Motifnya berlapis. Ada motif ekonomi konflik: kerusuhan sebagai ladang laba bagi mereka yang diuntungkan oleh kekacauan.
Ada motif politik oportunistis: memperlemah legitimasi penguasa dengan menunggangi emosi massa, membuat aksi damai tampak sebagai ancaman keamanan nasional.
Bahkan ada kemungkinan infiltrasi aparat sendiri, yang sengaja mengurangi daya tarik moral protes dengan mendorongnya ke arah kekerasan, agar publik berbalik antipati.
Dan tentu ada motif nihilistik: sekadar membakar karena kehilangan kepercayaan pada tertib sosial.
Ketika provokasi bertemu kelelahan emosional di tengah massa, logika kolektif bergeser cepat. Seruan hati-hati tenggelam oleh adrenalin.
Dalam fase itu, aktor damai sering tersisih. Yang terdengar hanya bunyi kaca pecah, sirene meraung, dan pekik panik yang tak terkendali.
Membedakan aksi damai dari kerusuhan adalah tanggung jawab bersama. Di sisi warga, diperlukan marshal, kode etik aksi, jalur komunikasi cepat untuk menahan hoaks, serta pelatihan de-eskalasi.
Di sisi negara, diperlukan intelijen lapangan yang akurat, dialog, dan mediasi. Daya paksa hanya boleh menjadi pilihan terakhir.
Ketika negara gagal membedakan, akuntabilitas berubah menjadi represi. Ketika warga gagal membedakan, legitimasi berubah menjadi anarki.
Di Makassar, empat nyawa menjadi saksi: kecerobohan sekecil apa pun pada simpul ini bisa mengubah protes menjadi tragedi.
-000-