\
Kegagalan Timnas Indonesia U-23 lolos ke putaran final Piala Asia U-23 2026 menjadi cerita yang terasa getir di periode jeda internasional bulan September 2025.
Bermain di kandang sendiri, tim yang menjadi semifinalis edisi sebelumnya dipaksa menelan pil pahit.
Meski menang 5-0 atas Makau, kekalahan 0-1 dari Korea Selatan dan hasil imbang tanpa gol atas Laos menunjukkan secara jujur, mengapa pemain dari liga domestik belum cukup mampu berkembang, dan pemain diaspora yang pindah ke Liga Indonesia terlihat menurun, ketika ditangani pelatih yang mengedepankan taktik dan teknik seperti Gerald Vanenburg.
Jika mengesampingkan kemenangan 5-0 atas Makau, yang secara keseluruhan selalu kalah dan total kebobolan 13 gol di 3 pertandingan, masalah performa memang terlihat dalam laga melawan Laos dan Korea Selatan.
Di dua pertandingan ini, Kadek Arel dkk memang unggul dalam penguasaan bola. Para pemain mulai bisa mengalirkan operan, bahkan di ruang sempit, tapi mereka terlihat buntu di lini depan, dan tak bisa mencetak gol.
Parahnya, Timnas U-23 tak bisa membuat satu pun tendangan ke gawang di laga melawan Korea Selatan. Masalah kreasi peluang juga terjadi saat bermain 0-0 melawan Laos, dengan tim hanya bisa membuat dua tendangan ke gawang..
Kalau melihat bagaimana alur berpikir PSSI, yang mendatangkan gerbong tim pelatih dari Belanda menggantikan Shin Tae-yong, sebenarnya ini adalah rencana pergantian fase, kalau tak boleh dibilang naik kelas.
Dari fase pembentukan fisik, termasuk stamina di era STY, yang sudah berjalan selama kurang lebih lima tahun, ada rencana peralihan fokus, ke taktik dan teknik. Pergantian fase ini biasa terjadi, khususnya di tim yang sudah matang secara fisik, karena fisik adalah aspek mendasar.
Masalahnya, Timnas U-23 belum cukup stabil di aspek ini. Terbukti, Gerald Vanenburg beberapa kali mengeluhkan soal stamina pemain. Entah kenapa, para pemain seperti kembali ke setelan pabrik: rawan kram otot atau kehabisan bensin di setengah jam terakhir pertandingan.
Padahal, taktik ala Eropa yang rumit seperti "Total Football" atau gaya pragmatis sekalipun butuh stamina dan kondisi maksimal untuk bisa berjalan efektif. Selain stamina, belum semua pemain cukup siap untuk menjalankan strategi yang rumit, lengkap dengan berbagai variasinya.
Inilah yang membuat Gerald Vanenburg cenderung mengadopsi taktik sederhana, seperti lemparan jauh atau umpan silang. Dengan waktu persiapan yang mepet, pelatih asal Belanda ini tak bisa leluasa menerapkan ide-idenya.