"Ketika tuduhan melukai lebih dalam dari luka, seorang anak duduk menanti senja—bukan untuk jawaban, tapi untuk keadilan yang tak kunjung datang."
Di kaki bukit yang malas menerima pagi, Dara menyapu halaman. Daun jambu biji berserakan seperti ingatan-ingatan kecil yang tak sempat dirapikan. Burung-burung kecil berkejaran di langit abu-abu, dan dari kejauhan, kabut menggantung di pucuk-pucuk pinus seperti kain kelambu lupa dicuci.
Ibunya muncul dari dapur, membawa dua gelas teh yang mengepul pelan. "Minumlah dulu, Nak. Angin hari ini seperti bekas marah," katanya, setengah berbisik. Dara mengangguk, memeluk gelas itu seperti ia memeluk kehangatan rumah sendiri. Ia baru selesai kelas lima SD, tapi dunia kadang terasa lebih berat dari tas sekolahnya yang tambal sulam.
Dara bukan anak nakal. Tak pernah memanjat pohon tanpa izin, tak pernah mencuri mangga tetangga, dan selalu pulang sebelum matahari hilang di balik kebun wortel. Tapi orang dewasa, ternyata, bisa lebih cepat menghakimi daripada menanyakan kabar.
Bu Ratna kehilangan gelang emasnya. Gelang warisan dari mertuanya, katanya, yang biasa ia simpan di dalam lemari baju, di dalam kotak kain, di bawah lipatan jarik. Kemarin sore, ia melihat Dara bermain di halaman samping rumahnya, mencari batu kecil untuk tugas sekolah. Tak ada bukti. Hanya kata 'melihat'. Hanya kesimpulan yang melompat-lompat, lalu mendarat di pundak kecil Dara.
"Anak itu," kata Bu Ratna di depan tetangga-tetangga yang tengah menjemur pakaian, "anak itu satu-satunya yang lewat dekat rumahku kemarin."
Dunia mulai berubah. Tatapan tetangga tak lagi sehangat biasanya. Bisikan-bisikan kecil seperti nyamuk di telinga Dara. Bahkan ibu-ibu yang biasa menyuruhnya membeli bawang di warung, kini hanya memelototi dan menyapu debu yang tidak ada.
Dara diam. Bahkan saat ibunya bertanya apa yang terjadi, ia hanya menggeleng. Tangannya sibuk memainkan ujung baju, seperti sedang mengikat kata-kata yang terlalu berat untuk keluar.
Sore itu, langit mendung seperti wajah desa. Dua orang polisi turun dari motor. Debu beterbangan, ayam lari terbirit. Dara sedang menyiram bunga kamboja yang baru dipindahkan ibunya ke pot bekas ember cat. Suara sepatu hitam menginjak tanah basah terdengar lebih tegas daripada suara adzan yang biasanya menggema lembut dari mushola tua.
"Dara?"
"Iya, Pak."
"Kami ingin tanya-tanya. Soal gelang Bu Ratna."
Ibunya keluar dengan langkah panik. "Kenapa harus anak saya? Dia cuma anak kecil, Pak. Dia nggak—"
"Ini hanya interogasi ringan, Bu. Kami cuma mau tahu ke mana dia kemarin sore."
Dara menatap ibunya. Ada sesuatu di mata ibu yang tak pernah ia lihat: gemetar. Bukan marah. Bukan sedih. Tapi semacam runtuh yang pelan, yang tak bisa disusun lagi.
Polisi itu menarik tangan Dara. Tidak kasar. Tapi juga tidak ramah. Dara sempat menoleh ke belakang, melihat bunga kamboja yang masih basah. Daunnya bergetar ditiup angin sore, seperti ingin ikut bicara tapi tak punya suara.
Dan di situ, senyum Dara menguap. Tak lagi muncul bahkan di ujung bibir. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan rumahnya yang mulai terasa dingin meski belum malam.
Ruang itu bau. Campuran lembab dinding tua, kopi basi, dan sesuatu yang mirip karbol tapi gagal menutupi jejak amis. Lampu kuning menggantung malas di langit-langit, bergoyang pelan setiap kali angin dari ventilasi tua menyusup seperti pencuri.
