Mohon tunggu...
Anindya Hapsari
Anindya Hapsari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa di kampus UIN Raden Mas said Surakarta, hobby saya sejak kecil adalah menggambar dan mewarnai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Skripsi : WASIAT WAJIBAH UNTUK AHLI WARIS NON MUSLIM

8 Juni 2025   20:15 Diperbarui: 8 Juni 2025   20:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Skripsi :

PENERAPAN WASIAT WAJIBAH UNTUK AHLI WARIS NON MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA (Studi Analisis Penetapan Wasiat wajibah Bagi Anak Angkat dan Non Muslim)

Penulis            : 

Muhammad Naufal Shidiq

Tahun Terbit : 

2023 (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA)

1. Pendaluhuan

A. Latar Belakang Masalah

Penulis memulai dengan pengenalan terhadap konsep wasiat wajibah dan menjelaskan bahwa konsep ini merupakan hal baru yang diadopsi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penjelasan tentang gap antara aturan normatif dalam KHI dan praktik di pengadilan sangat relevan. Kasus-kasus nyata yang dikutip (misalnya, penetapan No. 435/Pdt.P/2010/PA.Sby dan yurisprudensi MA) membuat latar belakang lebih hidup dan aktual.

Penulis mampu mengaitkan isu hukum ini dengan realitas sosiologis Indonesia yang multikultural dan multireligius.

Catatan Perbaikan:

Struktur kalimat perlu diringkas. Beberapa paragraf terlalu panjang dan berisi informasi yang seharusnya bisa dipadatkan. Misalnya, penjelasan tentang yurisprudensi MA bisa difokuskan hanya pada implikasi hukumnya.

Sebaiknya ditekankan "apa urgensinya" membahas perbandingan antara anak angkat dan ahli waris beda agama lebih awal agar fokus penelitian tampak sejak awal.

B. Permasalahan 

    Kelebihannya:

 Masalah sudah dijabarkan dengan jelas, baik dari sisi teori (aturan KHI) maupun praktik di pengadilan.

Fokus penelitian juga sudah ditentukan, yaitu tiga penetapan Pengadilan Agama Surabaya.

Rumusan masalahnya langsung pada inti, yaitu pertimbangan hakim dalam kasus wasiat wajibah.

             Saran perbaikannya:

Bagian identifikasi masalah bisa ditulis lebih rapi dan disertai sedikit penjelasan di awal agar tidak terlihat seperti daftar tanpa konteks.

C. Tujuan Penelitian

Tujuannya sudah sesuai dengan rumusan masalah dan langsung menunjukkan fokus penelitian.

Saranya Tujuan bisa diringkas dalam satu kalimat yang lebih padat, supaya tidak terlihat terpotong-potong.

D. Manfaat Penelitian

Kelebihannya:

Penulis sudah membagi manfaat menjadi dua: manfaat teoritis (untuk dunia ilmu) dan manfaat praktis (untuk masyarakat dan pribadi).

Menjelaskan bahwa penelitian ini bisa berguna untuk masyarakat yang mengalami kasus warisan beda agama atau anak angkat.

Saran perbaikannya:

Manfaat teoritis bisa dijelaskan sedikit lebih dalam, misalnya: apakah bisa menjadi rujukan bagi hakim, mahasiswa, atau akademisi?

E. Kajian Terdahulu (Tinjauan Pustaka)

Kelebihannya:

Penulis sudah mengumpulkan banyak artikel dan skripsi yang relevan dengan topik.

Perbedaan antara penelitian terdahulu dan skripsi ini dijelaskan dengan baik. Penulis fokus pada perbandingan dua kasus: anak angkat dan ahli waris beda agama.

Saran perbaikannya:

Ringkasan artikel sebaiknya tidak terlalu panjang. Lebih baik jelaskan inti gagasannya dan beri komentar singkat

F. Metode Penelitian

Kelebihannya:

Penulis menjelaskan jenis penelitian, pendekatan, sumber data, dan teknik analisis dengan lengkap dan sistematis.

