Kapita Selecta Order
Sejarah politik dan ekonomi dunia abad ke-20 hingga awal abad ke-21 memperlihatkan pola berulang: dominasi global tidak pernah benar-benar hilang, melainkan hanya berubah bentuk. Pada awal abad ke-20, kekuasaan global dijalankan lewat kolonialisme klasik, ketika negara-negara Eropa menguasai wilayah-wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin melalui ekspedisi militer, aneksasi teritorial, dan eksploitasi sumber daya. Namun, pasca Perang Dunia I dan II, kolonialisme formal mulai runtuh seiring lahirnya negara-negara baru yang merdeka.
Runtuhnya kolonialisme tidak berarti hilangnya kontrol. Kekuasaan global justru bergeser ke dalam bentuk baru yang lebih halus dan terstruktur: rezim kontrak. Perubahan ini ditandai oleh Konferensi Bretton Woods tahun 1944, yang melahirkan dua lembaga keuangan internasional paling berpengaruh di dunia modern: International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Melalui mekanisme pinjaman, conditionalities, dan standar fiskal, lembaga-lembaga ini menjadi instrumen baru dominasi ekonomi, menggantikan kolonialisme bersenjata.
Perubahan selanjutnya terjadi pada tahun 1971 dengan Nixon Shock, ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon memutus keterikatan dolar pada emas. Dunia memasuki era fiat money---sistem uang yang tidak lagi dijamin komoditas, tetapi bergantung pada kepercayaan terhadap dolar AS. Sejak itu, dolar menjadi pusat gravitasi keuangan global, sementara Bank for International Settlements (BIS) di Basel, Swiss, menjadi jantung koordinasi moneter antarbank sentral dunia.
Bagi Indonesia, pergeseran ini tercermin dalam Konferensi Jenewa 1967. Di forum tersebut, Indonesia menandatangani perjanjian yang membuka jalan bagi investor asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Dari sinilah lahir kontrak-kontrak jangka panjang, termasuk dengan Freeport-McMoRan di Papua---sebuah contoh konkret bagaimana kontrak menggantikan kolonialisme sebagai instrumen kontrol sumber daya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan global modern dijalankan bukan semata-mata oleh negara, melainkan oleh entitas hibrida: bank internasional, korporasi transnasional, lembaga supranasional, hingga yayasan filantropi global. Kesemuanya bekerja dalam kerangka yang sering disebut sebagai globalis order---suatu tatanan dunia yang tidak mengandalkan kedaulatan nasional, melainkan memanfaatkan negara sebagai instrumen legal untuk melanggengkan kontrak dan standar global.
Dalam konteks inilah muncul sosok Donald J. Trump. Sejak terpilih pada tahun 2016, Trump memosisikan dirinya sebagai penantang utama globalis order. Dengan slogan "America First", ia secara terbuka mengkritik WTO, IMF, dan bahkan NATO; menarik Amerika Serikat dari perjanjian perdagangan multilateral; serta menekan korporasi global untuk kembali ke dalam negeri. Pada Sidang Umum PBB tahun 2018, Trump menyatakan dengan tegas: "We reject the ideology of globalism, and we embrace the doctrine of patriotism."
Trump, dengan segala kontroversinya, menjadi katalis dalam perdebatan besar: apakah globalis order masih dominan, ataukah dunia tengah bergerak menuju tatanan multipolar baru---di mana blok-blok regional seperti BRICS+, ASEAN, atau inisiatif local currency transaction (LCT) mulai menantang hegemoni dolar.
Mekanisme Globalis Order
Salah satu ciri khas globalis order adalah kemampuannya mempertahankan dominasi tanpa selalu menampilkan wajah koersif. Kekuasaan global hari ini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan juga oleh jaringan kontrak, standar, instrumen keuangan, hingga perang narasi dan hukum. Mekanisme-mekanisme ini bekerja simultan, saling menopang, dan menciptakan ekosistem dominasi yang lebih subtil tetapi jauh lebih mengikat.