Dara duduk di kursi besi, terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Kakinya menggantung. Tak ada yang menanyakan apakah kau haus. Tak ada yang bertanya apakah kau takut.
Di depannya, dua lelaki dewasa. Seragam mereka tidak rapi, kancing bagian atas terbuka, dan suara mereka berat, seperti digantung beban yang tak terlihat. Salah satu menyodorkan kertas dan bolpoin. Di sana ada kolom kosong yang sudah disiapkan. Kolom pengakuan. Tapi Dara tak tahu harus menulis apa.
"Ayo, Dik. Akui saja. Biar cepat pulang," kata yang satu, tangannya gatal mengetuk meja.
"Aku... aku tidak tahu," suaranya seperti kelinci kecil yang terjebak jerat.
Yang lain berdiri. Menunduk. Menatap matanya seperti ingin menaklukkan bukan cuma anak itu, tapi dunia kecil di belakangnya—dapur yang hangat, ibu yang gemetar, bunga kamboja di ember cat.
"Jangan main-main. Sudah banyak anak seumuranmu jadi maling sekarang," katanya, dan Dara hanya bisa menatap lantai yang dipenuhi goresan lama.
Malam datang. Tak dengan angin, tapi dengan diam yang panjang. Dara dipindahkan ke ruangan lain. Tidak ada jendela. Hanya jeruji, dan suara televisi dari ruangan depan yang menyala tanpa penonton. Di sudut, seekor kecoa mati terlentang, dan Dara mulai menggigil, bukan karena dingin.
Ia belum makan sejak pagi. Air yang diberikan asin, dan gelasnya pecah di pinggir. Ia mencoba tidur di atas bangku, melipat badannya seperti kucing kehujanan. Tapi suara langkah, suara pintu besi, suara tawa keras—semuanya membuat matanya terus terbuka.
Lalu pagi hampir datang. Langit di luar jeruji mengabur, seakan lupa bagaimana caranya jadi biru.
Seorang petugas masuk, menaruh roti isi di meja, lalu duduk di seberang Dara.
"Kalau kamu ngaku, semua selesai. Kamu bisa pulang. Ibu kamu pasti nunggu di rumah."
"Ibu saya enggak tahu saya di sini," Dara menjawab pelan.
Petugas itu terdiam. Lalu mengangguk pelan, seperti ada sesuatu yang berat menempel di tengkuknya.
Jam berikutnya terasa seperti minggu. Tubuh Dara pegal. Matanya bengkak. Ia menulis akhirnya. Bukan karena ia ingat mencuri. Tapi karena ingin tidur. Karena ingin peluk ibu. Karena ingin kembali jadi anak 12 tahun yang hanya bingung dengan PR matematika, bukan dengan sistem yang bahkan belum ia pahami.
Ketika pintu ruangan terbuka sore itu, Dara berjalan pelan, matanya kosong. Langkahnya tak bersuara. Ia tak ingat kapan terakhir kali bicara dengan nada yang tidak bergetar.
Di luar, langit mendung. Sama seperti kemarin. Atau mungkin ini masih hari yang sama.
Seorang polisi mengantar Dara ke beranda kantor. Ibu Dara berdiri di sana. Rambutnya kusut. Matanya merah. Tapi senyum yang tipis itu tetap ada, meski nyaris patah.
"Ibu..."
Dara memeluknya. Tapi entah kenapa, pelukan itu tidak menghangatkan. Rasanya seperti memeluk bayangan. Seperti memeluk kepastian bahwa dunia tidak akan sama lagi.
Lalu di rumah Bu Ratna, sesuatu terjadi. Tak ada yang tahu persis. Tapi pagi itu, ia membuka laci bawah tempat tidur dan menemukan gelang itu. Masih terbungkus kain tipis. Masih bersih. Masih berkilau. Ia sempat bengong. Lalu duduk. Lalu menatap kosong ke dinding.
Ia tidak bilang siapa-siapa.