Penggunaan pendekatan studi kasus pada putusan pengadilan sangat tepat untuk topik ini.

Saran perbaikannya:

Beberapa teori yang dikutip (misalnya dari Marzuki dan Sugiyono) bisa dijelaskan lebih singkat dan fokus pada penerapannya dalam penelitian ini, supaya tidak terlalu teoritis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ditulis lengkap, dari Bab I sampai Bab V.

Penjelasan per bab membantu pembaca memahami alur pembahasan.\

Saran perbaikanya Penjelasan bisa dibuat lebih ringkas dan disusun dalam bentuk poin-poin

Kesimpulanya Secara keseluruhan, Bab I skripsi ini sudah sangat layak secara substansi karena menyajikan isu hukum yang aktual, sumber yang relevan, dan objek studi yang konkret. Namun, dari sisi teknis dan akademik, masih diperlukan peningkatan dalam gaya penulisan, keringkasan kalimat, dan penyusunan tinjauan pustaka secara kritis.

2. Alasan mengapa memilih judul skripsi yang anda pilih

Alasan saya memilih judul skripsi ini berangkat dari fenomena yang berkembang di tengah masyarakat dan praktik hukum di pengadilan agama. Meski Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya mengatur wasiat wajibah untuk anak angkat, praktik yurisprudensi memperluas cakupan ini kepada ahli waris beda agama. Hal ini menimbulkan ketertarikan penulis untuk menelusuri dasar yuridis, argumentasi hakim, serta nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang mendasari penerapan wasiat wajibah dalam dua konteks berbeda tersebut. Judul ini juga memiliki nilai kebaruan dan aktualitas yang tinggi serta berkontribusi terhadap pengembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

3. Pembahasan hasil review 

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEWARISAN, WASIAT DAN WASIAT WAJIBAH

Bab ini berfungsi sebagai kerangka teoritis yang mendasari pembahasan selanjutnya. Penulis menguraikan konsep-konsep pokok dalam hukum waris Islam, seperti pengertian kewarisan, dasar hukum, wasiat, serta khususnya konsep wasiat wajibah yang menjadi objek utama dalam skripsi ini.

1. Ketentuan Umum Kewarisan

1. Pengertian Kewarisan

Penulis memulai pembahasan dengan mendefinisikan kewarisan secara etimologis dan terminologis. Kata waris berasal dari bahasa Arab al-faridh yang bermakna "bagian yang telah ditentukan oleh syariat". Penulis merujuk definisi para ulama seperti Imam Hanafi dan Ibnu Hazm yang menekankan bahwa warisan adalah perpindahan harta dari mayit kepada ahli waris yang masih hidup sesuai hukum Islam.

                             Kekuatan:

Penulis menyajikan definisi dari berbagai mazhab.

Ada pembeda antara definisi umum dan pengertian secara fikih klasik.

Saranya Bagian ini dapat diperkuat dengan kutipan langsung dari KHI Pasal 171 sebagai pembanding kontemporer terhadap definisi klasik.

2. Sejarah Hukum Waris Islam

Penulis menyusun sejarah kewarisan dalam tiga fase:

Pra-Islam: Warisan hanya untuk laki-laki dan berdasarkan kekuatan fisik.

Transisi Islam Awal: Islam mulai memperkenalkan hak waris bagi perempuan dan anak-anak yatim.

Setelah Islam Mapan: Islam mengatur sistem waris secara rinci dalam Al-Qur'an, seperti dalam QS. An-Nisa ayat 11 dan 12.

Kekuatan:

Sejarah disajikan dengan narasi yang runtut dan logis.

Ada penekanan bahwa hukum waris Islam membawa semangat keadilan.

Saranya, Penulis bisa menyisipkan perbandingan singkat dengan hukum adat atau sistem waris Romawi sebagai pembanding historis.

