"Iya, Pak."
"Kami ingin tanya-tanya. Soal gelang Bu Ratna."
Ibunya keluar dengan langkah panik. "Kenapa harus anak saya? Dia cuma anak kecil, Pak. Dia nggak—"
"Ini hanya interogasi ringan, Bu. Kami cuma mau tahu ke mana dia kemarin sore."
Dara menatap ibunya. Ada sesuatu di mata ibu yang tak pernah ia lihat: gemetar. Bukan marah. Bukan sedih. Tapi semacam runtuh yang pelan, yang tak bisa disusun lagi.
Polisi itu menarik tangan Dara. Tidak kasar. Tapi juga tidak ramah. Dara sempat menoleh ke belakang, melihat bunga kamboja yang masih basah. Daunnya bergetar ditiup angin sore, seperti ingin ikut bicara tapi tak punya suara.
Dan di situ, senyum Dara menguap. Tak lagi muncul bahkan di ujung bibir. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan rumahnya yang mulai terasa dingin meski belum malam.
Ruang itu bau. Campuran lembab dinding tua, kopi basi, dan sesuatu yang mirip karbol tapi gagal menutupi jejak amis. Lampu kuning menggantung malas di langit-langit, bergoyang pelan setiap kali angin dari ventilasi tua menyusup seperti pencuri.
Dara duduk di kursi besi, terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Kakinya menggantung. Tak ada yang menanyakan apakah kau haus. Tak ada yang bertanya apakah kau takut.
Di depannya, dua lelaki dewasa. Seragam mereka tidak rapi, kancing bagian atas terbuka, dan suara mereka berat, seperti digantung beban yang tak terlihat. Salah satu menyodorkan kertas dan bolpoin. Di sana ada kolom kosong yang sudah disiapkan. Kolom pengakuan. Tapi Dara tak tahu harus menulis apa.
"Ayo, Dik. Akui saja. Biar cepat pulang," kata yang satu, tangannya gatal mengetuk meja.