Selain itu, pendekatan antropologi struktural dari Claude Lvi-Strauss juga bisa diterapkan dalam memahami bagaimana masyarakat membangun oposisi biner antara "kesalehan" dan "kemaksiatan" selama Ramadhan. Dalam sistem ini, seseorang yang tidak berpuasa atau berperilaku berbeda dari norma dominan dapat diposisikan sebagai "yang lain," yakni individu yang menyimpang dari tatanan yang dianggap ideal.
Dengan demikian, antropologi membantu kita memahami bahwa Ramadhan, meskipun bersifat spiritual, juga merupakan sebuah fenomena sosial yang sarat akan konstruksi simbolik dan dinamika kekuasaan yang mengatur bagaimana individu menampilkan kesalehan mereka.
Dari ketiga perspektif ini, jelas bahwa kesalehan yang dikonstruksi secara sosial bukanlah kesalehan yang otentik. Ia lebih merupakan bentuk kepatuhan simbolik yang muncul karena tekanan sosial, bukan karena kesadaran spiritual yang sejati. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menumbuhkan kemunafikan struktural, di mana religiusitas menjadi sekadar alat untuk memperoleh pengakuan sosial, bukan refleksi dari hubungan pribadi dengan Tuhan.
Oleh karena itu, penting untuk menggeser paradigma beribadah dari "kesalehan yang diawasi" menjadi "kesalehan yang disadari", agar ibadah yang dilakukan selama Ramadhan tidak hanya menjadi ritual kosong, tetapi benar-benar berakar pada pemahaman, keikhlasan, dan kedekatan dengan Tuhan.
BAB III Kemaksiatan yang Dipertontonkan Secara Terang-Terangan
Perspektif Psikologi: Pembangkangan sebagai Respons terhadap Tekanan Sosial
Dalam psikologi sosial, perilaku menyimpang tidak selalu lahir dari dorongan destruktif, tetapi sering kali merupakan mekanisme psikologis untuk mempertahankan otonomi individu di tengah tekanan kolektif. Fenomena orang yang dengan sengaja memamerkan kemaksiatan di bulan Ramadhan dapat dijelaskan melalui dua konsep utama:
1. Reaktansi Psikologis: Mekanisme Perlawanan terhadap Kontrol Sosial
Reaktansi psikologis terjadi ketika individu merasa kebebasannya dibatasi secara berlebihan, sehingga ia berusaha untuk menegaskan kembali otonominya dengan melakukan hal yang dilarang. Dalam konteks Ramadhan, individu yang merasa terpaksa untuk mematuhi aturan sosial yang ketat---misalnya dilarang makan di tempat umum atau dipaksa berbusana lebih tertutup---dapat merespons dengan sengaja melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma sebagai bentuk klaim atas kebebasan dirinya.
Misalnya, seseorang yang merasa ditekan untuk berpuasa bukan karena kepercayaannya sendiri, tetapi karena tekanan masyarakat, bisa saja justru makan dan merokok di tempat umum secara demonstratif sebagai ekspresi perlawanan. Dalam konteks ini, bukan sekadar perilaku maksiatnya yang menjadi fokus, tetapi bagaimana tindakan itu berfungsi sebagai simbol pembebasan dari tekanan eksternal.
2. Disonansi Kognitif: Ketidaknyamanan antara Nilai Personal dan Norma Sosial