3. Dasar Hukum Waris

Tiga sumber utama dalam hukum waris Islam adalah:

Al-Qur'an (misalnya QS. An-Nisa 7, 11, 12, 176)

Hadis

Ijma' ulama dan Qiyas

Di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi dasar yuridis yang mengikat bagi Muslim yang menyelesaikan perkara di Pengadilan Agama.    

Penulis menyajikan bagian ini cukup informatif, tetapi sebaiknya menyertakan kutipan langsung dari KHI dan sedikit analisis tentang keunikan sistem hukum Islam Indonesia yang menggabungkan fikih dan perundang-undangan nasional.

                             4. Rukun dan Syarat Waris

Penulis merinci rukun waris sebagai berikut:

Pewaris

Ahli waris

Harta warisan (tirkah)

Syaratnya mencakup:

Pewaris benar-benar meninggal dunia

Ahli waris masih hidup saat pewaris wafat

Tidak adanya penghalang waris

5. Sebab dan Penghalang Waris

Sebab menerima waris:

Hubungan nasab

Hubungan pernikahan

Hubungan perbudakan (dalam konteks sejarah)

Wasiat

Penghalang waris:

Perbedaan agama

Pembunuhan pewaris

Perbudakan

Penjelasan ini menjadi penting karena perbedaan agama adalah isu sentral dalam skripsi ini. Saranya, Bagian ini bisa diperkuat dengan menyisipkan kutipan dari KHI Pasal 171 huruf c, yang menyebut secara eksplisit bahwa perbedaan agama adalah penghalang waris.

2. Ketentuan Umum Wasiat

1. Pengertian Wasiat

Wasiat diartikan sebagai pernyataan seseorang untuk memberikan sebagian harta kepada pihak lain setelah ia meninggal dunia. Penulis menyebutkan pengertian dari ulama dan juga dari KHI Pasal 171 huruf f.

Kelebihan:

Penulis memadukan pengertian dari literatur klasik dan regulasi modern.

Disajikan secara lugas dan padat.

2. Dasar Hukum Wasiat

Penulis menyebutkan bahwa hukum wasiat dalam Islam bersumber dari:

Al-Qur'an: QS. Al-Baqarah: 180

Hadis Nabi

Ijma' dan Qiyas

Penjelasan ini disusun dengan baik dan dilengkapi dengan penegasan bahwa hukum Islam tidak melarang wasiat, bahkan menganjurkannya, terutama bagi mereka yang bukan ahli waris.

3. Hukum Wasiat dan Perbedaan Pendapat Ulama

Penulis menjelaskan bahwa hukum wasiat bisa berubah tergantung kondisi:

Wajib: Jika pewaris memiliki utang atau janji yang belum terpenuhi

Sunnah: Jika ditujukan untuk kerabat atau fakir miskin

Mubah, makruh, atau haram: Berdasarkan tujuan atau penerima wasiat

Pendapat ini menegaskan bahwa hukum wasiat fleksibel tergantung konteksnya.

 4. Rukun dan Syarat Wasiat

Penulis menguraikan empat rukun:

Orang yang berwasiat (mushii)

Penerima wasiat (mushaa lah)

Harta yang diwasiatkan (mushaa bih)

Ijab qabul (shighat)

Syarat wasiat dikaji cukup mendalam, seperti syarat usia, kesadaran, kehendak bebas, dan status penerima wasiat.

5. Sebab dan Batalnya Wasiat

Wasiat bisa menjadi batal jika:

Dilakukan oleh orang yang tidak waras

Bertentangan dengan hukum syara'

Menyebabkan kerugian pada ahli waris

Ditujukan kepada pembunuh pewaris

3. Ketentuan Umum Wasiat Wajibah

Secara keseluruhan, Bab II sangat kuat dalam teori dan referensi, terutama karena menjelaskan tiga hal penting secara bertahap: kewarisan, wasiat, dan wasiat wajibah. Bab ini juga sudah memenuhi fungsi utamanya sebagai landasan teori untuk pembahasan di bab-bab selanjutnya. Namun, agar lebih mudah dipahami, beberapa saran penyempurnaan teknis penulisan bisa dilakukan:

Ringkas kutipan panjang dan ganti dengan parafrase.

Tambahkan kesimpulan atau poin penting di akhir subbagian.

Gunakan bahasa yang lebih mengalir dan tidak terlalu formal di bagian narasi ulama atau sejarah.

1. Sejarah Wasiat Wajibah

Penulis menelusuri asal usul konsep wasiat wajibah dari hukum Mesir (Qanun al-Wasiyyah) tahun 1946 yang kemudian diadaptasi dalam konteks Indonesia. KHI pada Pasal 209 merupakan titik masuk resminya wasiat wajibah dalam hukum Islam nasional.

Kelebihan:

Penulis menunjukkan bahwa wasiat wajibah adalah produk ijtihad modern.

Menarik karena mengaitkan antara hukum Islam lokal dan internasional.

2. Pengertian Wasiat Wajibah

Disampaikan dalam tiga perspektif:

Menurut ulama: Wasiat wajibah adalah wasiat yang wajib dilaksanakan meskipun tidak dinyatakan oleh pewaris.

Menurut KHI: Pasal 209 menyatakan anak angkat dapat menerima wasiat wajibah hingga 1/3 harta.

Menurut yurisprudensi: Termasuk untuk ahli waris beda agama berdasarkan yurisprudensi MA No. 368 K/AG/1995.

 3. Fungsi dan Tujuan Wasiat Wajibah

Menjaga keadilan antar anggota keluarga

Menghindari diskriminasi sosial

Memberi perlindungan kepada pihak yang terhalang secara hukum syar'i tapi masih memiliki ikatan emosional atau sosial

                             4. Sebab Diberlakukannya Wasiat Wajibah

Penulis menyebut:

Ketidakhadiran aturan yang eksplisit dalam beberapa kasus

Perlunya memenuhi rasa keadilan

Perlindungan terhadap anak angkat dan non-Muslim

BAB III DESKRPSI PENETAPAN PENGADILAN AGAMASURABAYA TERKAIT WASIAT WAJIBAH

Bab ini merupakan bagian inti yang menjabarkan kasus-kasus konkret dari pengadilan yang menjadi dasar analisis skripsi. Penulis menyajikan tiga putusan Pengadilan Agama Surabaya, yaitu:

Putusan No. 435/Pdt.P/2010/PA.Sby

Putusan No. 909/Pdt.P/2016/PA.Sby

Putusan No. 378/Pdt.P/2020/PA.Sby

Setiap kasus dibagi menjadi empat subbagian:

Kasus Posisi

Duduk Perkara

Pertimbangan Hakim

Penetapan Hakim

Pemaparan ini sangat baik karena menyajikan struktur yang konsisten dan memudahkan pembaca memahami kronologi dan isi perkara.

Penetapan No. 435/Pdt.P/2010/PA.Sby

 

Kasus Posisi

Kasus ini merupakan permohonan penetapan ahli waris dari seorang almarhumah oleh delapan pemohon. Para pemohon adalah kerabat kandung dari pewaris.

Duduk Perkara

Penjelasan cukup lengkap mulai dari identitas pemohon, status hubungan dengan pewaris, hingga kondisi pewaris saat meninggal. Pewaris adalah seorang perempuan Muslim yang tidak memiliki keturunan maupun suami yang masih hidup.

Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim berfokus pada fakta bahwa almarhumah memiliki anak angkat, dan berdasarkan Pasal 209 KHI, anak angkat dapat diberikan wasiat wajibah paling banyak 1/3 bagian. Ini menunjukkan bahwa meskipun anak angkat bukan ahli waris secara syar'i, tetap dapat diberikan bagian dari harta melalui keputusan hakim.

Penetapan Hakim

Hakim memutuskan untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat almarhumah sebesar maksimal 1/3 dari total harta warisan. Penetapan ini sesuai asas maslahat dan semangat keadilan dalam KHI.

B. Penetapan No. 909/Pdt.P/2016/PA.Sby

1. Kasus Posisi

Permohonan diajukan oleh dua pemohon, yaitu anak kandung dari pasangan suami istri Muslim. Namun, salah satu anak (Pemohon II) beragama Kristen.

2. Duduk Perkara 

Pewaris meninggalkan harta berupa tanah dan bangunan. Persoalan muncul karena Pemohon II tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris menurut Pasal 171 KHI karena beda agama.

3. Pertimbangan Hakim

Hakim menyadari adanya halangan waris berdasarkan agama.

Namun, merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung No. 368K/AG/1995, hakim memberikan solusi melalui wasiat wajibah kepada Pemohon II.

Ditekankan bahwa anak tetap anak, dan karena hubungan darah, ia tetap berhak mendapatkan bagian secara moral meskipun tidak secara hukum waris Islam.

Ini menunjukkan adanya pendekatan ijtihad sosial-yuridis untuk menghindari ketimpangan hak antar saudara kandung.

4. Penetapan Hakim  

Pemohon II sebagai anak non-Muslim tidak ditetapkan sebagai ahli waris, tetapi diberikan bagian maksimal 1/3 dari harta peninggalan melalui mekanisme wasiat wajibah. Ini adalah contoh penting penerapan asas egaliter dalam kewarisan Islam yang kontekstual di Indonesia.

C. Penetapan No. 378/Pdt.P/2020/PA.Sby

1. Kasus Posisi

Kasus ini diajukan oleh tiga orang anak kandung yang semuanya beragama Islam. Pewaris adalah ayah mereka yang juga beragama Islam.

2. Duduk Perkara

Dari pernikahan pewaris dan istrinya, lahirlah tiga anak. Tidak ada permasalahan status hukum, tidak ada pengangkatan anak, dan tidak ada perbedaan agama.

3. Pertimbangan Hakim

Karena semua anak sah dan beragama Islam, tidak ada kendala dalam pembagian warisan. Hakim hanya perlu menetapkan siapa saja ahli warisnya.

Namun menariknya, hakim tetap menyinggung soal keadilan dalam pembagian warisan dan kemungkinan munculnya permohonan serupa dalam kasus yang lebih kompleks, sebagai bentuk antisipasi.

4. Penetapan Hakim

Hakim menetapkan ketiga anak sebagai ahli waris sah dari pewaris. Meskipun kasus ini tidak menyangkut wasiat wajibah secara langsung seperti dua kasus sebelumnya, tapi tetap relevan sebagai pembanding kasus warisan yang tidak bermasalah dengan status agama atau pengangkatan anak.

Saran:

Kurang Menekankan Aspek Sosial : Padahal wasiat wajibah lahir dari kondisi sosial yang kompleks. Akan lebih menarik jika penulis menambahkan latar sosiologis dari masing-masing perkara.

Bahasa Terlalu Formal : Karena banyak mengutip isi putusan secara langsung, beberapa bagian menjadi kaku dan kurang mengalir. Penulis sebaiknya lebih banyak menggunakan narasi penjelasan pribadi.

Perbandingan antar Kasus Belum Muncul di Bab III : Meskipun akan dianalisis di Bab IV, akan lebih baik bila pada akhir Bab III ada transisi naratif berupa catatan perbandingan atau pernyataan pengantar menuju analisis.

Secara keseluruhan, Bab III merupakan bagian terkuat dari skripsi ini karena memuat data konkret, relevan, dan sangat penting untuk menjawab pertanyaan penelitian. Ketiga penetapan yang dijelaskan mewakili kompleksitas hukum waris Islam di Indonesia dalam praktik:

Kasus anak angkat menekankan pentingnya rekognisi hubungan sosial kekeluargaan.

Kasus beda agama menyoroti bagaimana hukum Islam berupaya tetap adil meski terdapat penghalang syar'i.

Kasus umum (normal) menjadi pembanding situasi tanpa konflik status hukum.

BAB IV ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA TERKAIT WASIAT WAJIBAH

Bab ini merupakan bagian analisis yang mengkaji hasil dari tiga penetapan Pengadilan Agama Surabaya yang sudah dijelaskan di Bab III. Penulis mulai membedah alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim, serta menyoroti bagaimana pendekatan hukum Islam yang normatif dapat bertemu dengan praktik peradilan yang responsif dan kontekstual.

A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Terkait Wasiat Wajibah

                1. Posisi Pengadilan Agama dan Landasan Yuridis

Penulis menjelaskan bahwa dalam UU No. 7 Tahun 1989 (yang diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan kemudian UU No. 50 Tahun 2009), Pengadilan Agama diberikan kewenangan menyelesaikan sengketa waris berdasarkan hukum Islam. Ini menjadi dasar formal bahwa putusan-putusan yang diambil oleh hakim dalam konteks kewarisan Muslim---termasuk kasus anak angkat dan beda agama---memiliki legitimasi hukum.

Pentingnya ini adalah untuk membuktikan bahwa penetapan wasiat wajibah bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan bentuk interpretasi hukum terhadap kekosongan atau kebutuhan hukum tertentu.

2. Analisis Penetapan No. 435/Pdt.P/2010/PA.Sby (Anak Angkat)

Pada kasus ini, hakim memutuskan memberikan bagian waris kepada anak angkat melalui mekanisme wasiat wajibah. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 209 KHI yang menyatakan bahwa anak angkat berhak menerima bagian maksimal 1/3 dari harta peninggalan orang tua angkatnya.

 Pertimbangan Hakim:

Hubungan sosial antara orang tua angkat dan anak angkat dianggap setara dengan hubungan nasab dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Pengangkatan anak mengandung unsur tanggung jawab, kasih sayang, dan pengasuhan yang pada hakikatnya harus dihargai secara hukum.

Meskipun anak angkat tidak termasuk ahli waris sah secara syar'i, hukum memberikan ruang lewat wasiat wajibah demi menjaga keadilan dan menghindari konflik antar keluarga.

Pendekatan hakim di sini menunjukkan bahwa ijtihad hukum Islam kontemporer tidak selalu bersifat rigid terhadap nasab, melainkan mengakomodasi realitas sosial yang berkembang.

3. Analisis Penetapan No. 909/Pdt.P/2016/PA.Sby (Anak Beda Agama)

Dalam kasus ini, pewaris adalah seorang Muslim, dan salah satu anaknya beragama Kristen. Berdasarkan Pasal 171 huruf c KHI, perbedaan agama merupakan halangan waris.

Namun hakim memilih menggunakan yurisprudensi Mahkamah Agung (No. 368 K/AG/1995) sebagai dasar untuk memberikan hak kepada anak non-Muslim melalui skema wasiat wajibah.

Pertimbangan Hakim:

Hubungan darah antara pewaris dan anak tetap sah, meskipun berbeda agama.

Wasiat wajibah dianggap sebagai jalan tengah agar tidak terjadi diskriminasi antar anak dalam satu keluarga.

Pendekatan maslahat menjadi pertimbangan utama hakim---agar hak asasi dan keutuhan keluarga tetap terjaga.

Kasus ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama tidak hanya tunduk pada teks normatif, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial dan yurisprudensi yang berkembang.

4. Analisis Penetapan No. 378/Pdt.P/2020/PA.Sby (Ahli Waris Muslim  Sah)

Kasus ini digunakan sebagai pembanding. Pewaris dan semua ahli waris beragama Islam, tidak ada konflik status hukum, sehingga tidak diperlukan penerapan wasiat wajibah. Hakim hanya menetapkan bagian warisan sesuai dengan hukum faraid.

Meskipun tidak relevan secara langsung dengan konsep wasiat wajibah, penetapan ini menjadi tolok ukur bahwa hukum waris berjalan secara normal bila tidak ada hambatan seperti perbedaan agama atau status hukum anak.

Persamaan dan Perbedaan Antara Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Dengan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Beda Agama

Bab ini menjadi bagian paling reflektif dan analitis dari keseluruhan skripsi. Penulis membandingkan kedua jenis penerapan wasiat wajibah berdasarkan data dari ketiga penetapan tersebut.

1. Persamaan

Penulis menyebutkan beberapa hal yang menjadi persamaan utama antara wasiat wajibah untuk anak angkat dan untuk ahli waris beda agama:

a. Sama-sama tidak diakui sebagai ahli waris sah secara syar'i.

Anak angkat karena tidak memiliki hubungan nasab.

Anak non-Muslim karena halangan agama.

b. Sama-sama diberikan bagian maksimal 1/3 dari harta warisan. Ini sesuai dengan prinsip dasar wasiat dalam Islam dan Pasal 209 KHI.

c. Pemberian hak bersifat keputusan pengadilan, bukan inisiatif  pewaris. Hakim bertindak sebagai wakil negara untuk memenuhi unsur keadilan sosial.

d. Sama-sama bertujuan maslahat, bukan untuk melegitimasi waris. Tujuan utama adalah keadilan, bukan menjadikan mereka ahli waris sah.

e. Sama-sama mengacu pada konsep ijtihad hakim. Baik Pasal 209 KHI maupun yurisprudensi MA menunjukkan adanya ruang ijtihad dalam hukum Islam Indonesia.

2. Perbedaan

Penulis kemudian menunjukkan beberapa poin perbedaan penting:

a. Dasar Hukum

Anak angkat diatur dalam Pasal 209 KHI (tertulis dan jelas).

Ahli waris non-Muslim hanya berdasar yurisprudensi MA (tidak tertulis dalam KHI).

b. Konsekuensi Sosial

Anak angkat umumnya diasuh sejak kecil dan berada dalam lingkungan Muslim.

Anak beda agama bisa saja keluar dari Islam (murtad), sehingga pengaturannya lebih sensitif.

c. Kekuatan Legalitas

Wasiat anak angkat lebih kuat secara hukum karena berbasis peraturan tertulis.

Wasiat kepada anak non-Muslim bersifat alternatif dan sangat kontekstual (belum baku di semua pengadilan).

Saran :

Perlu ditambahkan dimensi teori hukum Islam kontemporer seperti maqashid syariah dan maslahah mursalah untuk memperkuat kerangka analisis.

Perlu ada kesimpulan analitik singkat di akhir setiap pembahasan kasus, untuk menegaskan posisi dan nilai hukumnya.

Sebaiknya mengaitkan dengan perkembangan praktik di pengadilan agama lain (bukan hanya Surabaya) untuk memperkuat generalisasi analisis.

Kesimpulanya, Bab IV merupakan bagian yang paling strategis dalam menjawab rumusan masalah utama skripsi. Penulis telah menyajikan analisis yang baik terhadap bagaimana praktik wasiat wajibah dijalankan dalam pengadilan dan bagaimana ijtihad hakim berperan dalam menyelesaikan konflik hukum yang kompleks.

4. Apa rencana skripsi yang akan ditulis dan beserta argumentasinya

Rencana saya kedepanya jika saya mengangkat tema wasiat wajibah yaitu :

"Wasiat Wajibah sebagai Alat untuk Melindungi Anak Angkat dari Pandangan Maqashid Syariah."

Anak angkat memang tidak memiliki hak waris secara syar'i, tetapi mereka seringkali setara dengan anak kandung secara sosial dan emosional. Hak anak angkat dilindungi secara hukum melalui wasiat wajibah. Studi ini dapat mengaitkan konsep maqashid syariah, atau tujuan syariat, dengan cara sistem waris Islam melindungi hak-hak non-ahli waris.

Oleh : Anindya Putri Hapsari (232121245)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun