Pertanyaan pun mengendap, berat namun tak terelakkan. Mengapa protes yang lahir dari keresahan dapat menjelma kerusuhan yang menghancurkan dirinya sendiri?
Mampukah aksi protes ini memaksa pemerintah menulis ulang kontrak sosial baru, yang lebih demokratis, dan berkeadilan ekonomi?
Untuk menjawabnya, saya mengusulkan bingkai lima variabel:
(1) keresahan ekonomi,
(2) hadirnya generasi rentan,
(3) media sosial sebagai megafon,
(4) provokator yang menggeser arah,
(5) kebutuhan menulis ulang kontrak sosial.
Lima variabel ini bukan daftar yang beku. Mereka adalah simpul yang saling menarik. Pada momen tertentu, tegangannya memutuskan tali.
-000-
Sebelum menapaki lima variabel itu, mari menoleh sejenak ke cermin sejarah.
Revolusi Prancis 1789 kerap dianggap letusan tunggal ide besar. Peter McPhee, dalam The French Revolution, 1789--1799, menunjukkan sesuatu yang lebih subtil.
Revolusi lahir dari pertemuan tiga arus: krisis fiskal negara yang bangkrut, perubahan sosial yang tak terbendung, serta ide-ide pencerahan yang memberi bahasa untuk menamai ketidakadilan.
Saat ketiganya beresonansi, Bastille tidak sekadar diserbu. Legitimasi lama runtuh.
Namun McPhee juga mengingatkan sisi gelapnya. Janji kebebasan dibarengi kekerasan. Guillotine bekerja tanpa lelah. Perang saudara menyala di Vende.