Dan Dara... Dara kembali ke rumah dengan tubuh utuh tapi ada yang bolong di dalamnya. Ia duduk di halaman, menyapu daun jambu, seperti kemarin. Tapi kali ini, ia tidak bersenandung.
Ia hanya menatap bunga kamboja di pot, dan berharap waktu bisa mundur satu hari saja.
Dara duduk di tepi undakan rumah, mengenakan kaus yang terlalu besar, dan celana yang sudah memudar warnanya. Di tangannya, secarik kertas dari sekolah—surat pemberitahuan pelanggaran yang tidak dia lakukan. Di sekelilingnya, suara kampung tetap berputar seperti biasa: anak-anak main sepeda, tukang sayur teriak sambil melucu, dan suara radio tetangga yang memutar lagu dangdut lawas.
Tapi di kepala Dara, semuanya bisu. Tak ada irama. Hanya gema samar dari ruang gelap berjeruji, dari meja interogasi, dari malam panjang yang menumpuk dalam ingatan.
Sejak pulang dari kantor polisi, senyum Dara tidak pernah benar-benar kembali. Ia bicara, tentu. Ia membantu ibunya menyapu, mencuci, memasak. Tapi selalu ada jarak. Seperti bayangan yang tak lagi setia mengikuti cahaya.
Bu Ratna belum bicara sepatah kata pun kepada Dara. Tapi semua orang tahu. Gosip kampung lebih cepat dari grup whatsapp. Ada yang bilang Dara maling. Ada yang membela. Ada yang diam saja, tapi matanya sudah cukup untuk jadi vonis.
Padahal gelang itu... tidak pernah hilang.
"Saya benar-benar lupa kalau saya simpan di laci bawah. Saya pikir di kotak merah," kata Bu Ratna pada suaminya seminggu setelah semuanya reda. Tapi tak ada yang disampaikan ke siapa pun. Tidak ke ketua RT. Tidak ke ibu Dara. Apalagi ke kantor polisi. Laporan tetap menggantung seperti baju yang tak pernah dijemur.
Sore itu, Dara memberanikan diri ke warung depan gang. Ia bawa koin seribu rupiah, ingin beli permen rasa jeruk. Tapi ketika ia sampai, obrolan di bangku panjang langsung terdiam. Beberapa ibu pura-pura sibuk memilih telur. Seorang bapak menunduk, lalu pamit buru-buru.
Dara berdiri sebentar. Lalu pulang. Tangannya masih menggenggam uang.
Di rumah, ibunya sedang menjemur pakaian. Mata mereka bertemu sebentar. Ibu tersenyum. Tapi tak bertanya apa pun.
Dara masuk kamar, menatap bayangannya di kaca. Wajahnya masih sama, tapi sorot matanya seperti milik orang yang lebih tua. Seseorang yang tahu bahwa keadilan tak selalu tinggal di rumah yang terang, tapi kadang tersesat di lorong-lorong gelap yang penuh suara keras.
Malamnya, Dara menulis sesuatu. Di sobekan buku tulis. Isinya sederhana:
"Saya tidak mencuri. Tapi saya capek bilang begitu."
"Kalau memang anak kecil tak dianggap bisa jujur, ya sudahlah."
"Tapi saya masih ingat senyum Ibu waktu saya lahir. Saya masih ingat wangi kamboja di halaman. Dan saya tahu, saya bukan maling."
Kertas itu ia lipat. Diselipkan di bawah pot kamboja. Tak ada yang tahu untuk siapa. Mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin untuk waktu. Mungkin untuk dunia yang tak mau mendengar.
Senja datang perlahan. Tidak merah. Tidak jingga. Hanya kelabu yang terseret angin. Dara duduk lagi di undakan. Sama seperti kemarin. Tapi kali ini, ia tak berharap waktu bisa mundur.
Ia hanya ingin satu hal:
Agar dunia berhenti bertanya siapa pencurinya, dan mulai bertanya, siapa yang menyembunyikan kebenaran.
Tapi tak ada yang menjawab. Bahkan senja pun tidak.
Baca cerpen lain:
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI