 2025). Cerita ini menghadirkan tokoh utama yang terjebak antara adat, cinta lama, dan luka spiritual dalam latar desa adat Pipikoro. Lobo---rumah adat yang menyimbolkan kejujuran batin budaya---menjadi ruang di mana konflik lama tak bisa lagi disembunyikan. Cinta lama dihidupkan bukan untuk mengundang sensasi, tapi untuk memaksa komunitas---dan pembaca---berpikir ulang tentang relasi antara norma dan pengampunan.
Dengan simbolisme yang halus, narasi ini menghidupkan pertanyaan tentang bagaimana manusia menghadapi masa lalu, apakah luka bisa ditebus, dan sejauh mana adat mampu mengerti desir hati.
Justru dalam keterbatasan ekspresi lahir kejujuran yang lebih dalam. Di tangan Chairil dan Taufiq, kita tidak diajak menonton, tapi merenung. Tidak diajak menghakimi, tapi mendengarkan sunyi yang bergema dari dalam dada karakter-karakternya.
Keduanya menjadi contoh bahwa seni dan simbol mampu membicarakan hal-hal paling gelap dan manusiawi tanpa menjadi murahan atau moralistik. Sebuah warisan estetika yang kini perlu kita hidupkan kembali dalam masyarakat yang terlalu serin