Dari perspektif teori konflik, kontrol terhadap moralitas dalam masyarakat sering kali bukan sekadar perkara agama, tetapi juga bentuk kekuasaan sosial. Dalam banyak kasus, elite agama dan politik menggunakan norma-norma keagamaan sebagai instrumen untuk mengontrol perilaku publik, menentukan mana yang dianggap "beradab" dan mana yang "menyimpang".
Sebagai respons, sebagian individu---terutama dari kelompok yang merasa tertindas atau dikontrol secara berlebihan---memilih untuk menentang norma yang ada dengan cara yang provokatif. Mengonsumsi makanan di siang hari secara terang-terangan, berpakaian lebih terbuka, atau bahkan secara sengaja melanggar norma keagamaan di tempat publik dapat menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas yang dianggap hipokrit.
Dengan demikian, dari perspektif sosiologi, kemaksiatan yang dipertontonkan di bulan Ramadhan tidak hanya mencerminkan deviasi moral individu, tetapi juga dapat menjadi bentuk kritik sosial terhadap norma yang dianggap terlalu represif.
Perspektif Antropologi: Konflik Simbolik antara Sakral dan Profan
Dalam antropologi struktural, budaya sering kali dibangun atas oposisi biner, seperti sakral vs. profan (suci vs. duniawi). Claude Lvi-Strauss berpendapat bahwa masyarakat menciptakan sistem klasifikasi untuk membedakan yang dianggap suci dan yang dianggap najis, serta siapa yang berhak mendefinisikannya.
1. Sakral vs. Profan dalam Konteks Ramadhan
Bulan Ramadhan dalam banyak masyarakat Muslim diidentifikasi sebagai ruang sakral, di mana perilaku yang lebih religius diharapkan meningkat, sementara hal-hal duniawi dan nafsu harus ditekan. Namun, semakin ketat oposisi antara sakral dan profan ini dipaksakan, semakin besar kemungkinan munculnya pelanggaran yang disengaja.
Dalam konteks ini, kemaksiatan yang dipertontonkan secara terang-terangan dapat dilihat sebagai tindakan profanisasi terhadap ruang yang dianggap sakral, sebagai bentuk pembangkangan terhadap otoritas yang mendefinisikan batas-batas kesucian.
2. Ritual Pembalikan sebagai Bentuk Resistensi
Dalam beberapa kebudayaan, ritual pembalikan (ritual inversi) terjadi ketika norma yang biasanya berlaku justru dilanggar secara demonstratif untuk menunjukkan kritik terhadap sistem yang ada. Fenomena ini mirip dengan karnaval dalam budaya Eropa abad pertengahan, di mana norma sosial dibalik dalam waktu tertentu untuk melepaskan ketegangan kolektif.
Dalam konteks Ramadhan, kemaksiatan yang dipertontonkan bisa dilihat sebagai ritual pembalikan, di mana sebagian individu dengan sengaja menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma religius untuk menegaskan bahwa ruang publik bukan hanya milik kelompok yang menjalankan ritual kesalehan, tetapi juga mereka yang memiliki pandangan berbeda.