"Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)
Namun, dalam realitas sosial, banyak orang yang beribadah bukan karena dorongan hati, melainkan karena tekanan norma dan ekspektasi sosial. Fenomena ini menciptakan kesalehan artifisial, di mana seseorang menjalankan ritual keagamaan secara rutin tetapi tanpa keterhubungan emosional dan spiritual yang mendalam.
Contohnya adalah ketika seseorang:
-
Memenuhi ibadah Ramadhan demi status sosial, bukan karena kesadaran spiritual.
Berbuat baik hanya karena ada sorotan publik, bukan karena ketulusan.
Mengikuti tradisi ibadah karena takut dikucilkan, bukan karena keimanan yang murni.
Kesalehan semacam ini bukan hanya tidak membawa manfaat spiritual, tetapi juga berisiko merusak pemahaman tentang ibadah itu sendiri. Ibadah dalam Islam haruslah lahir dari rasa cinta dan ketundukan kepada Allah, bukan sebagai beban atau alat untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Rasulullah menggambarkan hakikat kesalehan sejati dalam sabdanya:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu." (HR. Muslim)
Dari sini, jelas bahwa kesalehan yang sejati adalah kesalehan yang lahir dari hati yang ikhlas, bukan yang dipaksakan oleh lingkungan atau demi status sosial.
3. Menangani Krisis Spiritual: Kembali kepada Hakikat Ibadah yang Bermakna