Bagaimana masyarakat dapat keluar dari jebakan ritualisme tanpa substansi dan kembali kepada spiritualitas Islam yang sejati?
a. Menghidupkan Kembali Kesadaran akan Niat
Ibadah yang bermakna selalu dimulai dengan niat yang benar. Masyarakat perlu kembali merenungkan mengapa mereka berpuasa, mengapa mereka beribadah, dan untuk siapa mereka melakukan semua ini. Jika niat beribadah masih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti tekanan sosial atau kebiasaan budaya, maka refleksi mendalam diperlukan untuk mengembalikan ibadah kepada esensinya: sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, bukan sarana pencitraan sosial.
b. Menghindari Kesalehan yang Didasarkan pada Ekspektasi Sosial
Masyarakat perlu mulai membedakan antara beribadah karena dorongan iman dan beribadah karena tekanan eksternal. Jika ibadah dilakukan hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, maka yang terjadi adalah ritual tanpa ruh. Pendidikan agama harus lebih menekankan pada kesadaran individu untuk mencintai ibadah, bukan sekadar menaatinya karena kewajiban eksternal.
c. Meminimalisasi Budaya Pamer dalam Ibadah
Dalam era media sosial, ibadah sering kali dikomodifikasi sebagai konten yang dipertontonkan. Ada tren di mana orang merasa perlu mempublikasikan kegiatan ibadahnya---mulai dari berbagi foto saat berbuka, membagikan momen sedekah, hingga menunjukkan bahwa dirinya aktif dalam ibadah Ramadhan.
Padahal, Islam justru mengajarkan bahwa ibadah yang paling bernilai adalah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi:
"Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat... salah satunya adalah orang yang bersedekah dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya." (HR. Bukhari & Muslim)
Budaya pamer dalam beribadah bukan hanya mengurangi nilai spiritualnya, tetapi juga mendorong orang lain untuk beribadah dengan motivasi yang salah---bukan karena Allah, tetapi karena ingin diakui.
d. Mendorong Pemahaman bahwa Ramadhan adalah Momentum Perubahan Diri