Sejak pulang dari kantor polisi, senyum Dara tidak pernah benar-benar kembali. Ia bicara, tentu. Ia membantu ibunya menyapu, mencuci, memasak. Tapi selalu ada jarak. Seperti bayangan yang tak lagi setia mengikuti cahaya.
Bu Ratna belum bicara sepatah kata pun kepada Dara. Tapi semua orang tahu. Gosip kampung lebih cepat dari grup whatsapp. Ada yang bilang Dara maling. Ada yang membela. Ada yang diam saja, tapi matanya sudah cukup untuk jadi vonis.
Padahal gelang itu... tidak pernah hilang.
"Saya benar-benar lupa kalau saya simpan di laci bawah. Saya pikir di kotak merah," kata Bu Ratna pada suaminya seminggu setelah semuanya reda. Tapi tak ada yang disampaikan ke siapa pun. Tidak ke ketua RT. Tidak ke ibu Dara. Apalagi ke kantor polisi. Laporan tetap menggantung seperti baju yang tak pernah dijemur.
Sore itu, Dara memberanikan diri ke warung depan gang. Ia bawa koin seribu rupiah, ingin beli permen rasa jeruk. Tapi ketika ia sampai, obrolan di bangku panjang langsung terdiam. Beberapa ibu pura-pura sibuk memilih telur. Seorang bapak menunduk, lalu pamit buru-buru.
Dara berdiri sebentar. Lalu pulang. Tangannya masih menggenggam uang.
Di rumah, ibunya sedang menjemur pakaian. Mata mereka bertemu sebentar. Ibu tersenyum. Tapi tak bertanya apa pun.
Dara masuk kamar, menatap bayangannya di kaca. Wajahnya masih sama, tapi sorot matanya seperti milik orang yang lebih tua. Seseorang yang tahu bahwa keadilan tak selalu tinggal di rumah yang terang, tapi kadang tersesat di lorong-lorong gelap yang penuh suara keras.
Malamnya, Dara menulis sesuatu. Di sobekan buku tulis. Isinya sederhana:
"Saya tidak mencuri. Tapi saya capek bilang begitu."
"Kalau memang anak kecil tak dianggap bisa jujur, ya sudahlah."