Mereka menguasai bahasa dunia baru---kode, desain, video pendek, meme---namun dunia lama menutup pintu. Upaya mereka untuk masuk ke ruang ekonomi formal sering terbentur tembok: syarat pengalaman, relasi sosial, atau akses modal yang tak dimiliki.
Slogan sinis yang beredar di media sosial, "you only live once, but you're powerless", bukan sekadar lelucon. Itu adalah perasaan kalah sebelum bertanding.
Seperti pengemudi ojek online yang terus terikat pada aplikasi, mereka hidup dalam ironi: bekerja keras setiap hari, tetapi selalu berada di ujung tanduk karena rating, algoritma, dan perubahan kebijakan perusahaan.
Di sinilah kerawanannya:
*Kerawanan ekonomi: tanpa gaji tetap, tanpa tabungan memadai, setiap hari bisa berubah menjadi krisis.
*Kerawanan sosial: tanpa jaringan dukungan, tanpa serikat yang kuat, mereka mudah disalahkan ketika marah atau dipuji sesaat ketika berprestasi.
*Kerawanan psikologis: krisis kesehatan mental menghantui; depresi dan kecemasan meningkat karena hidup di bawah tekanan perbandingan permanen di media sosial.
*Kerawanan politik: tidak punya daya tawar dalam sistem, suara mereka sering dianggap riuh sesaat lalu diredam.
Namun ironinya, generasi ini juga memegang potensi moral yang penting. Mereka sensitif pada ketidakadilan, berani bersuara, lebih egaliter terhadap perbedaan, dan mampu memobilisasi solidaritas lintas kota hanya dengan sebuah tagar.
Prekariat adalah kelas yang rapuh, tetapi juga kelas yang bisa menyalakan api perubahan. Kerentanan mereka bisa membakar, bisa juga menerangi.
Semuanya bergantung pada oksigen harapan yang disediakan negara, keluarga, dan komunitas.